Maafkanlah apabila jiwa raga ini
masih seperti anak kecil yang selalu kabur jikalau merasakan penat yang
berlebihan, hingga pekatpun tak mampu terhapuskan dengan satu tiupan angin
saja. Kabut dipagi itu menyegarkan lara dengan suara-suara hempasan penuh
hentakan yang membangunkan nyali yang sempat menciut, tenggelam dalam bayang
maut yang menghampiri dikesetiap hariannya, tanpa ada tongkat penyangga untuk
berdirinya jiwa ini. Apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang anak adam yang
selalu ada dipinggir jurang? Menanti kematian yang entah kapan terjadi atau
mencoba mengakhiri takdir? Beruntunglah ia menemukan sosok malaikat dunia yang
Tuhan kirimkan saat itu, yang mampu memberikan kebangkitan lagi.
Ohm :
“Mau ikut ke Gunung Batu yang di Jonggol ngga?”
Nde :
“Kapan emangnya A?”
Ohm :
“Tanggal 26 Maret, nah tanggal 27nya ke Stone Garden yang di Padalarang”
Nde :
“Disananya mau ngecamp apa cuma nanjak doang A?”
Ohm :
“Tektok doang sih, tapi gimana ntar deh, mau bawa dulu aja tenda sama kompor mah takutnya ngedadak mau ngecamp
gitu?”
Nde :
“Emangnya berapa orang yang ikut A?”
Ohm :
“Kurang lebih 6 orang sih”
Nde :
“Pengen atuh ikut, soalnya Nde belum pernah kesana sih, pengen tau juga. Berarti Nde ikut nebeng dong?”
Ohm :
“Iyah nebeng sama Aa aja”
Nde :
“Okey deh. Emangnya mau pada berangkat jam berapa A?”
Ohm :
“Jam 8 pagi. Nde berangkat dari Bogornya nyubuh aja!”
Nde :
“Ouh iyah Insya Allah A”
Waktu yang ditunggupun telah tiba,
barang-barang yang sudah disiapkan dari semalam ku taruh didalam lemari agar
teman-teman tidak curiga jika aku akan keluar untuk main besok, soalnya kalau
dikasih tau terlebih dahulu ditakutinnya engga jadi, terus mereka bakalan
banyak nanya, dan itu yang membuat aku malas menjawab pertanyaannya, kadang
mereka terlalu kepo.
Pagi itu terlihat mendung, bangun
dari tidurpun terlihat bermalas-malasan, ditambah dinginnya kala kabut itu
membuatku tak ingin beranjak dari tempat tidur. Apalagi ketika memadu kasih
dengan literan air yang membuatku kaku, semua terkesan asal-asalan demi
mempercepat gerakan membalut tubuh dengan sehelai handuk. Dengan tubuh yang
agak bergetar kedinginan, aku menyuapkan beberapa sendok makan kedalam mulutku
meski sebenarnya perut ini menolak untuk dimasuki makanan, jika tak kulakukan
mungkin angin pagi akan menerobos tulangku hingga membuatku terkapar tak berdaya,
dan itu tak ingin terjadi.
Ohm :
“Itu udah nyampe mana?”
Nde :
“Masih diangkot, bentar lagi nyampe Ciawi ko A”
Ohm :
“Buruanlah ke si amangnya gitu, ini udah pada kumpul semua”
Nde :
“Iya atuh mana bisa Aa, ngaco? Eh bawa helm dua yah A!”
Ohm :
“Okey, ditungguin didepan Istana Cipanas yah! Yang laen mah udah pada nunggu di Asten dari tadi”
Pukul 10 pagi aku baru sampai di
Cipanas, ketika turun dari bis dengan segera aku menghampiri A Ohm yang sudah
menunggu sedari tadi dan langsung memberikan salam serta meminta maaf atas
keterlambatanku yang dikarenakan adanya sistem buka tutup jalan yang sudah
biasa diadakan didaerah puncak Bogor.
Tanpa basa-basi kitapun menuju
tempat perkumpulan di Asten (Asrama Tentara) tepatnya di bundaran Hypermart
Cianjur. Dengan perasaan tak menentu takut diomelin teman-teman A Ohm yang
sudah menungguku terlalu lama. Benar saja, sesampainya disana aku langsung
dicibir dengan candaan yang membuatku harus meminta maaf berulang-ulang.
Ohm : “Sorry telat, nunggu yang dari
Bogor yeuh lama”
Teman-teman : “Pantesan lama, yang dibawanya cewe”
Nde : “Ihh maaf yah A tadi ada
penutupan jalan pukul 8, biasanya pukul 9 ditutupnya. Kalau ditutupnya jam 9 udah
nyampe dari tadi juga”
Ohm : “Biasa cewe mah medicure
pedicure hela”
Nde : “Ihh apahan sih A ngga juga
yey, udah tau macet total namanya juga hari weekend”
“Nunggu dari jam 7pagi nih disini,
eh tau-taunya baru kumpul semua jam 10” keluh seorang laki-laki yang berkaos
hitam pendek itu. Dan aku baru sadar, ternyata aku perempuannya seorang diri,
edaaaaaaaassss aku kira bakalan ada cewe lagi yang ngikut, tapi tak apalah aku
lebih suka hal seperti ini. Menunggu satu teman lagi yang belum datang, hingga
akhirnya beberapa menit terlewati orang yang ditunggu-tunggu pun tiba juga
ditempat. Tak lama dari itu kitapun langsung berangkat menuju Gunung Batu
Jonggol dengan menggunakan kendaraan motor yang masing-masing ditumpangi
2orang, seluruhnya ada 4 buah sepeda motor.
Belum setengah perjalanan, baru aja
berangkat tak jauh dari tempat kita berkumpul, motor yang aku dan A Ohm
tumpangi mengalami kebocoran ban, alhasil kitapun mencari bengkel untuk memperbaikinya.
A Ohm pun langsung memberitahu teman-temannya yang sudah jauh disana via telpon
“Nyampe mana eta? Ohm lagi dibengkel, ban bocor” Jawaban suara dari salah satu
teman nya diseberang sana “Hadeeuuuuuhh.. Aya-aya wae, oke ditungguan disisi
jalan weh”.
±15menit kemudian, perbaikan ban
sudah usai. Kitapun langsung menyusul teman-teman yang sudah jauh disana, diperjalanan
menyusul teman-teman kita melihat dari jarak jauh ada segerombol orang-orang
berada ditengah jalan seperti menahan kita untuk melewati jalan tersebut,
ditambah lagi jalan saat itu sangat sepi, hanya pohon-pohon besar yang
menjulang tinggi dipinggir jalannya. Ada apa? Saat kita mulai terperangah
ternyata mereka itulah teman-teman kita, hahaha ada-ada saja mereka ini,
dimaklum namanya juga mantan anak STM yang suka nahan mobil-mobil besar atau
semacam truck hanya untuk dijadikan tumpangan gratis, iya tindakan mereka pada
kami baru saja itu seperti membuat mereka mengingat dan melakukan kejadian
beberapa tahun yang lalu saat dimana mereka masih duduk dibangku putih abu.
“Matakan mandi atuh Ohm” ucap salah
seorang temannya “Huuh tah nu dibelakang Ohm nu ngga mandi mah euy, jadi aya
weh kendalana teh” kata A Ohm melemparkan kalimat sindiran padaku “Aihh? Nde
mah mandi, Aa weh yang ngga mandi huh..” jawabku yang tak mau dipersalahkan.
“Pasti dipuncak macet total yah A?
Abisnya pada pindah lewat Jonggol, jadi macet juga kan ini jalan, hadeuuuhhh..
Ditambah ada perbaikan jalan lagi” keluhku “Iya begitulah” jawab A Ohm.
Perjalanan yang cukup lumayan jauh yang diawali berangkat dari pukul ±10.30.
Adzan dzuhurpun telah berkumandang dengan manisnya, kita pun berhenti di Masjid
Agung Jonggol kurang lebih pukul 1 siang untuk melaksanakan kewajiban. Sambil
menunggu lainnya yang belum selesai shalat, akupun berkenalan dengan
teman-teman A Ohm, iyah tak kenal maka tak sayang begitulah peribahasa yang aku
dapat dari zaman sekolah hahaha please deh jangan anggap ini modus yah hehe..
“Dani” ucap laki-laki berkaos putih berlengan hijau yang duduk disebelahku “Ahh
si Doyok etamah” jawab seseorang yang bernama panggilan Bacim itu, semua
tertawa dibawah pohon besar nan rindang yang memayungi kita dari terik matahari
kala itu. “Yang ini pasti Boheng yah namanya?” tanyaku pada laki-laki berkaos
hitam bergambar wajah itu “Naha tau?” tanyanya balik. “Kan Aa yang terakhir
dateng, yang ditunggu-tunggu paling lama hihi” jawabku “Hahaha berasa artis
deuh, cepet kenalnya deh” katanya dengan begitu pede. Ingat tak ingat aku
dengan nama-nama yang sudah mereka sebutkan satu persatu, mungkin dengan
berjalannya waktu aku bisa hapal nama mereka dengan jasadnya.
Setelah selesai beribadah kita
menuju Warung Nasi (Warnas) sederhana yang berada diseberang masjid, dengan
modal patungan yang seadanya hahaha. Begitu sangat mengasyikan, canda tawa yang
tak ada batasnya itu melumpuh totalkan ingatan yang membuat penat, membungkam
cerita klasik yang selalu membunuh saraf, aku merasakan bak terbangunkan dari
ikatan mati suri.
Sebenarnya kita semua ini ngga ada
yang tau jalan menuju ke Gunung Batu itu, hanya lupa-lupa ingat arah menujunya,
namun dengan keberanian A Ohm untuk bertanya pada orang-orang dari mulai
penduduk sekitar sampe tukang dagang gorengan dipinggir jalan, “Awas mang
hati-hati ditanya-tanya sama si Ohm mah, ntar teh tungtungnya mah minta bubuk
gorengan” canda teman-temannya. Hihihi ada-ada saja mereka ini. Akhirnya kita
bisa sampai juga di kaki Gunung Batu, iya wajiblah ia seperti itu yang harus
bertanggung jawab segalanya, orang dia yang mulai ngajak trecking, hihihi..
“Kalau nanjak jam segini,
ditakutinnya kita bakalan turun malem, ntar pulangnya bakal kemaleman, takut
ada apa-apa dijalan” tutur A Ohm. Jam tanganpun menunjukan pukul 4sore “Tapi
sayang kalau kita ngga nanjak ke Gunung Batu A” kataku “Iyah Ohm, udah jauh-jauh
masa ngga nanjak” tembal A Bacim. “Jadi kesepakatannya mau gimana?” tanya A
Ohm. Tak ada yang menjawab dengan jawaban yang pasti, semua dialunkan dengan
perasaan terserah, meski lara menjawab untuk singgah dipuncaknya. “Yaudah,
sekarang kita ke curugnya aja dulu, besok pagi kita bisa nanjak kesana.” Ucap A
Ohm dengan tegas. Kitapun menuju curug yang dimaksud, meski sebenarnya tidak
tau dimana tempatnya, dan lagi-lagi dengan beraninya kita bertanya pada
orang-orang sekitar.
Jalan yang sempit, berliku-liku dan
penuh bebatuan, kita terobos sampai habis, demi sampai ditempat tujuan. Juru
parkir yang sekaligus merangkap menjadi penjaga loket Curug Cibengang itupun
mendekati kita, bernegosiasi dalam hal pembayaran parkir serta tiket masuk, dan
akhirnya oke fix dengan harga sedikit miring. Kitapun memasuki kawasan Curug
Cibengang dengan melewati arus sungai yang deras, pesawahan yang hijau, sampai
dengan perkebunan yang sedikit lembab. Akhirnya kita sampai di Curug Cibengang
dengan suhu yang beraroma menyegarkan “Mandi moal euy?” tanya A Gunawan, yang
aku panggil dengan sebutan A Gugun agar lebih mempersingkat kata hihi “Hayu
hayu hayu mandi..” jawab yang lainnya sambil asyik berfoto ria, tetapi malah
menghiraukan ajakannya, sampai tidak jadinya mandi. Bercengkrama dengan alam
sambil berfoto bersama adalah hal dimana memorian ini entah akan terjadi lagi
atau tidak, aku berharap bisa terulang lagi dengan nuansa yang berbeda.
Hari beranjak sore, semakin larut
dalam gelap, dengan rasa terpaksa meninggalkan tempat yang penuh kesejukan itu,
berjalan dengan kaki kosong, namun terasa terlepaskan dari jeritan kaum derita
yang memupuk didalam jiwa, mereka berhamburan mengikuti arus air yang deras itu
dan mengatakan selamat tinggal pada jiwa yang seakan kembali murni ini.
Hujan rintik-rintik mulai mengguyur,
kitapun berteduh disebuah warung gubuk sambil bercerita dan menikmati beberapa
gelas kopi panas sembari mendengarkan alunan musik dari sebuah handphone. A
Gugun yang terkesan sangat menikmati aura keindahan disekitar dengan balutan
sarung ditubuhnya sangat begitu terlihat nyaman sekali.
“Malem ini kita nginep dirumahnya
pak RT, yang punya warung ini” ujar A Ohm. “Buat uang tumpangannya gimana Ohm?”
tanya A Doyok. “Itu gampanglah, kita bisa patungan ceban ewang” jawabnya dengan
mudah. “Tapi sorry lur, saya ngga bisa ikut nginep” tembal A Sandi. “Loh
kenapa?” tanya A Ohm “Udah di sms sama pamajikan euy, ngga bisa nginep deuh”
ucap A Sandi. “Mun si Sandi balik, ngke si Gunawan jeung saha?” ucap A Doyok
“Ehh heehnya. Palingan sajok tiluan? Kata A Dolet. “Euh hese uulinannya ari
udah punya pamajikan teh, yaudah karunya atuh pamajikannya ngga ada yang
nemenin pas tidur” kata A Ohm sekenanya. ”Yaudah atuh saya pamit dulu ahh,
makasih euy buat semuanya” kata A Sandi “Okesip San, kade weh dijalanna euy,
ieu tereh maghrib soalna” jawab A Ohm. Kita pun berjabat tangan semuanya tanda
perpisahan dengan A Sandi meski sebenarnya tak ingin ia pulang dengan cepatnya.
“Ini akang-akang teh mau pada
diterusin kemana?” penjaga parkir itu menghampiri kita “Besok pagi teh mau
lanjut nanjak ke Gunung Batu, sekarang mah mau nginep dulu dirumah pak RT kang”
jawab A Ohm. “Ouh kalau gitu mah mending dirumah saudara saya aja, soalnya yang
punya nya lagi keluar kota, jadi tempatnya kosong, lumayanlah buat nginep
semalem mah, bisa simpen motor didalem juga, kalau di pak RT mah motornya disimpen
diluar takut ada apa-apa kang” jelasnya. Kita pun berpikir sejenak,
bermusyawarah terlebih dahulu bersama penjaga parkir dan pak RT yang sudah
menawarkan tempatnya lebih awal, dan akhirnya kitapun menginap ditempat siamang
juru parkir tersebut.
Jalan untuk menempuh rumah sewaan
itu lumayan sedikit curam, dimana kita harus berhati-hati dalam membawa
kendaraan. Nahloh, kalau dipikir-pikir yah kita itu kan mau nanjak harusnya kan
ngecamp, pasang tenda atau apalah gitu yah berbau peralatan pegunungan, lah ini
mah malah jadi sewa rumah hahaha terkesan konyol juga sih, tapi ini yang
dinamakan pengalaman baru.
Masjid yang berdiri disamping rumah
sewaan kita begitu ramai dengan anak-anak yang melantunkan ayat-ayat suci
al-quran ataupun gema shalawat, semoga dengan hanya mendengarnya saja aku bisa
mendapatkan pahala dan mampu mengurangi dosa yang aku miliki disetiap waktunya.
“Rame yeuh mun sabari maraen gapleh mah ieu teh” ucap A Boheng “Sok atuh gera
beli hela kartuna” tembal A Dolet “Maenna ngke atuh mun udah bubaran nu ngaraji
eta barudak dimasjid, bisi kagandengan” kata A Ohm “Heeh Ohm, tungguan weh
urang ek beli hela sakalian mau beli mie” jawab A Bacim.
Malam minggu, maen gapleh, ngumpul
sama laki-laki, nginep dirumah orang yang sebelumnya ngga kenal, dipikir-pikir
ini cewe yang namanya Nde itu beranian amat yah orangnya? Aaazzzzzz.. Gini nih
kalau cewe setengah feminim teh ya ampun? Dasar BoyngirL!
Makan malam itu hanya dengan 4
bungkus mie untuk 7orang, edaaaaaaaaaaaasssss kerasa banget solidnya teh ya
Allah, solid apa ngga ada modal ini teh? Hahaha beda-beda tipislah, yang kek
gini nih yang suka bikin kangen teh sungguh berkesan sekali. “Bangunin A Dolet
atuh A, buat makan dulu bareng-bareng” ucapku. Semenjak sampai di rumah sewaan
A Dolet ini langsung tepar, langsung aja dikasih sleeping bag yang aku bawa
didalam tas biar dia enakan tidurnya sampe-sampe ngga bangun-bangun, setelah
digoyahkan dengan aroma mie baru deh dia bisa bangun, huhuhu dasar nih mancing
buat bangunnya kek cara gini ternyata hihihi.
Setelah berhenti sejenak untuk makan
malem, kitapun lanjut bermain gapleh dengan asyiknya, canda tawa itu tidak
menampakan rasa terpaksa, hal yang lucu disaat permainan ini berlangsung,
apabila ada pemain yang kalah harus memakai helm. Hahaha apa-apaan coba ngga
ada kerjaan bangetkan? Biasanya muka yang kalah main akan dilumuri
bulao/pewarna tekstil, namun saat itu kita hanya memakai helm saja biar tidak
mengeluarkan dana lagi hihihi..
Pekat malam semakin larut, tawa
girang tak ada henti-hentinya, mata lelah telah menampakkan pada wajah-wajah
yang berkilauan karena minyak, tetapi mereka masih saja bermain dengan
riangnya, seperti anak kecil yang lupa waktu, sesekali bergiliran dengan yang
lainnya ketika lelah tak tertahankan itu telah menghampiri mata yang mulai
mengantuk.
Suara teriakan kemenangan ataupun
jeritan kekalahan selalu saja membangunkan tidurku, terbangun dengan terpaksa
lantas tidur kembali, ingin sekali rasanya mentari itu dengan cepat sinari bumi
dipaginya hari, namun apalah daya malam gulita masih senang menyelimuti dunia
dengan kesejukan yang ia berikan. Entah pukul berapa mereka mengakhiri
permainan itu, ketika aku terbangun dan melihat jarum jam ditanganku waktu
telah menunjukan pukul ±4 dini hari aku melihat semua orang sudah terlelap dan
berada dalam mimpinya masing-masing. Aku dibangunkan oleh bising suara yang
mematikan pendengaranku, suara yang tidak enak didengar itu begitu sangat
dekat, saat aku mengubah posisi tidurku, berpaling kearah yang lainnya ternyata
bising suara itu bersumber dari mulut A Ohm. Omaygos! Ingin sekali ku sumpal
mulutnya yang menganga itu tapi aku tak berani, ku diamkan sejenak sambil ingin
tak ingin menutup mulutnya, namun akhirnya ia terbangun dengan sendirinya dan
langsung menatapku dengan malunya. Hahaha lucu juga yah liat A Ohm lagi tidur, apalagi
dengan gaya tidur seperti itu xaxaxa. Udah gausah dibayangin! Shit men!
Wkwkwk..
“Ihh berisik tau si Aa mah ngorok”
ujarku “Kamu ge ngorok huh” jawab A Ohm yang setengah sadar. Hah? Nde ngorok?
Awalnya kaget sih pas dia bilang gitu. Masa iya sih? Perasaan aku mah ngga yey,
ahh itumah alasan aja biar dianya ngga malu, jadi nyalahin Nde deh haha. “Capek
yah A? Maen gapleh terus sih” candaku “Udah tidur ah tidur” suruh A Ohm dengan
mata yang masih terlelap “Ihh udah jam 4 bentaran lagi juga mau subuh tau,
harusnya jam segini itu mandi” jelasku. Pengennya sih gitu mandi, tapi kamar
mandinya ngga nyaman banget, jadi males deuh buat mandinya.
Pagi buta itu aku terbangun dengan
semangatnya, entah kenapa, seakan ada pendorong yang membuat semangatku
membara. Gema adzan subuhpun telah berkumandang, aku segera mengambil air wudhu
dan langsung melaksanakan ibadah 2 rakaat itu. “Si teteh eta salah kiblatnya”
ucap laki-laki yang memiliki rumah tersebut, iyah si amang penjaga parkir
tersebut. “Ihh abi salah kiblat bukan? Berarti abi balikan lagi atuh?” tanyaku
setelah beres shalat “Halaghsiah Nde” ucap A Boheng dengan suara
menakut-nakutiku “Udah ngga apa-apa ngga usah balikan lagi da ngga tau ieuh”
kata A Ohm.”Ihh lupa Nde teh” keluhku. “Udah ngga apa-apa eh” tembal A Ohm
“Ngga ahh, mau balikan lagi aja, sok atuh imaman” ucapku penuh canda dengan
melirik kearah A Ohm yang menutup setengah wajahnya pada bantal. A Ohm yang
masih terlihat mengantuk, dengan tingkahnya yang memancarkan ogah-ogahan, membuatku
menarik napas pendek.
“A imaman yah” pintaku pada A Doyok
yang baru saja selesai mengambil air wudhu. A Doyok pun sedikit kaget setelah
mendengar pintaku, namun ia langsung menggelarkan sejadah didepan sejadahku.
Kitapun melakukan shalat berjamaah berdua. Cciiiieeeee... Huussss!! Jangan
mikir yang lain-lain, cuma sekedar imam dan makmum saja tidak lebih dari itu,
dan anggap aja ade kaka sedang shalat barengan.
Setelah melakukan shalat berjamaah,
A Doyok pun pergi keluar rumah untuk membeli beberapa bungkus kopi, rokok dan
nasi kuning, akupun mengikuti A Doyok dari belakang, untuk memberikan uang
tambahan yang tertinggal. Diperjalanan menuju warung atau tempat yang berjualan
nasi kuning itu kita berdua saling bertanya dan bercerita, dan tidak banyak
juga aku mendapat beberapa ilmu yang dipetik dari A Doyok. “Duh nasi kuningnya
belum jadi, paling agak siangan matengnya. Ada juga ini gorengan ubi” ucap si
ibu penjaga warung itu. “Yaudalah ngga apa-apa, daripada ngga ada sama sekali”
ujar A Doyok “Ini teh orang-orang yang nyewa rumah semalem dirumah sebelah situ
yah?” tanya bapak warung itu “Iyah pak” jawab A Doyok. “Tadinya teh mau bapak
suruh nginep ditempat ini aja, ada yang kosong juga, tapi udah keburu nginep
disana yaudalah teu nanaon” kata bapak tua itu. Kita hanya tersenyum tipis
saja, bingung juga mau jawab apa kalau pertanyaannya sudah mengakhiri seperti
itu. Dan kitapun langsung pamit meninggalkan bapak dan ibu penjaga warung itu.
“Sarapan paginya sama gorengan ubi,
soalnya nasi kuningnya ngga ada belum mateng cenah, lama nunggunya. Udah weh
beli yang ada” kataku “Wah mantep ini hitut teh bakal pibadageun jeung
pibaueun” ucap A Boheng. Semua pun menyantapnya dengan ditemani segelas kopi
panas dipagi hari.
Bergegas menuju puncak Gunung Batu
dipagi itu, dengan semangatnya kuhirup udara kala itu dalam-dalam, tak ada yang
membuatku resah, semua sangat indah disuguhi sang mentari yang berseri-seri.
Berjalan santai, sambil menikmati keindahan sekitar, dan bersyukur atas
kebesaran yang telah ditunjukan olehNya.
“Haduuuhhh.. Kumaha ieu teh
sangkilang imah digunung ge maenya ngoprot kesang kitu Heng?” sindir A Bacim
pada A Boheng “Teu kuat suku aingah deuh, hareudang deuih, kudu muka baju ieu
mah” jawabnya. Bukan main, A Boheng langsung melepaskan baju yang ia kenakan,
dan iapun kini telanjang dada. Omaygat! Udah kek dirumah sendiri aje bung?
hihi.. Melihat A Boheng yang kelelahan, akupun langsung membawa tas gendong
yang ia pakai, untuk meringankan bebannya. Bawa badan aja udah berat masa harus
ditambah beban yang lainnya, kan kasian juga dia? Tau dia bakal kelelahan kek
gini mungkin dari tadi aja aku yang pake tas gendong itu. “Kok Nde mah ngga
keliatan keringetan yah?” tanya A Doyok. “Alhamdulillah sih A ngga terlalu
capek, toh ini mah kan ngga terlalu tinggi juga gunungnya” ucapku dengan
santai. “Ihh muni strong” kata A Boheng. Aku hanya terus berjalan, sesekali
miris melihat A Boheng yang selalu beristirahat untuk duduk sejenak melepas
lelah, ditambah lagi terlalu banyak minum. Dududu dasar A Boheng, masa kalah
sama cewe kek Nde sih? Hihi.. Ahh da si Nde mah bukan cewe biasanya atuh wkwkwk..
Dasar deuh ada-ada aja.
Sesampainya dipuncak aku merasa
bersyukur sekali, semua orang terlihat bahagia, apalagi terpasang 2 tihang
bendera dipuncak Gunung Batu ini, bendera merah putih berkibar dilangit yang
biru, tertiup angin yang segar. Kitapun berpotret ria sampai menghabiskan
memori handphone masing-masing. Hihi..
Setelah puas bermain-main dipuncak,
kitapun turun lagi kebawah, ditambah waktu yang semakin sempit, kita berencana
pulang dengan jalur arah yang berbeda dari pemberangkatan awal, agar ada kesan
menambah wawasan jalanan, entah arah jalan yang mana, yang kita tau
informasinya yaitu kita akan menerobos dan keluar dari jalur Cipanas. Dengan
rasa penasaran, terus saja kita menancap gas menyusuri jalanan, sesekali kita
menanyakan arah pada orang-orang yang berada dipinggir jalan. Dan yang lebih
membuatku takjub ternyata arah jalan ini ternyata banyak sekali wisata alamnya
seperti beberapa curug yang belum pernah aku singgahi “Aaaaaaaaaaahhhhhhh jadi
pengen dateng kesini lagi” jerit batinku. Banyak sekali wisatawan yang
berkunjung ketempat ini. “Kapan-kapan kalau ada waktu dan rizkinya kita kesini lagi
yah?” ajak A Ohm sambil mengendarai sepeda motornya. Aku hanya terkejut dan
menganggukkan kepala saja, ternyata dia mendengar teriakan hatiku? Hahaha..
Konyol.
Ada hal lucu dan unik saat berada
diperjalanan menuju pulang, kendaraan motor yang aku dan A Ohm tumpangi memang
tidak kuat jika harus berhadapan dengan tanjakan, nah kebetulan pada saat itu
jalan yang harus kita lewati berupa tanjakan yang sedikit ekstrem,
edaaaaaaaaaaasssss kebayang dong ini motor bakalan mundur lagi apa gimana? “Aa,
Nde turun dulu jangan?” lagi-lagi kalimat tanya seperti itu berulang kali aku
lontarkan ketika akan berhadapan dengan tanjakan yang diperkirakan ini motor
bakalan ngga kuat jalannya. “Udah, jangan gausah” jawab A Ohm dengan beraninya.
Ketika motor sudah kehabisan tenaga untungnya waktu itu ada 2 orang anak kecil
lagi bawa gerobak sampah, mereka menolong kita dengan cara mendorong motor dari
belakang, alhamdulillah ada yang bantuin, baik banget cuma sayangnya mereka
malah minta uang buat jasanya. Hahaha dasar bocah lanang cilik, gimana aja
nyari uang halal mah. Dan akupun dengan segera mengambil beberapa uang koin
didalam tas selempangku untuk diberikan pada bocah-bocah cilik itu.
Ditengah perjalanan, tepat pukul
12.00 siang sekaligus gema adzan dzuhur berkumandang, A Bacim menghentikan
kendaraan motornya, ia terlihat sedikit kesakitan dibagian matanya. Akupun
langsung mengambil obat tetes mata didalam tas A Ohm untuk diberikan pada A
Bacim, namun sebelum itu aku meniup matanya terlebih dahulu agar kotoran atau
debu yang singgah dimatanya bisa sedikit berkurang, dengan bantuan A Dolet yang
menetesi obat mata pada A Bacim, akhirnya mata dan penglihatan A Bacim terasa
sedikit nyaman. Kitapun melanjutkan perjalanan dengan formasi yang baru.
Hahahay.. Kayak apa aja nih. Kini aku, A Doyok dan A Boheng satu motor, yang
sebelumnya aku dan A Ohm satu jok, dikarenakan ada sedikit kendala. Beginilah
resiko satu jok bertiga, bercerita dan bercanda membuat tawa tak ada
henti-hentinya, entah itu sebuah cerita karangan ataupun cerita asli aku tak
tau yang jelas mereka berdua ini membuat sesuatu yang tak ada habisnya untuk
selalu tertawa girang disetiap perjalanan menuju pulang ini.
“Udah ngga usah berhenti-berhenti
Ohm, tancap gas weh biar cepet nyampe rumah urang. Ari udah nyampe rumah mah
terserah rek kumaha-kumaha juga” Ucap A Boheng pada A Ohm yang terlihat akan
berisitirahat terlebih dahulu dimasjid pinggir jalan. Perbedaan pendapat itu
memang wajar terjadi pada sebuah kumpulan, hanya saja kadang-kadang dimana
harus ada salah satu orang untuk mengalah agar tidak ada keributan yang
berkepanjangan, jika mereka mampu menguasai ego nya masing-masing dan berpikir
panjang.
Yeach! Sampai juga dirumahnya A
Boheng yang jalurnya ituloh extreme banget, bener-bener pedalaman, tapi enak
juga sih rumahnya sederhana masih model rumah klasik, hawanya adem original
disini, ngga kayak rumah-rumah model sekarang yang kalau pengen adem harus
boros listrik. Dengan perut yang sedari tadi telah keroncongan, kitapun
langsung menyantap nasi liwet yang sudah disediakan oleh keluarganya A Boheng,
yummy!! Masakan sunda itu emang lebih ajib daripada makanan asing, ditambah
lagi suasana dan tempat yang bener-bener khas sunda banget. Kalau tiap hari kek
gini mantep nih, hidup sederhana dan banyak cinta. Berasa damai aja. Santai.
A Doyok dan A Boheng terlihat asyik
memainkan Playstation dengan permainan sepak bola, A Dolet yang menjadi
supporter mericuhkan keadaan, ketika salah satu dari mereka ada yang kalah A
Dolet dengan siap menggantikannya, aku dan A Ohm hanya menjadi pendengar setia
teriakan kemenangan mereka, karena kami terlalu sibuk membicarakan sesuatu yang
serius hanya dengan empat mata saja. Ehh!! Jangan mikir yang lain-lain dulu!!
Aku memetik buah dari ilmu yang ia berikan padaku dan beberapa saran yang harus
bisa aku cerna. A Bacim dan A Gugun sudah pulang sedari tadi setelah makan nasi
liwet selesai, karena ada kepentingan yang tidak bisa dinanti-nantikan, karena
ada undangan yang harus ia hadiri hari itu juga. “Aaaaaaaaaaaaaaaaaa” teriak A
Boheng sambil memukul pelan kakiku dan membuat aku dan A Ohm terkaget dan
terperanjat bukan main, mungkin karena mereka melihat kita terlalu berbicara serius
atau entah apalah, aku hanya terpelongo melihat aksi mereka yang seperti
merayakan kemenangan dan kekalahan. Haduh mengganggu saja hahaha.
Tak terasa, tabuh adzan maghrib
telah menyapa dunia. “Ayok shalat dulu A, imaman” suruhku sambil bergegas pergi
ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu “Kode nih?” tanya A Ohm “Iyah kode
keras, eh?” bisikku. Akupun langsung menggelar sejadah dan mengenakan mukena, A
Ohm pun langsung mengimami shalat maghrib saat itu. Setelah selesai kitapun
langsung bergegas untuk pamit pulang pada keluarga A Boheng dan sangat
berterimakasih sekali atas suguhan yang telah disajikan meski dengan seadanya
tetapi memuaskan hihi.. A Boheng pun pamit pada ibundanya karena harus pergi
lagi ke Jakarta untuk kembali bekerja esok hari, begitu sangat mengharukan
ketika doa yang ibunda panjatkan untuk A Boheng sebelum ia pergi, baru kali ini
aku melihat sesuatu yang mengagungkan dari seorang ibu, cahaya yang ia
pancarkan untuk anak bungsu laki-lakinya itu, namun kapan aku bisa merasakan hal
semacam itu? Kadang aku hanya mampu berharap suatu keajaiban akan datang menghampiriku
seperti layaknya mereka yang terlihat bahagia.
TAMAT
Mau tau hasil jeprat-jepretnya?
Mau tau hasil kreatif video nya?
Please, check it out for watching this video
Terimakasih sudah membaca dan melihat foto-foto absurd saya hehe..
Terimakasih sudah membaca dan melihat foto-foto absurd saya hehe..