“Sebelumnya Nde minta maaf A, Nde
akui emang salah, udah ngerepotin Aa dan temen yang lainnya” ucapku
terbata-bata “Maaf A, Nde udah egois. Nde cuma mau bilang kalau Nde mau pamit” tambahku
dengan nada pelan. Diapun langsung menatapku tajam meski sebenarnya aku tidak
menatap tatapan dan wajahnya, aku hanya tahu dari apa yang ku rasakan. “Mau
kemana?” tanyanya penasaran “Nde ngga akan tinggal disini lagi, mungkin takan
kembali” jawabku dengan melihat sorot matanya yang berkaca-kaca “Aa ngga usah
tahu akan kemana aku pergi, mungkin Aa akan tau sendiri” jelasku. Seketika itu
hening, pada tanggal 31 Juli 2016 di Puncak Manik Salak 1.
2 hari sebelumnya. “Berangkat jam
berapa A?” tanyaku dalam sebuah pesan singkat “Aku masih kerja dulu ini ±pukul 23.00
aku baru kelar” jelasnya. “Yaudah deuh ntar kabarin kalau udah kelar yah A”
suruhku
Tik tok tik tok.. Jam pun berdenting
dengan normalnya, berputar bagai putaran roda, berpindah seolah-olah ia tak
pernah diam, jika ia tak berkutik mungkin telah mati ditelan karatnya batrai
yang tak pernah diganti. “Berangkat jam berapa?” tanya Mbu. “Nunggu konfirmasi
dari kaka ketua, Mbu” jawabku sambil sibuk memainkan handphone.
Kring.. Kring.. Kring.. Aku
dibangunkan oleh bunyi handphone dengan tampilan panggilan masuk, akupun
langsung mengangkat telepon dengan mata mengantuk. “Iyah hallo,
assalamaualaikum?” salamku “Waalaikumsalam, dimana? Ini aku otw jemput yah”
jawabnya diseberang sana. “Masih dirumah ini, aku siap-siap berangkat ko, ini
nunggu dipinggir jalan aja yah A”. Padahal aku belum bersiap-siap masih
merasakan kantuk yang sangat dalam, namun ku paksakan dengan sungguh, mencuci
muka dengan sekedarnya. “Aku udah nunggu dipinggir jalan nih” ucapnya via telepon
yang sempat aku angkat dengan loudspeaker aktif.
“Hati-hati dijalan” ucap seorang ibu
yang berkalut dengan kekhawatiran ketika ditinggalkan anaknya berpetualang
tanpa pengawasannya. Meski kita saling sadar ini bagaikan keluarga maya tanpa
ikatan darah yang mengikat. “Maaf telat” kataku sambil duduk dibelakang kemudi
motornya. Kitapun langsung berangkat menuju tempat tujuan, iyah mendaki ke
Gunung Salak via Cimelati.
“Eh ketemu lagi sama si Aa ini”
sapaku pada A Arab sambil bersalaman. “Akhirnya nanjak bareng juga yah”
jawabnya malu-malu. Lebih dari 1 bulan yang lalu ketika aku bercerita pada A
Herdi (ketua dari salah satu komunitas pecinta gunung didaerah Bogor) tentang
keinginanku mendaki ke Gunung Salak puncak manik 1, ia ikut-ikutan bergabung
ngobrol bersama kita dan memiliki keinginan yang sama. Dan akhirnya kitapun
membuat rencana kegiatan.
“A Tio kenapa ngga ikut nanjak
juga?” tanyaku pada salah satu teman A Herdi yang mengantarkan keberangkatan
kita, dan sebelumnya kita sudah berteman dan saling kenal disuatu tempat. “Lagi
sibuk-sibuknya dibengkel masih beres ini beres itu, tapi nanti kita ada
planning nanjak juga sih awal Agustus ke Salak” jelasnya “Sama A Herdi juga
tah?” tanyaku “Iyah begitulah” jawabnya simple.
Beristirahat beberapa jam di rumah
persinggahan teman A Ame yang cukup lumayan klasik dan sederhana, iyah ia
adalah pacar Teh Bungsu. Romantisme yang mereka tunjukan begitu sangat lekat,
entah berapa lama mereka telah menjalankannya, aku tak pernah ingin tahu, yang
penting semoga ikatan mereka langgeng sampai kapanpun, inilah doa yang terucap
dari seseorang yang menginginkan temannya bahagia. Setengah jam kemudian pada
pukul setengah 3 dini hari kita semua memejamkan mata untuk mengumpulkan
tenaga.
Pukul setengah 6 pagi aku sudah
bangun dari pejaman mata yang singkat. Meski beberapa menit sebelumnya aku
sempat dibangunkan oleh kaka ketua. Menjalankan rutinitas kewajiban umat islam menghadap
Sang Khaliq yang masih diselimuti rasa dingin.
Beberapa gelas kopi dan gorengan
telah melambai-lambai dengan riangnya dipagi yang masih berembun itu, menari
dan tersenyum bagaikan cahaya mentari yang menyorot dengan tajamnya, begitu
elok ku pandang dari kejauhan, aku tergoda dan mulai menghampiri seraya
mengambilnya dengan lembut dan menyantapnya dengan gemulai.
“Sunrise dikaki Gunung Salak” lirih
batinku. Pukul 07.00 kita berangkat menuju gerbang pendakian Gunung Salak,
sesampainya disana kita beristirahat sejenak, mengobrol dengan penjaga pos
tempat tersebut dan menikmati keindahan Gunung Salak yang berada didepan mata.
Pukul 10.00 kita memulai perjalanan,
menginjakkan kaki diperbatasan hutan yang masih kental dan lebatnya. Belum jauh
dari pintu masuk hutan, kita dipertemukan dengan 2 jalur tanpa papan penanda,
sempat kebingungan, namun dengan modal keyakinan kita memilih jalur kiri yang
terlihat jalannya sedikit menanjak. Tak salah pilih, akhirnya kita menemukan
pita kuning yang melilit pada badan pohon, pertanda sebuah jejak pernah singgah
dijalur ini, dengan lega kita melanjutkan perjalanan.
Segerombol anak-anak kecil kurang
lebih 10 orang berjalan mendahului kita tanpa membawa peralatan yang mumpuni.
Mau kemanakah mereka? Tidak mungkin jika mereka akan menuju puncak tanpa
membawa perbekalan yang lengkap, ditambah lebih banyak anak perempuan dibandingkan
anak laki-lakinya. Langkah pelan yang mereka ambil, membuat kita mampu
mendahului segerombolan anak-anak itu, hingga tiba di pos 1 kami beristirahat
sejenak sambil bersandar pada pohon besar yang menjulang sangat tinggi.
“Sini duduk-duduk dulu dek” suruh
salah satu dari kami. Merekapun menuruti perkataan kami. Bercerita dalam
balutan canda riang, hingga tanya jawab seriuspun terluapkan. “Ouh masih kelas
3 SMP tah? Mau pada ke curug gitu?” tanya A Ame. “Iyah ka” jawab salah satu
seorang anak laki-laki dari gerombolannya. “Curug masih pos 3 masih lumayan
jauh” tambah A Ame. Mau tambah air minumnya?” tawar kami.
Mereka berjalan terlebih dahulu
meninggalkan kita yang masih bersantai, namun tetap saja langkah mereka kalah
cepat dari kami, hingga akhirnya kita mampu menyusul mereka dan berjalan lebih
depan. “Siapa namanya?” tanyaku pada 3 orang anak laki-laki yang berjalan
beriringan bersamaku “Febri” ucap laki-laki yang memakai topi koboi “Danang”
kata seorang anak lelaki yang bertubuh gemuk, dan lelaki yang satu lagi bernama
Tio yang memiliki postur tubuh sedikit kurus.
Tiba-tiba ada seorang anak laki-laki
berteriak pada kami “Ka, bantuin dibawah ada yang pingsang” katanya dengan
nafas yang terburu-buru. Sebagian dari kamipun langsung berlari menuju anak
tersebut yang masih berada dibawah dengan meninggalkan carriel disembarang
tempat dan hanya mengambil beberapa makanan dan minuman beserta kotak P3K.
“Posisi tidurnya kaki diatas yah”,
“Coba kasih minum teh hangat dulu sama biskuit” “Ada roti nih, buat ganjel
perutnya”, “Bikinin mie coba”, “Selonjorin kakinya, itu kerudung sama sepatunya
dilepas aja dulu biar ada hawa yang masuk”. Semua orang sibuk mengkhawatirkan
satu anak perempuan yang sangat kelelahan itu, untung saja ia tidak benar-benar
pingsan, hanya menunjukan pertanda bahwa ia memang akan kehilangan kesadaran,
pertolongan yang cepat membuat ia perlahan sadar kembali. Mengipasinya agar
tidak kegerahan, memijatnya penuh perasaan, dan menyuapinya dengan kasih sayang
yang tercipta dari seorang perawat alam liar dadakan. Hahaha.
“Kalau misalkan ngga kuat, lebih
baik adek turun aja kembali kebawah, jangan maksain ke curug” saran A Arab. Aku
hanya menatapnya dengan penuh perhatian “Apa yang dirasain sekarang?” tanyaku
“Udah mendingan ko Teh, kayaknya udah bisa jalan ko” tutur anak tersebut yang
bernama Pertiwi “Ngga usah maksain dek, istirahat aja dulu” ucapku. Namun
dengan bersih keras ia tetap ingin melanjutkan perjalanannya ke curug, meski
sudah kita sarankan untuk tidak meneruskan perjalanan yang masih lumayan jauh
itu.
Perasaan khawatir masih menyelimuti
kita semua, namun dengan pikiran positif semua akan baik-baik saja.
Segerombolan anak-anak SMP itu berjalan lebih dahulu. Sampai di pos 2 kami
beristirahat dengan mengeluarkan beberapa amunisi yang telah dibawa, semua
menyantap makanan dengan sangat lapar, kecuali aku, yang mau ngga mau menikmati
kelezatan si nasi bungkus. Bukan aku tak suka, tapi perut ini belum berteriak
kelaparan. Namun apalah daya akhirnya aku ikut makan bersama mereka, hanya
untuk menghargai apa yang mereka berikan. Aku ingat ucapan seseorang dimana ia
pernah berkata “Makanlah meski kamu tak lapar, nikmati setidaknya beberapa suap
agar mereka bahagia”.
Kebiasaan, terlalu banyak diam aku
selalu merasakan kantuk, di tidurkan pasti bangun-bangun akan merasakan pusing,
kalau tidak ditidurkan? Haduuuuhh, serba salah jadinya.
Melanjutkan perjalanan, hingga
sampai di pos 3. Mengambil beberapa botol air dari pancuran yang tersedia,
duduk selonjoran sambil menunggu air mengisi, melihat sekeliling ternyata
banyak yang ngecamp di pos 3 ini, mungkin saat itu telah menunjukan pukul 2
siang hari. “Maaf mba, bawa mukena ngga? Buat temen saya, dia lupa ngga bawa”
tanya seorang laki-laki yang tak aku kenal. Akupun sempat kebingungan antara
memberikan mukena atau tidak, dikarenakan saat itu kita akan beranjak dari
tempat itu. Namun dengan perasaan kasian membantu seseorang apalagi dalam hal ibadah
kenapa aku harus nolak? Akupun memberikan pinjaman mukena pada seseorang yang
tak aku kenal itu. Mungkin ini cara Allah agar aku melaksanakan ibadah juga,
dan tidak melewatkannya dengan sengaja. Akupun mengambil air wudhu dan
bergiliran shalat dengan perempuan itu yang tidak diketahui namanya, mengqashar
ashar pula, setelah itu aku melihat Teh Bungsu turut ikut melaksanakan ibadah
shalat “Alhamdulillah..” syukur ku dalam batin. Setelah selesai kitapun
beranjak meninggalkan tempat itu, hati ini amat tenang dan lega serasa jiwa
disirami kesejukan oleh malaikat penabur kebahagiaan.
Ditengah perjalanan A Herdi
mengalami muntah-muntah, pusing dan demam menyerangnya kala itu, akupun
langsung membantunya hingga rasa sakit yang dideritanya berkurang dengan masase
yang pernah aku dapati saat sekolah dulu, memberikan obat untuk meringankan
gejalanya serta pil vitamin untuk meningkatkan kondisi tubuhnya menjadi lebih
baik. Roti dan air minum hangat pun tak terlewatkan. “Ciiieeeee.. Pengen atuh
dimanja” ucap salah seorang dari mereka, “Masa harus sakit dulu biar kayak si
Black?” tambah mereka.
Jam hampir menunjukan waktu maghrib,
aku terus melangkah tanpa hentinya dan tanpa pendamping, berjalan merasakan
kabut yang hampir menutupi hutan di gunung salak, hingga akupun berdiam duduk
dijamnya maghrib yang terlewati sambil menanti teman-teman yang masih jauh
dibawah sana. Tak lama aku melihat kaka ketua berada dibelakangku, ia mendekati
dan menemaniku, berada duduk disampingku. Ku tawari beberapa makanan dan
minuman untuk melepas lelahnya.
Ngobrol kesana-kesini ngga jelas
tapi sedikit bermakna, hingga tawa paksa itu termuntahkan di angka 6 si jarum
jam. Aku mencoba bermain dengan kamera handphone dan ku jepretkan tepat
didepanku “Cekrek, cekrek, cekrek” bunyi kamera handphone, ku ambil beberapa
gambar dengan mudahnya. Kagetnya saat aku zoom salah satu gambar yang aku ambil
barusan, ada sesuatu yang tak lazim digambar tersebut. Bukannya aku merasakan
takut, namun aku merasa riang, akhirnya aku bisa mendapatkan keghaiban kembali
ditempat semacam ini. Dan ku tunjukan pada kaka ketua, dia hanya menganggap
datar seakan itu hanya pareidolia semata.
Hujan rintik-rintik temani malam
itu, jas hujan pun akhirnya keluar dari tempat peneduhannya. Beberapa menit
menunggu teman-teman lainnya, akhirnya kita berkumpul bersama dan berjalan lagi
dengan hati-hati. Gelap semakin menyelimuti, headlamp dan lampu senter pun
telah berada digenggaman kepala dan tangan untuk menyoroti si malam yang sudah
tampak.
Pijakan mulai tak beraturan,
pegangan tangan saling kuat, berduyun-duyun membantu menyoroti langkah, kondisi
tanah yang licin karena diguyuri keroyokan air yang turun dari langit membuat
kita harus sangat berhati-hati. “Udah ngga bakal bener kalau kita lanjut jalan,
lebih baik kita nyari tempat buat ngecamp” ujar salah seorang dari kami yang
entah siapa.
“Pos 6” ucap Teh Bungsu sambil
menyoroti plang Pos 6 itu dengan headlamp yang ia kenai. Melangkah dengan
pelan, dan terus menyoroti jalan dengan cahaya lampu. Akhirnya kita mendapatkan
sedikit tempat untuk berkemah, cukup untuk 2tenda. Memasang tenda dengan
cekatan meski masih saja diselingi canda tawa yang terlontarkan dari
mulut-mulut pendosa yang bijaksana. Ternyata, gunung salak tidak sedingin yang
aku kira.
Setelah tenda berdiri kita pun
bergiliran membereskan barang-barang yang kita bawa, dan membuat makanan untuk
diberikan pada cacing-cacing perut yang sudah kelaparan sedari tadi. Didalam
tenda kita bermain kartu sambil memutar musik via handphone, tertawa seakan tak
punya beban atau mungkin terlupakan, lontaran kalimat kasar untuk bahan candaan
seakan sudah terbiasa terdengar ditelingaku, meski sedikit risih namun apalah
daya. “Duh anak urang nelpon, kecilan volume musikna bray” kata A Dani, namun
karena jaringan yang tidak mendukung A Dani tak berlama-lama mengobrol dengan
anaknya itu. Kitapun kembali memutar alunan musik “Itu lagunya Burgerkill yah
A?” tanyaku pada A Rus yang baru saja memutarkan lagu yang tak asing lagi
ditelingaku “Iyah” jawabnya simple “Weessss.. si teteh eta mah ilmu musikna
hade euy, apalan wae lagu-lagu anu diputerkeun teh” tutur A Arab yang sedikit
memujiku. Aku hanya tertawa saja mendengar kalimatnya. Kitapun saling berbagi
cerita, tertawa dalam temaramnya cahaya. Ternyata A Rus dan A Dani itu sudah
married toh? Nde kira belum, abis ngga keliatan sih, wajar aja kali yah baru
punya anak 1, lagi masa-masanya greget hihihi..
Neraka membayangiku malam itu, ketika dengan
sengaja ku lewatkan 1 hal yang sakral, hujan yang terus mengguyur membuatku
menuruti malaikat merah yang membisikku dengan lembut, aku terbuai oleh
lantunannya. Maafkan aku Rabb, ku akui seharusnya ini tak boleh terjadi.
“Assalamualaikum..” sapa seseorang
dibarengi suara langkah kaki terdengar samar ditelingaku saat mataku masih
terpejam rapat “Udah pada tidur kayaknya mah” ucap seseorang yang berada diluar
tenda. Ku jawab salamnya dalam hati, bibirku masih enggan berucap, aku hanya
menghiraukan suara-suara diluar sana dan melanjutkan tidurku.
Pagi menjelang, jarum jam di
pergelangan tangan menunjukan pukul setengah 6 pagi, aku keluar tenda dengan
beraninya, mengambil 1 botol air berukuran 1liter ku gunakan untuk berwudhu dan
menjalankan ibadah sakral dipagi itu beserta teman-temannya yang semalam
kutinggalkan dengan sengaja, menggelar sejadah dipinggir tenda, dengan suhu
yang lumayan dingin ku bersujud dalam deru tangis kepasrahan.
“Summit.. Summit..” ucap A Herdi
“Isuk keneh atuh Her, tariris kieu” balas A Dani. “Moal muncak? Sunrise yeuh”
tanya A Herdi pada teman-temannya yang matanya masih terpejam dan diselimuti
sleeping bag. Aku dan A Herdi pun membuat air panas dan menyeduh beberapa gelas
kopi dan susu serta menyiapkan beberapa potong roti untuk sarapan pagi itu. A Rus
dan A Arab (atau dengan nama asli A Hamzah itu) masih saja tertidur tak mau
bangun dari tempatnya. Dengan aroma kopi yang menghipnotis, mereka pun
terbangun dari tempat persinggahannya.
Sarapan telah usai, kitapun bergegas
melangkah ke puncak dengan perbekalan seadanya, barang-barang yang lainnya
ditaruh dalam tenda. Dengan hati-hati karena kondisi tanah masih licin dan
banyaknya genangan air, membuat kita berjalan dengan perlahan.
“Puncak!
Puncak!” kata Teh Bungsu dengan riangnya “Ahh PHP wae si teteh eta mah ti
kamari ge” keluh A Arab “Beneran, yaudah kalau ngga percaya mah” balasnya sambil
berlari kedepan “Ehh beneran euy puncak” kata A Arab ketika melihat anak panah
yang menunjukan Puncak.
“Alhamdulillah.. Puncak Manik Salak
1, akhirnya aku menginjakan kaki disini” seru batinku. Kami pun duduk-duduk
sebentar dan mengambil air disumbernya untuk dimasukan kedalam beberapa botol
kosong. Alat-alat masak beserta makanan kita keluarkan dengan semangat untuk
menikmati secangkir kopi dan teh tarik panas dipuncak ini, setelahnya kita
berfoto ria memuaskan diri dengan sepuas-puasnya. Matahari begitu tampak tenang
dan tersenyum melihat kekonyolan yang kita lakukan pada hari itu.
“Nyari tempat lain yuk?” ajakku pada
kaka ketua. Ia pun tersenyum bahagia seakan tak sabar melihat keindahan dunia
yang lainnya. Lagi-lagi aku berbincang dengan tawa menggelitik, meski aku
sadari lelah rasanya harus berpura-pura tertawa. Dipuncak dalam beberapa detik
ini, ketika hanya kita dan kepura-puraan orang lain yang tak melihat, seakan
semua kalimatnya termuntahkan dalam rasa yang terlihat datar, tak ada lagi
bising tawa yang terdengar hanya diam terpaku tanpa harus menjawab apa yang
seharusnya dijawab, dan tanpa adanya kalimat tanya yang mengguyur seperti yang
diinginkan. “Aku ngga tau harus memulai darimana, semuanya berjalan begitu
cepat, jika itu memang pilihanmu semoga kita bisa dipertemukan kembali”
jawabnya.
“Ciiiieeeeeee... Kiiiwwwww...” sorak
teman-teman yang melihat kita dari kejauhan. Lamunan kitapun terbangunkan oleh
bising suara mereka. Ditambah A Arab yang mendekati kita dan langsung memotret
tanpa aba-aba “Apaan sih A?” tanyaku dalam balut canda.
Akupun langsung
nimbrung dalam kumpulan. “Ehem ehem.. Turun dari Salak langsung ada yang
traktir nasi padang nih kayaknya” kata Teh Bungsu. Aku hanya bisa melongo
mendengar perkataannya. Iyah aku tau, mungkin mereka menganggap ada apa-apanya
aku bersamanya, padahal nothing! We are just friend not over, you know? Aku
hanya mengabaikan setiap sindiran yang teman-teman lontarkan.
“Ayok Teh Nde sama A Herdi duluan
aja. Kalian mah kan selalu terdepan” ucap Teh Bungsu. Aku hanya mengangguk
tanpa melihat raut wajah seperti apa yang ia pasang. Aku dan A Herdi terlebih
dahulu sampai ditenda, langsung saja membereskan barang-barang dan mengemasnya
sedemikian rapih, disusul mereka yang baru sampai ditempat kemah ketika kita
sudah selesai merapihkan. Tendapun akhirnya dibongkar, membereskan tempat bekas
kita kemah dari sampah-sampah yang berserakan, hingga bersih tanpa ada sampah
plastik secuilpun.
Lagi-lagi aku dan A Herdi berjalan
terlebih dahulu, karena memang tidak ada yang ingin berjalan duluan“Kita mah
trio aki-aki jadi jalannya pelan-pelan, dan harus paling belakang” tutur A Arab
sambil menyenggol A Dani dan A Rus. “Apalagi Bungsu sama Ame mah pendaki santai
jadi ngga pernah jalan paling depan” sela Teh Bungsu. Aku hanya menghirup nafas
panjang dan dalam.
“Sok aja kamu duluan” ucap kaka
ketua dengan nada suara lemah. Kulihat raut wajahnya cerminkan kesedihan, entah
apa yang ia pikirkan. Mungkinkah karena aku? Maafkanlah diri ini yang sudah
terlalu jujur memuntahkan kalimat yang mungkin tak berkenan dilubuk hati.
“Aaaarrrgghhh!!” jeritku dan
terjatuh dilicinnya tanah serta kubangan air yang sangat kotor. “Hati-hati”
ucap A Herdi “Telat! Udah keburu jatuh ane” balasku dalam batin. Dan aku masih
berada diposisi saat aku jatuh, hanya merubah posisi kakiku menjadi
berselonjor, beristirahat sejenak sampai aku mengisi amunisi tubuh dengan
memakan beberapa butir coklat bulat kecil (CHA-CHA; makanan wajib saat mendaki
ke gunung, ini adalah amunisiku hihihi).
Lagi-lagi aku terperosok, begitu
malu, aku hanya salah memijakan kaki, hanya kaka ketua yang melihatku terjatuh
dalam posisi yang tidak sewajarnya, dia hanya tertawa dan membantuku untuk
bangun kembali. Aku berjalan sendiri seolah semuanya enyah, seakan tak melihat
apa yang berada didepan, tersamarkan dalam bayang-bayang tanya yang entah apa.
Yeach! Pos 3, sumber air. Menidurkan
carriel, aku langsung mengambil air wudhu serta menggelarkan sejadah untuk
menunaikan ibadah shalat dzuhur dan menarik shalat ashar. Setelah melaksanakan
ibadah, Teh Bungsu dan A Ame pun datang menghampiri kita disusul trio aki-aki
yang baru sampai setelah kita mengeluarkan alat-alat masak dan bahan makanan
untuk dipasak. Setelah kenyang menyantap makanan seadanya, meski dengan nasi
yang masih mentah kitapun melanjutkan untuk turun ke pos-pos selanjutnya.
Aku mengambil langkah terakhir,
namun A Arab melarangku untuk berjalan dibelakang, hingga pos 1 pun tiba kita
beristirahat sejenak dengan beberapa jepret foto dan canda riang dari
kalimat-kalimat busuk yang termuntahkan.
Sore itu kita dikagetkan oleh sebuah
informasi dimana ada anak perempuan meninggal digunung salak. Artikel di
internet sudah mulai menyebar dan berita di television sudah banyak ditayangkan.
Setelah kulihat artikel tersebut ternyata memakai cover dengan foto rombongan
kita. Astagfirullah.. mereka menganggap dari kelompok kitalah ada yang
meninggal, padahal alhamdulillah kita turun dengan selamat dan tak ada satupun
yang kurang. “Dek Oyan kok ada disini?” tanya Teh Bungsu.”Barusan Oyan
diwawancara mengenai hal ini, dari tadi pagi banyak polisi, tentara, wartawan,
tim sar dan yang lainnya ngumpul disini” jelasnya dengan deru nafas tak
beraturan. Entah apa yang ku pikirkan kala itu, hanya detak jantung yang
berdegup semakin hebat. Banyak orang-orang yang bertanya ketika kita sedang
berjalan, menanyakan apakah semuanya baik-baik saja? Ketika sampai digerbang
pintu masuk, aku menyalakan handphone yang sempat dimatikan, jaringanpun
kembali normal, pesan dari Whatsapp mulai membeludak. Kaka pemandu (A Uthong)
yang tidak ikut nanjak ke Gunung Salak mengirimkan pesan berkali-kali padaku mungkin
ia merasakan kekhawatiran dan menanyakan
bagaimana keadaanku “Itu ada Nde nya difoto!” salah satu pesan yang kaka
pemandu kirimkan. Hahaha ternyata dia bisa mengenalku meski aku membelakangi
kamera. Disusul pesan Whatsapp dari Ohm Iyan yang hampir begitu sama menanyakan
apakah aku benar-benar ikut nanjak ke Gunung Salak dan bagaimana kabarku
setelah dikagetkan dengan berita yang sudah tersebar luas dan cukup menegangkan
itu. Mbu Rika pun menanyakan apakah aku sudah turun dari puncak dan kapan akan
pulang. It’s okey, I’m fine. Don’t worry!
“Kita harus ngasih konfirmasi dulu,
bahwa dari kelompok kita semuanya baik-baik saja. Dan mengenai meninggalnya
anak SMP, itu semuanya hoax!” Ucap A Ame pada penjaga pos Gunung Salak. “Kita
juga harus mengunjungi rumah anak tersebut, bahwa emang bener-bener anak yang
diberitakan itu sehat” tambah Dek Oyan. “Anak itu kan cuma kecapean aja,
padahal udah dikasih makan, minuman anget sama obat. Nde ko yang ngerawatnya
juga ampe bener-bener pulih kembali. Lagian kita juga udah nawarin buat mereka
turun, tapi mereka tetep nekat buat nanjak ke curug itu. Sebelum kita
meninggalkan mereka” jelas A Arab. “Nahloh? Kita semua yang menolong anak
perempuan itu, bukan cuma aku” sela batinku.
Ketika semuanya kelar, kitapun
pulang dengan hati yang tidak terlalu berkecamuk. Pulang kerumah masing-masing
dengan banyak cerita yang ingin diceritakan pada semuanya. “Aku turun di Ciawi
aja yah A” pintaku. “Loh kenapa? Kerumah aja dulu, nanti aku anterin kamu
pulang” suruh kaka ketua. “Ngga usah A makasih, nanti takut ngerepotin. Lagian
ini udah malem banget ngga enak sama orang rumah, pasti Aa juga cape banget
mending langsung di istirahatin aja” jawabku. “Nah justru itu karena udah malem
ngga baek kamu sendirian” katanya. “Kiri bang!” ucapku pada supir angkutan itu.
Mobil angkot pun berhenti. “Maaf yah A, Nde turun duluan” pamitku. “Yaudah deh
kalau maunya gitu. Hati-hati yah! Ongkos dari aku aja” ucapnya. “Ngga usah A,
Nde masih ada uang ko” jawabku. “Ngga apa-apa. Ayok bang” suruhnya. Akupun tidak
jadi memberikan ongkos pada supir tersebut, karena mobil telah melaju. Dia
melihatku dari dalam angkot, sampai jauh dan tak terlihat lagi. Aku menghela
nafas panjang lalu mengambil handphone disaku celanaku, dan mengklik icon
panggilan “Dimana? Aku udah sampai Ciawi. Ditunggu ditempat biasa yah!” kataku
lewat telepon genggam dan setelah itu mematikan panggilannya.
TAMAT
Mau tau hasil video nya?
Mau tau hasil jeprat-jepret nya?