Rabu, 28 Desember 2016

Karya Puisiku 226



Decak kagum yang ironi
Menumbuhkan tanda tanya
Kenapa memilih yang sementara
Tak tertarik kah untuk memiliki selamanya?

Apa yang harus dijawab
Ketika si lisan menatap mata yang tak berdosa
Mengangkat kedua tangan
Seraya berkata “Maaf jiwa ini sempat menyukainya”

Tangis terdengar kala restu tak terucap
Bahkan batin hanya memasang wajah kebingungan
Entah harus bagaimana lagi
Luka ini mungkin terabaikan

Sebodo amat dengan dunia yang mencerca
Setidaknya tahu benar
Mana bahagia yang ingin dinikmati

Karya Puisiku 225



Sorot mentari membakar bumi
Membinasakan rasa yang tenggelam
Terhalang oleh tawarnya kehidupan
Seakan kota mati namun bergumuruh

Salah siapa mematikan hati
Meregangkan keindahan menjadi semraut
Padahal sudah sebaik-baiknya menjaga perkara
Masih kurangkah melihat pelangi dari kejauhan

Tidak semudah yang dibayangkan
Ada hal yang harus dipertanyakan
Dalam logika berlumur darah cercaan
Kapan akan berakhir dengan  tangis kebahgaiaan

Hanya ingin menjadi pribadi tanpa aturan
Sakit kurasa
Namun jiwa salah mengartikan
Ternyata mungkin seseorang disana
Lebih terperosok kedalam jurang
Tenggelam dalam lautan rasa yang membunuh

Raga terkoyak hati tercabik
Dalam dimensi yang terbentur dinding
Tak ada pintu tuk dipilih
Masih terjebak dalam ruang hampa yang pengap

Menunggu apalagi?
Terpenjara dalam titik kebingungan
Tanpa ada sesuatu yang ingin dipilih