Kamis, 17 November 2016

Karya Puisiku 224



Maaf, aku merindumu dalam diam
Tak ada lagi bayang melintas
Selain wajahmu dibola mataku

Mendekap dalam pelukmu
Kehangatan yang paling ternyaman
Dan terlelap tanpa mimpi

Apakah itu sebagian rencana Tuhan?
Dosa terindah yang tak pernah terpikirkan
Menikmati dengan halus
Dengan sedikit taburan kecemasan

Maaf, kali ini benar aku merindu
Tak ingin berkata
Hanya ingin lakukan hal menarik

Namun aku menahan segala rasa
Tak mungkin ku mulai segalanya
Karena sadar, siapa aku?
Maaf, aku merindu

Karya Puisiku 223



Serpihan kehinaan masih melekat
Belari kesana kemari untuk menjauh
Dan mencoba melupakan hal gila itu

Hampir berhasil, dengan sedikit keberanian
Namun malah putus asa menyerang kalbu
Pikiran semakin menjadi-jadi

Sampai terlupakan
Ada satu hari dimana jiwa harus menyambut bahagia
Tapi sedikit tak peduli

Karena yang terpikirkan bukan hal bodoh itu
Tapi kebahagiaan yang abadi

GN. SALAK BOGOR



       

            “Sebelumnya Nde minta maaf A, Nde akui emang salah, udah ngerepotin Aa dan temen yang lainnya” ucapku terbata-bata “Maaf A, Nde udah egois. Nde cuma mau bilang kalau Nde mau pamit” tambahku dengan nada pelan. Diapun langsung menatapku tajam meski sebenarnya aku tidak menatap tatapan dan wajahnya, aku hanya tahu dari apa yang ku rasakan. “Mau kemana?” tanyanya penasaran “Nde ngga akan tinggal disini lagi, mungkin takan kembali” jawabku dengan melihat sorot matanya yang berkaca-kaca “Aa ngga usah tahu akan kemana aku pergi, mungkin Aa akan tau sendiri” jelasku. Seketika itu hening, pada tanggal 31 Juli 2016 di Puncak Manik Salak 1.
            2 hari sebelumnya. “Berangkat jam berapa A?” tanyaku dalam sebuah pesan singkat “Aku masih kerja dulu ini ±pukul 23.00 aku baru kelar” jelasnya. “Yaudah deuh ntar kabarin kalau udah kelar yah A” suruhku
            Tik tok tik tok.. Jam pun berdenting dengan normalnya, berputar bagai putaran roda, berpindah seolah-olah ia tak pernah diam, jika ia tak berkutik mungkin telah mati ditelan karatnya batrai yang tak pernah diganti. “Berangkat jam berapa?” tanya Mbu. “Nunggu konfirmasi dari kaka ketua, Mbu” jawabku sambil sibuk memainkan handphone.
            Kring.. Kring.. Kring.. Aku dibangunkan oleh bunyi handphone dengan tampilan panggilan masuk, akupun langsung mengangkat telepon dengan mata mengantuk. “Iyah hallo, assalamaualaikum?” salamku “Waalaikumsalam, dimana? Ini aku otw jemput yah” jawabnya diseberang sana. “Masih dirumah ini, aku siap-siap berangkat ko, ini nunggu dipinggir jalan aja yah A”. Padahal aku belum bersiap-siap masih merasakan kantuk yang sangat dalam, namun ku paksakan dengan sungguh, mencuci muka dengan sekedarnya. “Aku udah nunggu dipinggir jalan nih” ucapnya via telepon yang sempat aku angkat dengan loudspeaker aktif.
            “Hati-hati dijalan” ucap seorang ibu yang berkalut dengan kekhawatiran ketika ditinggalkan anaknya berpetualang tanpa pengawasannya. Meski kita saling sadar ini bagaikan keluarga maya tanpa ikatan darah yang mengikat. “Maaf telat” kataku sambil duduk dibelakang kemudi motornya. Kitapun langsung berangkat menuju tempat tujuan, iyah mendaki ke Gunung Salak via Cimelati.
            “Eh ketemu lagi sama si Aa ini” sapaku pada A Arab sambil bersalaman. “Akhirnya nanjak bareng juga yah” jawabnya malu-malu. Lebih dari 1 bulan yang lalu ketika aku bercerita pada A Herdi (ketua dari salah satu komunitas pecinta gunung didaerah Bogor) tentang keinginanku mendaki ke Gunung Salak puncak manik 1, ia ikut-ikutan bergabung ngobrol bersama kita dan memiliki keinginan yang sama. Dan akhirnya kitapun membuat rencana kegiatan.
            “A Tio kenapa ngga ikut nanjak juga?” tanyaku pada salah satu teman A Herdi yang mengantarkan keberangkatan kita, dan sebelumnya kita sudah berteman dan saling kenal disuatu tempat. “Lagi sibuk-sibuknya dibengkel masih beres ini beres itu, tapi nanti kita ada planning nanjak juga sih awal Agustus ke Salak” jelasnya “Sama A Herdi juga tah?” tanyaku “Iyah begitulah” jawabnya simple.
            Beristirahat beberapa jam di rumah persinggahan teman A Ame yang cukup lumayan klasik dan sederhana, iyah ia adalah pacar Teh Bungsu. Romantisme yang mereka tunjukan begitu sangat lekat, entah berapa lama mereka telah menjalankannya, aku tak pernah ingin tahu, yang penting semoga ikatan mereka langgeng sampai kapanpun, inilah doa yang terucap dari seseorang yang menginginkan temannya bahagia. Setengah jam kemudian pada pukul setengah 3 dini hari kita semua memejamkan mata untuk mengumpulkan tenaga.
            Pukul setengah 6 pagi aku sudah bangun dari pejaman mata yang singkat. Meski beberapa menit sebelumnya aku sempat dibangunkan oleh kaka ketua. Menjalankan rutinitas kewajiban umat islam menghadap Sang Khaliq yang masih diselimuti rasa dingin.
            Beberapa gelas kopi dan gorengan telah melambai-lambai dengan riangnya dipagi yang masih berembun itu, menari dan tersenyum bagaikan cahaya mentari yang menyorot dengan tajamnya, begitu elok ku pandang dari kejauhan, aku tergoda dan mulai menghampiri seraya mengambilnya dengan lembut dan menyantapnya dengan gemulai.
            “Sunrise dikaki Gunung Salak” lirih batinku. Pukul 07.00 kita berangkat menuju gerbang pendakian Gunung Salak, sesampainya disana kita beristirahat sejenak, mengobrol dengan penjaga pos tempat tersebut dan menikmati keindahan Gunung Salak yang berada didepan mata.
            Pukul 10.00 kita memulai perjalanan, menginjakkan kaki diperbatasan hutan yang masih kental dan lebatnya. Belum jauh dari pintu masuk hutan, kita dipertemukan dengan 2 jalur tanpa papan penanda, sempat kebingungan, namun dengan modal keyakinan kita memilih jalur kiri yang terlihat jalannya sedikit menanjak. Tak salah pilih, akhirnya kita menemukan pita kuning yang melilit pada badan pohon, pertanda sebuah jejak pernah singgah dijalur ini, dengan lega kita melanjutkan perjalanan.
            Segerombol anak-anak kecil kurang lebih 10 orang berjalan mendahului kita tanpa membawa peralatan yang mumpuni. Mau kemanakah mereka? Tidak mungkin jika mereka akan menuju puncak tanpa membawa perbekalan yang lengkap, ditambah lebih banyak anak perempuan dibandingkan anak laki-lakinya. Langkah pelan yang mereka ambil, membuat kita mampu mendahului segerombolan anak-anak itu, hingga tiba di pos 1 kami beristirahat sejenak sambil bersandar pada pohon besar yang menjulang sangat tinggi.
            “Sini duduk-duduk dulu dek” suruh salah satu dari kami. Merekapun menuruti perkataan kami. Bercerita dalam balutan canda riang, hingga tanya jawab seriuspun terluapkan. “Ouh masih kelas 3 SMP tah? Mau pada ke curug gitu?” tanya A Ame. “Iyah ka” jawab salah satu seorang anak laki-laki dari gerombolannya. “Curug masih pos 3 masih lumayan jauh” tambah A Ame. Mau tambah air minumnya?” tawar kami.
            Mereka berjalan terlebih dahulu meninggalkan kita yang masih bersantai, namun tetap saja langkah mereka kalah cepat dari kami, hingga akhirnya kita mampu menyusul mereka dan berjalan lebih depan. “Siapa namanya?” tanyaku pada 3 orang anak laki-laki yang berjalan beriringan bersamaku “Febri” ucap laki-laki yang memakai topi koboi “Danang” kata seorang anak lelaki yang bertubuh gemuk, dan lelaki yang satu lagi bernama Tio yang memiliki postur tubuh sedikit kurus.
            Tiba-tiba ada seorang anak laki-laki berteriak pada kami “Ka, bantuin dibawah ada yang pingsang” katanya dengan nafas yang terburu-buru. Sebagian dari kamipun langsung berlari menuju anak tersebut yang masih berada dibawah dengan meninggalkan carriel disembarang tempat dan hanya mengambil beberapa makanan dan minuman beserta kotak P3K.
            “Posisi tidurnya kaki diatas yah”, “Coba kasih minum teh hangat dulu sama biskuit” “Ada roti nih, buat ganjel perutnya”, “Bikinin mie coba”, “Selonjorin kakinya, itu kerudung sama sepatunya dilepas aja dulu biar ada hawa yang masuk”. Semua orang sibuk mengkhawatirkan satu anak perempuan yang sangat kelelahan itu, untung saja ia tidak benar-benar pingsan, hanya menunjukan pertanda bahwa ia memang akan kehilangan kesadaran, pertolongan yang cepat membuat ia perlahan sadar kembali. Mengipasinya agar tidak kegerahan, memijatnya penuh perasaan, dan menyuapinya dengan kasih sayang yang tercipta dari seorang perawat alam liar dadakan. Hahaha.
            “Kalau misalkan ngga kuat, lebih baik adek turun aja kembali kebawah, jangan maksain ke curug” saran A Arab. Aku hanya menatapnya dengan penuh perhatian “Apa yang dirasain sekarang?” tanyaku “Udah mendingan ko Teh, kayaknya udah bisa jalan ko” tutur anak tersebut yang bernama Pertiwi “Ngga usah maksain dek, istirahat aja dulu” ucapku. Namun dengan bersih keras ia tetap ingin melanjutkan perjalanannya ke curug, meski sudah kita sarankan untuk tidak meneruskan perjalanan yang masih lumayan jauh itu.
            Perasaan khawatir masih menyelimuti kita semua, namun dengan pikiran positif semua akan baik-baik saja. Segerombolan anak-anak SMP itu berjalan lebih dahulu. Sampai di pos 2 kami beristirahat dengan mengeluarkan beberapa amunisi yang telah dibawa, semua menyantap makanan dengan sangat lapar, kecuali aku, yang mau ngga mau menikmati kelezatan si nasi bungkus. Bukan aku tak suka, tapi perut ini belum berteriak kelaparan. Namun apalah daya akhirnya aku ikut makan bersama mereka, hanya untuk menghargai apa yang mereka berikan. Aku ingat ucapan seseorang dimana ia pernah berkata “Makanlah meski kamu tak lapar, nikmati setidaknya beberapa suap agar mereka bahagia”.
            Kebiasaan, terlalu banyak diam aku selalu merasakan kantuk, di tidurkan pasti bangun-bangun akan merasakan pusing, kalau tidak ditidurkan? Haduuuuhh, serba salah jadinya.
            Melanjutkan perjalanan, hingga sampai di pos 3. Mengambil beberapa botol air dari pancuran yang tersedia, duduk selonjoran sambil menunggu air mengisi, melihat sekeliling ternyata banyak yang ngecamp di pos 3 ini, mungkin saat itu telah menunjukan pukul 2 siang hari. “Maaf mba, bawa mukena ngga? Buat temen saya, dia lupa ngga bawa” tanya seorang laki-laki yang tak aku kenal. Akupun sempat kebingungan antara memberikan mukena atau tidak, dikarenakan saat itu kita akan beranjak dari tempat itu. Namun dengan perasaan kasian membantu seseorang apalagi dalam hal ibadah kenapa aku harus nolak? Akupun memberikan pinjaman mukena pada seseorang yang tak aku kenal itu. Mungkin ini cara Allah agar aku melaksanakan ibadah juga, dan tidak melewatkannya dengan sengaja. Akupun mengambil air wudhu dan bergiliran shalat dengan perempuan itu yang tidak diketahui namanya, mengqashar ashar pula, setelah itu aku melihat Teh Bungsu turut ikut melaksanakan ibadah shalat “Alhamdulillah..” syukur ku dalam batin. Setelah selesai kitapun beranjak meninggalkan tempat itu, hati ini amat tenang dan lega serasa jiwa disirami kesejukan oleh malaikat penabur kebahagiaan.
            Ditengah perjalanan A Herdi mengalami muntah-muntah, pusing dan demam menyerangnya kala itu, akupun langsung membantunya hingga rasa sakit yang dideritanya berkurang dengan masase yang pernah aku dapati saat sekolah dulu, memberikan obat untuk meringankan gejalanya serta pil vitamin untuk meningkatkan kondisi tubuhnya menjadi lebih baik. Roti dan air minum hangat pun tak terlewatkan. “Ciiieeeee.. Pengen atuh dimanja” ucap salah seorang dari mereka, “Masa harus sakit dulu biar kayak si Black?” tambah mereka.
            Jam hampir menunjukan waktu maghrib, aku terus melangkah tanpa hentinya dan tanpa pendamping, berjalan merasakan kabut yang hampir menutupi hutan di gunung salak, hingga akupun berdiam duduk dijamnya maghrib yang terlewati sambil menanti teman-teman yang masih jauh dibawah sana. Tak lama aku melihat kaka ketua berada dibelakangku, ia mendekati dan menemaniku, berada duduk disampingku. Ku tawari beberapa makanan dan minuman untuk melepas lelahnya.
            Ngobrol kesana-kesini ngga jelas tapi sedikit bermakna, hingga tawa paksa itu termuntahkan di angka 6 si jarum jam. Aku mencoba bermain dengan kamera handphone dan ku jepretkan tepat didepanku “Cekrek, cekrek, cekrek” bunyi kamera handphone, ku ambil beberapa gambar dengan mudahnya. Kagetnya saat aku zoom salah satu gambar yang aku ambil barusan, ada sesuatu yang tak lazim digambar tersebut. Bukannya aku merasakan takut, namun aku merasa riang, akhirnya aku bisa mendapatkan keghaiban kembali ditempat semacam ini. Dan ku tunjukan pada kaka ketua, dia hanya menganggap datar seakan itu hanya pareidolia semata.
            Hujan rintik-rintik temani malam itu, jas hujan pun akhirnya keluar dari tempat peneduhannya. Beberapa menit menunggu teman-teman lainnya, akhirnya kita berkumpul bersama dan berjalan lagi dengan hati-hati. Gelap semakin menyelimuti, headlamp dan lampu senter pun telah berada digenggaman kepala dan tangan untuk menyoroti si malam yang sudah tampak.
            Pijakan mulai tak beraturan, pegangan tangan saling kuat, berduyun-duyun membantu menyoroti langkah, kondisi tanah yang licin karena diguyuri keroyokan air yang turun dari langit membuat kita harus sangat berhati-hati. “Udah ngga bakal bener kalau kita lanjut jalan, lebih baik kita nyari tempat buat ngecamp” ujar salah seorang dari kami yang entah siapa.
            “Pos 6” ucap Teh Bungsu sambil menyoroti plang Pos 6 itu dengan headlamp yang ia kenai. Melangkah dengan pelan, dan terus menyoroti jalan dengan cahaya lampu. Akhirnya kita mendapatkan sedikit tempat untuk berkemah, cukup untuk 2tenda. Memasang tenda dengan cekatan meski masih saja diselingi canda tawa yang terlontarkan dari mulut-mulut pendosa yang bijaksana. Ternyata, gunung salak tidak sedingin yang aku kira.
            Setelah tenda berdiri kita pun bergiliran membereskan barang-barang yang kita bawa, dan membuat makanan untuk diberikan pada cacing-cacing perut yang sudah kelaparan sedari tadi. Didalam tenda kita bermain kartu sambil memutar musik via handphone, tertawa seakan tak punya beban atau mungkin terlupakan, lontaran kalimat kasar untuk bahan candaan seakan sudah terbiasa terdengar ditelingaku, meski sedikit risih namun apalah daya. “Duh anak urang nelpon, kecilan volume musikna bray” kata A Dani, namun karena jaringan yang tidak mendukung A Dani tak berlama-lama mengobrol dengan anaknya itu. Kitapun kembali memutar alunan musik “Itu lagunya Burgerkill yah A?” tanyaku pada A Rus yang baru saja memutarkan lagu yang tak asing lagi ditelingaku “Iyah” jawabnya simple “Weessss.. si teteh eta mah ilmu musikna hade euy, apalan wae lagu-lagu anu diputerkeun teh” tutur A Arab yang sedikit memujiku. Aku hanya tertawa saja mendengar kalimatnya. Kitapun saling berbagi cerita, tertawa dalam temaramnya cahaya. Ternyata A Rus dan A Dani itu sudah married toh? Nde kira belum, abis ngga keliatan sih, wajar aja kali yah baru punya anak 1, lagi masa-masanya greget hihihi..
             Neraka membayangiku malam itu, ketika dengan sengaja ku lewatkan 1 hal yang sakral, hujan yang terus mengguyur membuatku menuruti malaikat merah yang membisikku dengan lembut, aku terbuai oleh lantunannya. Maafkan aku Rabb, ku akui seharusnya ini tak boleh terjadi.
            “Assalamualaikum..” sapa seseorang dibarengi suara langkah kaki terdengar samar ditelingaku saat mataku masih terpejam rapat “Udah pada tidur kayaknya mah” ucap seseorang yang berada diluar tenda. Ku jawab salamnya dalam hati, bibirku masih enggan berucap, aku hanya menghiraukan suara-suara diluar sana dan melanjutkan tidurku.
            Pagi menjelang, jarum jam di pergelangan tangan menunjukan pukul setengah 6 pagi, aku keluar tenda dengan beraninya, mengambil 1 botol air berukuran 1liter ku gunakan untuk berwudhu dan menjalankan ibadah sakral dipagi itu beserta teman-temannya yang semalam kutinggalkan dengan sengaja, menggelar sejadah dipinggir tenda, dengan suhu yang lumayan dingin ku bersujud dalam deru tangis kepasrahan.
            “Summit.. Summit..” ucap A Herdi “Isuk keneh atuh Her, tariris kieu” balas A Dani. “Moal muncak? Sunrise yeuh” tanya A Herdi pada teman-temannya yang matanya masih terpejam dan diselimuti sleeping bag. Aku dan A Herdi pun membuat air panas dan menyeduh beberapa gelas kopi dan susu serta menyiapkan beberapa potong roti untuk sarapan pagi itu. A Rus dan A Arab (atau dengan nama asli A Hamzah itu) masih saja tertidur tak mau bangun dari tempatnya. Dengan aroma kopi yang menghipnotis, mereka pun terbangun dari tempat persinggahannya.
            Sarapan telah usai, kitapun bergegas melangkah ke puncak dengan perbekalan seadanya, barang-barang yang lainnya ditaruh dalam tenda. Dengan hati-hati karena kondisi tanah masih licin dan banyaknya genangan air, membuat kita berjalan dengan perlahan.
“Puncak! Puncak!” kata Teh Bungsu dengan riangnya “Ahh PHP wae si teteh eta mah ti kamari ge” keluh A Arab “Beneran, yaudah kalau ngga percaya mah” balasnya sambil berlari kedepan “Ehh beneran euy puncak” kata A Arab ketika melihat anak panah yang menunjukan Puncak.
            “Alhamdulillah.. Puncak Manik Salak 1, akhirnya aku menginjakan kaki disini” seru batinku. Kami pun duduk-duduk sebentar dan mengambil air disumbernya untuk dimasukan kedalam beberapa botol kosong. Alat-alat masak beserta makanan kita keluarkan dengan semangat untuk menikmati secangkir kopi dan teh tarik panas dipuncak ini, setelahnya kita berfoto ria memuaskan diri dengan sepuas-puasnya. Matahari begitu tampak tenang dan tersenyum melihat kekonyolan yang kita lakukan pada hari itu.
            “Nyari tempat lain yuk?” ajakku pada kaka ketua. Ia pun tersenyum bahagia seakan tak sabar melihat keindahan dunia yang lainnya. Lagi-lagi aku berbincang dengan tawa menggelitik, meski aku sadari lelah rasanya harus berpura-pura tertawa. Dipuncak dalam beberapa detik ini, ketika hanya kita dan kepura-puraan orang lain yang tak melihat, seakan semua kalimatnya termuntahkan dalam rasa yang terlihat datar, tak ada lagi bising tawa yang terdengar hanya diam terpaku tanpa harus menjawab apa yang seharusnya dijawab, dan tanpa adanya kalimat tanya yang mengguyur seperti yang diinginkan. “Aku ngga tau harus memulai darimana, semuanya berjalan begitu cepat, jika itu memang pilihanmu semoga kita bisa dipertemukan kembali” jawabnya.
            “Ciiiieeeeeee... Kiiiwwwww...” sorak teman-teman yang melihat kita dari kejauhan. Lamunan kitapun terbangunkan oleh bising suara mereka. Ditambah A Arab yang mendekati kita dan langsung memotret tanpa aba-aba “Apaan sih A?” tanyaku dalam balut canda.
Akupun langsung nimbrung dalam kumpulan. “Ehem ehem.. Turun dari Salak langsung ada yang traktir nasi padang nih kayaknya” kata Teh Bungsu. Aku hanya bisa melongo mendengar perkataannya. Iyah aku tau, mungkin mereka menganggap ada apa-apanya aku bersamanya, padahal nothing! We are just friend not over, you know? Aku hanya mengabaikan setiap sindiran yang teman-teman lontarkan.
            “Ayok Teh Nde sama A Herdi duluan aja. Kalian mah kan selalu terdepan” ucap Teh Bungsu. Aku hanya mengangguk tanpa melihat raut wajah seperti apa yang ia pasang. Aku dan A Herdi terlebih dahulu sampai ditenda, langsung saja membereskan barang-barang dan mengemasnya sedemikian rapih, disusul mereka yang baru sampai ditempat kemah ketika kita sudah selesai merapihkan. Tendapun akhirnya dibongkar, membereskan tempat bekas kita kemah dari sampah-sampah yang berserakan, hingga bersih tanpa ada sampah plastik secuilpun.
            Lagi-lagi aku dan A Herdi berjalan terlebih dahulu, karena memang tidak ada yang ingin berjalan duluan“Kita mah trio aki-aki jadi jalannya pelan-pelan, dan harus paling belakang” tutur A Arab sambil menyenggol A Dani dan A Rus. “Apalagi Bungsu sama Ame mah pendaki santai jadi ngga pernah jalan paling depan” sela Teh Bungsu. Aku hanya menghirup nafas panjang dan dalam.
            “Sok aja kamu duluan” ucap kaka ketua dengan nada suara lemah. Kulihat raut wajahnya cerminkan kesedihan, entah apa yang ia pikirkan. Mungkinkah karena aku? Maafkanlah diri ini yang sudah terlalu jujur memuntahkan kalimat yang mungkin tak berkenan dilubuk hati.
            “Aaaarrrgghhh!!” jeritku dan terjatuh dilicinnya tanah serta kubangan air yang sangat kotor. “Hati-hati” ucap A Herdi “Telat! Udah keburu jatuh ane” balasku dalam batin. Dan aku masih berada diposisi saat aku jatuh, hanya merubah posisi kakiku menjadi berselonjor, beristirahat sejenak sampai aku mengisi amunisi tubuh dengan memakan beberapa butir coklat bulat kecil (CHA-CHA; makanan wajib saat mendaki ke gunung, ini adalah amunisiku hihihi).
            Lagi-lagi aku terperosok, begitu malu, aku hanya salah memijakan kaki, hanya kaka ketua yang melihatku terjatuh dalam posisi yang tidak sewajarnya, dia hanya tertawa dan membantuku untuk bangun kembali. Aku berjalan sendiri seolah semuanya enyah, seakan tak melihat apa yang berada didepan, tersamarkan dalam bayang-bayang tanya yang entah apa.
            Yeach! Pos 3, sumber air. Menidurkan carriel, aku langsung mengambil air wudhu serta menggelarkan sejadah untuk menunaikan ibadah shalat dzuhur dan menarik shalat ashar. Setelah melaksanakan ibadah, Teh Bungsu dan A Ame pun datang menghampiri kita disusul trio aki-aki yang baru sampai setelah kita mengeluarkan alat-alat masak dan bahan makanan untuk dipasak. Setelah kenyang menyantap makanan seadanya, meski dengan nasi yang masih mentah kitapun melanjutkan untuk turun ke pos-pos selanjutnya.
            Aku mengambil langkah terakhir, namun A Arab melarangku untuk berjalan dibelakang, hingga pos 1 pun tiba kita beristirahat sejenak dengan beberapa jepret foto dan canda riang dari kalimat-kalimat busuk yang termuntahkan.
            Sore itu kita dikagetkan oleh sebuah informasi dimana ada anak perempuan meninggal digunung salak. Artikel di internet sudah mulai menyebar dan berita di television sudah banyak ditayangkan. Setelah kulihat artikel tersebut ternyata memakai cover dengan foto rombongan kita. Astagfirullah.. mereka menganggap dari kelompok kitalah ada yang meninggal, padahal alhamdulillah kita turun dengan selamat dan tak ada satupun yang kurang. “Dek Oyan kok ada disini?” tanya Teh Bungsu.”Barusan Oyan diwawancara mengenai hal ini, dari tadi pagi banyak polisi, tentara, wartawan, tim sar dan yang lainnya ngumpul disini” jelasnya dengan deru nafas tak beraturan. Entah apa yang ku pikirkan kala itu, hanya detak jantung yang berdegup semakin hebat. Banyak orang-orang yang bertanya ketika kita sedang berjalan, menanyakan apakah semuanya baik-baik saja? Ketika sampai digerbang pintu masuk, aku menyalakan handphone yang sempat dimatikan, jaringanpun kembali normal, pesan dari Whatsapp mulai membeludak. Kaka pemandu (A Uthong) yang tidak ikut nanjak ke Gunung Salak mengirimkan pesan berkali-kali padaku mungkin ia merasakan kekhawatiran dan  menanyakan bagaimana keadaanku “Itu ada Nde nya difoto!” salah satu pesan yang kaka pemandu kirimkan. Hahaha ternyata dia bisa mengenalku meski aku membelakangi kamera. Disusul pesan Whatsapp dari Ohm Iyan yang hampir begitu sama menanyakan apakah aku benar-benar ikut nanjak ke Gunung Salak dan bagaimana kabarku setelah dikagetkan dengan berita yang sudah tersebar luas dan cukup menegangkan itu. Mbu Rika pun menanyakan apakah aku sudah turun dari puncak dan kapan akan pulang. It’s okey, I’m fine. Don’t worry!
            “Kita harus ngasih konfirmasi dulu, bahwa dari kelompok kita semuanya baik-baik saja. Dan mengenai meninggalnya anak SMP, itu semuanya hoax!” Ucap A Ame pada penjaga pos Gunung Salak. “Kita juga harus mengunjungi rumah anak tersebut, bahwa emang bener-bener anak yang diberitakan itu sehat” tambah Dek Oyan. “Anak itu kan cuma kecapean aja, padahal udah dikasih makan, minuman anget sama obat. Nde ko yang ngerawatnya juga ampe bener-bener pulih kembali. Lagian kita juga udah nawarin buat mereka turun, tapi mereka tetep nekat buat nanjak ke curug itu. Sebelum kita meninggalkan mereka” jelas A Arab. “Nahloh? Kita semua yang menolong anak perempuan itu, bukan cuma aku” sela batinku.
            Ketika semuanya kelar, kitapun pulang dengan hati yang tidak terlalu berkecamuk. Pulang kerumah masing-masing dengan banyak cerita yang ingin diceritakan pada semuanya. “Aku turun di Ciawi aja yah A” pintaku. “Loh kenapa? Kerumah aja dulu, nanti aku anterin kamu pulang” suruh kaka ketua. “Ngga usah A makasih, nanti takut ngerepotin. Lagian ini udah malem banget ngga enak sama orang rumah, pasti Aa juga cape banget mending langsung di istirahatin aja” jawabku. “Nah justru itu karena udah malem ngga baek kamu sendirian” katanya. “Kiri bang!” ucapku pada supir angkutan itu. Mobil angkot pun berhenti. “Maaf yah A, Nde turun duluan” pamitku. “Yaudah deh kalau maunya gitu. Hati-hati yah! Ongkos dari aku aja” ucapnya. “Ngga usah A, Nde masih ada uang ko” jawabku. “Ngga apa-apa. Ayok bang” suruhnya. Akupun tidak jadi memberikan ongkos pada supir tersebut, karena mobil telah melaju. Dia melihatku dari dalam angkot, sampai jauh dan tak terlihat lagi. Aku menghela nafas panjang lalu mengambil handphone disaku celanaku, dan mengklik icon panggilan “Dimana? Aku udah sampai Ciawi. Ditunggu ditempat biasa yah!” kataku lewat telepon genggam dan setelah itu mematikan panggilannya.

TAMAT

Mau tau hasil video nya?

Mau tau hasil jeprat-jepret nya?
Please, click here to see pictures 

Terimakasih sudah membaca dan melihat foto-foto absurd saya hehe..