“Nanti kalo
udah di Garut jangan manggil kaka pemandu lagi yah, malu banyak temen-temen
disana mah”
|
Ketika rasa penat itu menghampiri
Berdiri didepanku dan menatap lekat kedua bola mata
Dengan sorot yang menyeramkan
Mengguncang pikiran
Hingga teriakan amarahpun teramukkan
Ego ini termuntahkan
Ribuan tanya jawab dalam diri berkecamuk
Berhembus kencang bak angin yang tak terlihat
Namun api tak pernah padam
Digoyahkan malah menjalar
“Pokonya harus
nanjak!” seruku pada sebuah cermin datar pada dini hari disaat sebagian makhluk
mungkin telah berada dalam nuansa mimpi yang mereka rasakan. Niat yang kuat,
strategi yang kokoh, dan panjatan doa yang tak pernah terlewati dalam setiap
sujud teristimewa dimalam hari. Diam dalam balutan doa penuh harap.
Dosa manakah lagi yang akan diperbuat?
Ketika batu-batu kecil menumpuk dikesetiap hariannya
Berlagak mengacuhkan
Seakan tak perduli
Dengan jiwa yang nekad
Menghempaskan alasan yang berisi persetan
Sadar benar,
Tapi tak lihatlah catatan merah yang tebal itu?
Puas memang,
Saat bait-bait sudah tersampaikan
Terkabulkan
Namun inilah penyembuhan lara dengan logika
Tidak ada
persiapan sama sekali, barang-barang yang tersimpan diberbagai penjuru tempat
ku ambil paksa dengan langkah kaki yang tidak biasanya, iyah aku merasakan
detak jantungku berdegup kencang dengan deru nafas yang cepat namun tak
perdulikan, yang aku pikirkan saat itu adalah tak mengecewakan orang lain
dengan penungguannya atas keterlambatanku. Memasukan barang-barang yang akan
dibawapun ku acuhkan dengan tak beraturan, tak terpikirkan bahwa ada beberapa
barang yang tertinggal. Ah shit! Baru tersadarkan setelah jauh meninggalkan
ruangan itu.
“Gila! Nekat bener
kamu?” tanya Pika dengan melongonya. “Serius kamu mau hiking? Kemana?” Aneu
yang saat itu sedang dudukpun langsung berdiri dan mengerutkan dahinya. “Garut” jawabku. “Bukannya udah pernah hiking
kesana?” tanya Aneu yang semakin penasaran. “Kota yang sama beda puncaknya
Neu”. Aneu hanya menghela nafas panjang “Aku hanya ingin melupakan pekatnya
masa lalu yang hadir kembali, kamu tau sendiri kan Neu ceritanya?”. Sejenak ia menatap
kosong dan berkata dengan terbata-bata “Hati-hati dijalan”. Aku hanya tersenyum
kecil, senyuman itu terbuat dari campuran bahagia sedih kesal dan jutaan
perasaan lain yang tak bisa aku sebutkan satu persatu, entah seperti apa
jadinya..
Pergi menjauh
Tinggalkan bayang kelam mematikan saraf
Tanpa melihat kembali jejak yang terlewati
Terus melangkah maju
Menghiraukan segala sesuatu yang sudah terlewatkan
Karena aku berjalan kedepan
Matahari yang
sempat tersenyum disore itu, kini mulai redup meninggalkan tugasnya yang selalu
menyoroti cahaya terang ke bumi, dan tergantikan oleh cahaya lampu pijar yang
bergelantungan ditihang yang berdiri menjulang dipinggir jalan kota. “Dimana?”.
Lagi-lagi pesan singkat itu yang ku terima dari ponselku. “Masih nunggu bis,
dari tadi belum ada” balasku sedikit jengkel.
Bisakah
dipersentasekan berapa banyak perempuan nekat didunia ini seperti seorang Nde?
Seorang perempuan yang dengan keberaniannya berada sendiri dilingkup kaum adam
tanpa ada satu orangpun yang ia kenali? Hanya dengan bertekad keyakinan bahwa
Rabb-Nya selalu melindungi dan menjaga dari sekelilingnya. Asyik memang ngobrol
kesana kesini bersama kerumpulan orang-orang dihalte saat itu, canda gurau
tanpa batas yang teramukkan terasa hangat seperti sudah lama berada
dilingkupnya, meski sesekali merasakan sedikit ketakutan namun tak pernah aku tunjukan,
agar kecurigaan itu tidak tampak.
“Kayaknya mereka mau
pada nanjak juga deh?” pikirku ketika melihat segerombol orang dengan membawa
carriel dipundaknya. Pandanganku langsung tertuju pada 1 perempuan dari
sekumpulannya, “Kek pernah liat cewe itu, tapi dimana yah?” pikirku lagi sambil
mengingat dan memperhatikan gerak-geriknya yang sebenarnya tidak asing lagi
dimataku, namun terenyahkan. Mendengar bising suara tapi tidak mendengarkan,
ketika otak mulai berhenti dalam 1 titik fokus tanpa melihat arah lainnya,
seperti ini kebiasaan buruk yang ku derita dalam posisi yang tidak stabil.
Iyah, perempuan itu..
Semua bayang kabur
tersadarkan. Merdu adzan maghrib yang membangunkan segalanya dan mengakhiri
obrolan bersama orang-orang sekitar. “Mau shalat dulu yah bang, kiranya bis
datengnya masih lama kan yah?” lirihku “Iyah neng, silahkan. Dari sini lurus
aja terus belok kanan dari situ keliatan ko mushalanya” jawabnya dengan
mengarahkan letak menuju tempat suci penuh kedamaian itu.
Kegilaan dan kenakalan ini tak pernah ku ambil sempurna
Masih tertanam setidaknya sedikit ada jiwa murni
Aku tak akan pernah lupa dengan kewajibanku
Meski sadar diri ini terlalu kotor dan hina
Namun dengan keyakinan inilah
Mungkin mampu mengikis sedikit demi sedikit tuk melebur dosa
Yang kian menumpuk dikesetiap hariannya
Dan tak pernah terlewati
“Deuh.. Udah jam
setengah 8 masih belum ada bis juga? Bete nunggu dari jam setengah 6.
Membosankan!” Keluhku dalam diam. “Temennya A Suge yah?” tanya perempuan
berkaos merah dengan carriel dipundaknya itu, yang sedari tadi aku perhatikan,
dan kini berada didepanku. “Suge?” tanyaku heran. “Atau temennya Sandi?”
tanyanya lagi “Ouh iyah saya temennya” jawabku. “Tadi dia bilang titip kamu ke
aku jadi kita barengan aja.” tuturnya. “Titip? Emangnya aku barang maen
dititip-titip segala? Apa karena khawatir? Untuk apa seseorang memiliki kekhawatiran
seperti itu pada seseorang yang bernama Nde? Apa karena ia sosok perempuan? Aahhh..
Lagi-lagi olah pikir orang semacam itu membuatku memutar mata. Masih belum
yakinkah dengan pembuktianku selama ini? Please, jangan ada kata khawatir
sebelum aku mengibarkan bendera putih” oceh batinku dalam bayang lamunan.
“Nde” ucapku
memperkenalkan diri dengan telapak tangan yang terbuka “Fadil” iapun membalas
jabat tangan erat ini. Hanya beberapa kalimat tanya jawab singkat, selepas itu
sunyi tak berkutik. Tidak ada obrolan yang hangat, hanya pembicaraan yang kaku
dan dingin, meski sudah ku coba banjiri air panas yang dilumuri sebatang coklat
yang manis dengan lengkung senyum yang dibuat indah, namun tetap saja bibirnya
yang menggoda itu tak merajuk. “Ada apa dan kenapa? Apakah ada yang salah?”
hati ini bertanya-tanya.
Bis jurusan Garut
dengan plat berwarna kuning dan hijau itu yang dinantikan sedari tadi kini
telah tiba pada pukul ±8malam, carriel yang kita bawapun dimasukan satu persatu
kedalam bagasi. “Akay” salam hangat permulaan dari seorang laki-laki dengan
tubuh yang membelakangi cahaya lampu pijar membuatku samar-samar melihatnya.
Tersenyum digelapnya malam dengan balasan perkenalan membuat diri ini terasa
dianggap didalam rumah yang beratap sedikit bocor, iyah meski hanya sebagian,
karena aku tau sifat seseorang berbeda-beda, wajarkan. “Boleh duduk bertiga
disini?” tanyaku pada Teh Fadil dan satu temannya yang memakai kerudung berwarna
biru muda itu, Anna. “Iya boleh sok aja,
ini kan bangku 3” jawab Teh Fadil yang langsung menggeserkan tubuhnya,
memberikan sedikit celah tempat untukku.
Beberapa menit
terbuang percuma, tak ada subject maupun object yang menyenangkan. Hening
didalam keramaian dengan kesibukan masing-masing. Dan aku memutuskan untuk
pindah tempat duduk tidak jauh dari tempat duduk semula, iyah didepannya,
sendiri menatap keluar jendela yang tertutup rapat dan sedikit gelap buram itu,
sesekali akupun tertidur samar. “Sebentar lagi bis yang Nde naiki mau sampe
Cipanas” kukirim pesan singkat pada seseorang yang jauh diseberang sana, iyah A
Utong.
Laki-laki yang
bernama Akay itu menghampiriku dan duduk disebelahku, memberikan perbincangan
yang renyah, sesekali tawa terpaksa itu termuntahkan hanya untuk mencairkan
suasana. Tak terasa sudah sampai di Cipanas lagi, bis yang aku tumpangi
sebentar lagi akan berhenti. “Barusan A Sandi ngirim pesan ke saya katanya dia
sama temen-temennya ngga bakal jadi nanjak ke cikurai Teh, yaudah teteh mah
nanjak bareng kita aja” ucap salah seorang laki-laki berkaos lengan hitam
pendek yang belum aku ketahui namanya. “Nahloh? Ini bercanda apa gimana? Masa
iya sih?” tanya batinku. Akupun hanya tertawa canggung dan menganggap ini semua
memang candaan dimalam hari. Ekspresi yang terpasang dan nada suaranya yang
meyakinkan sehingga candaan itu seakan benar serius, dan mereka berhasil
membuatku tercengang. “Teh tidur Teh, atau pura-pura tidur aja. Udah pada mau
naik tuh” ucap A Akay ketika bis sudah berhenti. Dan anehnya aku nurut aja,
bodoh!
Pertemuan ini melepaskan satu rasa
Dimana sudah lama terkubur tanah
Dengan tangan yang menjulur kebumi
Meronta bagaikan kekeringan
Padahal semuanya lembab
Perkiraanku salah
Terpenjara didalam satu titik fokus
Menatap dalam celah ruang yang tersembunyi
Berharap genggaman kuat ini
Mampu mengambil aura yang berjalan menjauh
Hanya butuh beberapa waktu
Tuk menggapai apa yang dirasakan
Meski berawal dari tebakan yang salah
Namun pada akhirnya mendekat dan terungkap
“Si Nde udah
tidur?” suara itu.. Aku mengenalinya.. Iyah aku kenal suara itu.. Dia.. “Heh
bangun!”. Akupun membuka mata dan melihat sosok dari arah suara itu muncul.
“Tumben udah tidur jam segini?” ucapnya lagi. Akupun langsung menyalaminnya dengan
senyum kesal yang terlengkungkan. “Ciiiieeeee yang dapet dulur baru” girangnya.
Kalimatnya membuatku kebingungan harus memunculkan ekspresi wajah seperti apa. “Kata
Nde juga berangkatnya abis isya aja, toh bisnya juga ada jam 8 A” ketusku. Ia
seperti mengabaikan kalimatku tetapi ia menyempatkan menatap lekat kedua bola
mata yang pandangannya tersamarkan lalu berpaling cepat.
“Ikut duduk yah”
ucap seorang laki-laki yang langsung duduk disebelahku. Aku hanya mengangguk
saja. “Ohm” laki-laki itu mengenalkan diri sambil memberikan jabat tangannya
“Nde” balasku. Dari situlah awal perkenalan dan perbincangan kami yang terkesan
sedikit kepo.
Malam semakin
larut, seakan gelap tanpa akhir, tujuan kita masih jauh diseberang sana, perlu
berjam-jam lagi untuk sampai pengakhiran, posisi duduk maupun perpindahan
tempat duduk sudah berubah berjuta kali, hilir mudik orang-orang didalam bis
malam itu hanya untuk mencari tempat yang nyaman, seakan bukan berada didalam
sebuah kendaraan. Mencari sesuatu yang mampu membakar rasa bosan ketika sebuah
kata sudah tak mampu dimuntahkan, bekal makanan dan minuman yang tersedia
menjadi pelarian sesaat hingga semua berubah menjadi lebih baik. Semua terlihat
lelah, mungkin ada beberapa orang yang terpaksa menutup matanya hanya untuk
menyimpan energi untuk esok hari, dan terlelap pada waktu dimana bulan sabit
tersenyum menerangi alam ini. Tapi aku masih membuka mata. “Belum tidur?” nada
suara itu semakin mendekat, iyah dia duduk disebelahku. Ia mulai mengenalkan
siapa sebenarnya perempuan yang selalu aku perhatikan diawal perjumpaan tadi.
Dengan sedikit terkejut yang tidak ditampakkan aku hanya mampu tertawa paksa,
sesekali aku mengernyitkan dahi dan memberikan sedikit arahan yang sebenarnya
sebuah kalimat rasa itu berbanding terbalik 360° dengan suhu >38°C.
Bukan siapa yang tergila ataupun digilakan
Namun disini siapa yang lebih dulu terpana
Tuhan tolong!
Hati pemberontak menjadi mati
Layu, terjatuh dan bersandar pada akar yang terkubur
Melihat namun seakan buta
Mendengar seolah tuli
Haruskah berlayar sampai ketengah lautan
Dan tak kembali kedasarnya
Hanya untuk berteriak hingga nadi leher mengeras dan terputus
Sampai semuanya terlihat baik-baik saja?
Terlalu hebat..
Melempar bunga yang cantik
Hingga bau busuk didalamnya tak tercium
Untung saja tak mampu menguak
Jikalau semua itu terjadi
Pasrahlah diri ini takan bisa bergerak
Mungkin berjalanpun terkakukan
Atau butuh cadar tuk menutup muka yang sedikit memerah
Sudah terlatih
Dan sudah terbiasa
Dengan hal yang baku semacam ini,
Terkadang senyum tipis meredakan segalanya
Kiranya pukul 1
malam kita turun dari bis, berdiam diri serta melepaskan rasa pegal didepan
sebuah gerbang perumahan dipinggir jalan raya hanya untuk menunggu kendaraan selanjutnya
yaitu mobil pick up yang akan menjemput kita untuk sampai ke Rumah Singgah
Pendakian Cikurai. Namun ketika kita menunggu jemputan, ada mobil calo atau mobil
jemputan yang tidak diharapkan, sedikit memaksa kita untuk mengantarkan sampai
ke tujuan. Dari sinilah A Agus berperan sangat besar dalam urusan berbicara.
Widih so good for public speaking and some reason. Akhirnya kita pun menumpangi
mobil calo tersebut dan membatalkan mobil jemputan yang sudah dijanjikan
sebelumnya dengan beberapa alasan yang kuat, untungnya janji yang tak terpenuhi
itu diterima dengan baik oleh pihak sewa kendaraan itu.
Bersahabatlah dengan malam
Meski terkadang
Kau dibuat mati oleh angin malam
Biasakanlah bercakap dengan malam
Meski terkadang
Kau dibuat resah oleh udara malam
Tatkala kau terjatuh digelapnya
Namun secerca cahaya selalu terangi
Mengoyak tubuh hingga remuk
Tetap saja masih mampu berdiri dan berjalan
Meskipun hanya dengan merangkak
Demi melawan arus yang berbanding arah
Hembusan angin yang kuat
Memandikan raga
Sampai membeku dalam balutannya
Terlihat tegar
Seakan kesakitan itu tak pernah dirasa
Menghirup virus
Seolah takan hidup dalam aliran darah
Tak berguna
Tak terasa, waktu begitu
cepat berlalu. Pukul 2 malam kita memulai pemberangkatan ke Rumah Singgah,
jarak yang lumayan jauh dan sempat kita salah jalan terlebih dahulu membuat
semua orang merasa resah serta kesal dan satir sarkaspun mulai membeludak, aku
hanya menghela nafas panjang dan memejamkan mata beberapa detik ketika suara
amarah yang terpendam itu membelit kelamnya malam, hingga sampai pada pukul ±3
malam kita tiba ditempat peristirahatan.
Ketika aku melihat
A Agus yang sedang menyiapkan bahan-bahan untuk memasak, dengan segera aku
mendekati dan membantunya memasak dengan sekedarnya, tak ada rasa letih yang
kurasakan pada saat itu, rasa kebersamaan ini menggerakkan naluriku, dan canda
tawa itu tampak menyegarkan ketika berlangsungnya masak memasak ala chef
dadakan. “Ini aku, bukan yang so pamer kekuatan atau keahlian, karena aku
tercipta bukan menjadi seseorang yang bergantung pada orang lain dan aku dilatih
menjadi seseorang yang mandiri, meski terkadang ada saja terbesit ingin
merasakan apa itu namanya diayomi? Mungkin suatu saat nanti, atau mungkin takan
pernah merasakannya? Setidaknya aku masih mampu berdiri tegak meskipun itu hanya
sendiri.” Seru batinku.
Bukan aku orangnya
Jika untuk menarik seseorang
Dengan keahlian yang dibuat-buat
Ini aku yang apa adanya
Selalu ingin belajar
Menguak sesuatu yang baru
Membantu saat raga masih bisa
Dan bertanggung jawab tuk mendewasakan diri
Bukan aku orangnya
Jika hanya untuk mendapat sebuah pujian
Atau sekedar suara tepuk tangan
Kiranya kata harus berucap
Aku tak butuh itu
Karena aku tau
Dibalik itu semua
Ada seseorang yang memutar kedua bola mata
Iyah, mungkin perasaan cemburu..
“Ngambil daun
pisang gih, ini masakannya bentaran lagi udah pada mateng dan siap” suruh A
Agus. Ketika semuanya sudah disiapkan, kita semuapun berkumpul melingkari daun
pisang dan langsung menyantap makanan yang sudah disediakan meskipun dengan
posisi jongkok, namun terasa sangat begitu ni’mat karena kebersamaan yang
tercipta saat itu mengenyangkan meski hanya makanan yang seadanya. Setelah
makan diwaktu yang sangat gila pukul setengah 4 seperti layaknya orang yang
menikmati makan sahur, setelahnya ada yang melanjutkan tidur atau sekedar
tiduran dengan memainkan gadget ditangan, ada juga yang hanya sekedar
menyandarkan tubuh dengan rokok ditangan dan kopi digenggamannya.
Setelah gema adzan
subuh berkumandang dan shalat telah didirikan, jiwa ini merasa semakin damai,
seakan Rabb memelukku dari dalam batin. Penjaga Rumah Singgah itu yang tidak
diketahui namanya menawarkan dan memberikan bantal serta sleeping bag untuk
istirahat, dan ku terima dengan hangat. Bercengkrama dengan renyah dengan
balutan kehangatan seolah berada dalam dekapan lingkar surgaNya hingga tak
terasa aku terlelap dengan sendirinya.
Tuhan, taukah?
Jiwa ini terlalu kotor
Terhinakan
Tapi masih saja Kau berbaik hati
Memberikan keni’matan yang Kau miliki
Entah harus bagaimana lagi
Memohon ampun
Namun tercipta lagi dosa itu
Tak pernah berhenti
Dan entah kapan diri ini hanya berjalan
Dalam satu garis putih saja
MenghadapMu, Rabb..
“Bangun.. Bangun..
Mulai nanjak euy.. Sunrise sunrise..” teriak A Agus di dinginnya pagi saat itu.
Sejujurnya masih enggan untuk membuka mata namun ada sesuatu yang tak bisa
ditahan lagi, iyah ketika kamar mandi sudah melambaikan tangannya padaku. “Edaaaaaaaaaaasss..
Ini airnya dingin banget ngga kuat nyentuh” jerit batinku.
Berkemas dan
merapikan barang-barang yang akan dibawa kepuncak Cikurai, kalau tidak salah
berangkat nanjak itu jam 8pagi dan sampai dipuncaknya itu pukul 4sore, mungkin?
Aku lupa.
Ini pertama kali
aku melangkahkan kaki di gunung Cikurai, treknya yang lebih ganas dari
pendakian sebelumnya, dengan aroma khas pegunungan yang menyengat, namun aku
tidak terlalu merasakan hawa dingin yang menusuk, perjalanan yang sangat
mengesankan bersama sebagian orang-orang yang baru aku kenal, ini membuatku
merasa terbebaskan namun sedikit terasingkan, mungkin karena aku belum terlalu
kenal dekat, so perlahanlah tapi pasti untuk mendekati dan memahami karakter
seseorang.
Ditengah
perjalanan kita berhenti hanya untuk sekedar mengganjal perut dan menjalankan
kewajiban disaat matahari sudah berada diatas kepala, setelah itu melanjutkan
perjalanan kita. Entah kenapa, ketika berhenti sejenak rasa kantuk itu selalu
menyerangku, namun jika terus berjalan tidak merasakannya lagi. Sosis dan
permen biskuit coklat adalah makanan yang wajib ada didalam tas selempangku,
untuk jaga-jaga disaat perut mulai berontak ditengah perjalanan dan agar mudah pula
mengambilnya.
Merayap
Merangkak
Berjalan dengan perlahan
Berhenti sejenak
Menghela nafas panjang
Hirup udara
Atur volume stabil
Melangkah lagi
Menggertakan pijakan yang aman
Rasakan kesegaran sihijau
Ambil aura positif yang tertanam didalamnya
Bukan tak peduli aku berjalan sendiri
Aku hanya ingin berdua dengan alam
Berbicara bersamanya melalui kontak batin
Mencoba memperkenalkan diri
Dalam lingkup alam yang baru saja kupijaki
Dengan kesendirian ini
Tanpa ada yang mengganggu langkahku
Ada saatnya dimana aku berada dibelakang
Untuk menjaga jika ada sesuatu yang tidak diinginkan
Jangan paksa bila aku tak ingin
Dan ketahuilah..
Saat-saat dimana aku tak ingin ditemani
Udara yang dingin
mulai terasa, pohon-pohon biasa aku temui yang bercirikan puncak sudah didepan
mata, aku semakin bersemangat melangkah maju kedepan ketempat yang paling
tinggi itu meski sadar kaki ini sudah tak mampu untuk melangkah lagi, namun
kupaksakan. Subhanallah, akhirnya aku sampai ditempat kemah Cikurai dengan
hujan rintik-rintik iringi kedatanganku, akupun merebahkan tubuhku diatas tanah
dan bersandar pada tumpukan carriel seraya menatap langit yang begitu indah
seolah aku dan awan berada sejajar. Dari tempat kemah menuju puncak Cikurai
tidak begitu jauh, dan aku menatap lekat puncak Cikurai itu. Ditempat kemah
inilah para pendaki mendirikan tendanya, dan saat itu ada juga pendaki yang
sedang memasang tenda ataupun membongkar tendanya. Sambil menunggu teman-teman
yang belum sampai di tempat kemah Cikurai, aku dan beberapa temanku pergi
mencari tempat yang aman dari terpaan angin dan nyaman untuk memasang tenda, dan
akhirnya kita menemukan tempat yang aman dan nyaman itu. Satu persatu teman-teman
mulai berdatangan sampai ditempat, ketika semua sudah berkumpul kitapun
langsung menuju lokasi tempat yang sudah kita survei sebelumnya.
Rintik hujan sore
itu membuat tubuhku sedikit kaku, aku terdiam sejenak, air hujan yang menetes langsung
ke kepalaku dan menyerap cepat hingga kulit kepala membuat pandanganku sedikit
kabur dan merasa kepalaku agak berat, namun aku coba mensugestikan segalanya
dengan berpikir positif, dan melanjutkan kembali membantu teman-teman yang
masih memasang beberapa tenda yang belum berdiri tegak. Kejadian seperti ini
memang selalu terjadi juga dalam keseharianku, mungkin aku yang terlalu lemah
tak bisa melawan awan hitam ketika sedang menangis.
4 tenda sudah
dirakit dan terselesaikan, waktunya bergiliran untuk mengganti pakaian atau
sekedar merapihkan barang-barang. “Eh, Nde kalau mau ganti baju ditenda yang
onoh aja, ada orangnya suruh keluar dulu aja gitu” ucap salah seorang temanku.
Akupun langsung menuju tenda yang diarahkan, meminta izin terlebih dahulu, dan
ketika aku membuka tenda tersebut ternyata didalamnya ada A Ohm yang sedang
santai dan meni’mati makanan ringan ditemani segelas kopi panas yang masih
mengepulkan asapnya “Maaf A keluar bentaran dulu yah mau ganti baju” kataku
dengan memohon. Iapun langsung keluar dari tenda meski terlihat sedikit kesal
mungkin karena aku yang sudah mengganggunya. Menutup semua resleting tenda dan dengan
cepat aku membuka carrielku tuk mencari P3K yang berada didalamnya dan langsung
meminum beberapa butir obat untuk menenangkan gejalaku, sampai aku harus menarik
nafas panjang cukup lama.
Apa yang ku derita saat ini
Bukan salahmu
Ini hanya sebagian dari masa lalu
Yang masih hinggap
Dan tak bisa ditinggalkan
Mungkin kau anggap pelampiasan ku salah
Tapi apalah daya
Aku sudah tercandu
Berawal tuk lupakan
Namun menjadi berkepanjangan yang merugikan
Digilakan oleh sesuatu tanpa wujud
Denyut cepat itu mematikan segalanya
Jikalau aku yang kurang cepat
Jiwa inilah yang akan dimatikan olehnya
“Udah belum ganti
bajunya Nde?” ucap seorang laki-laki diluar tenda. “Udah udah ko” jawabku
sedikit buru-buru. Laki-laki itu membuka resleting tenda dan masuk kedalamnya.
Iapun langsung merapihkan barang bawaannya, mengambil sebuah kaos yang
terbungkus kantong plastik dan langsung mengganti pakaiannya tepat didepanku,
dan mengambil beberapa helai tissue basah untuk mengelap sebagian tubuhnya, aku
sedikit terperangah melihat sesuatu yang ngga terpikirkan sama sekali. “Ini
orang ngga tau malu apa gimana?” tanya batinku. Mulutku terbungkam dalam ribuan
pertanyaan yang membingungkan.
“Kalau mau masak
mie atau bikin susu ke tenda dapur aja, si Iman juga lagi bikin mie disana”
ucapnya. Aku hanya mengangguk saja. Barang-barang yang berada didalam tenda
cukup berantakan, akupun langsung merapihkannya agar nyaman untuk tidur nanti
malam. Rintik hujan yang belum juga reda malah semakin membesar dan hembusan
angin yang menusuk tulang memaksaku untuk pergi ke tenda dapur hanya untuk
sekedar memasak mie, dan sambil membantu menyiapkan mie instan untuk
teman-teman. Aku pun ikut nimbrung dalam kumpulan kaum adam sekalian memberikan
mie yang sudah dimasak, berkumpul disatu tenda berukuran kecil yang dipenuhi
oleh ±7orang untuk menyantap makanan seadanya dengan canda tawa girang dan obrolan
penuh kehangatan, inilah kebersamaan yang tidak akan terlupakan.
“Ini apa?” tanyaku
sambil memegang sehelai kertas putih kecil “Itu teh bako” jawab A Fahmi yang
memiliki bungkusan itu “semacam rokok rakitan kah?” pikirku “Gimana bikinnya?”
tanyaku semakin perasaan. “Buat apa? Nde mau ngerokok juga?” tanya A Utong.
“Iya engga atuh, cuma pengen tau aja gimana bikinnya A, abis penasaran sih”
jawabku sekenanya. Akhirnya A Utong pun mengajarkanku cara membuat gulungan
rokok putih itu. Seperti terlihat mudah namun susah untuk dipraktikan kembali,
sudah habis beberapa kertas gagal, pernah hampir berhasil namun gagal lagi.
Iyah mungkin aku tidak punya keahlian memplintir sebuah rokok yang disebut bako
itu, setidaknya aku pernah dibuat penasaran dan sudah mencobanya.
“Yeach! Rokok
buatanku sudah jadi, meski dengan gulungan yang tidak rapih” kataku. Sebagian
dari mereka menertawaiku dan sebagiannya pula ada yang memberi semangat bahwa
aku pasti bisa membuat gulungannya menjadi rapih dan ku paksa beberapa temanku
untuk mencoba rokok buatanku, meski mereka sudah menolak namun aku tetap
membujuknya. Sadis.
Tidak terasa sudah
pukul 9malam, akupun pindah ke tenda yang lain untuk mengistirahatkan mata,
ketika keluar dari tenda terpaan angin yang sangat dahsyat itu menghantam
tubuhku, tidak hanya itu sesekali tenda tergoyangkan oleh besarnya angin malam
itu ditambah hujan yang terus mengguyur. Sebelum memejamkan mata akupun
menunaikan shalat terlebih dahulu dengan tubuh yang bergetar kedinginan, posisi
yang tidak nyaman, tetapi tidak menghalangiku untuk terus bersyukur atas ni’mat
hidup yang telah Rabb berikan untukku sampai saat ini. Memang lebih nyaman itu
satu tenda yang berisi beberapa orang meskipun sempit tapi tubuh merasakan
kehangatan, tidak kedinginan seperti yang aku rasakan saat ini.
“A, Nde shalatnya
udah” teriakku hanya dengan kepala saja yang menengok keluar, saking tak
kuatnya dengan cuaca saat itu. Iapun masuk ke tendaku dan merapikan
barang-barang yang tertumpuk berantakan dan mengeluarkan sleeping bag yang akan
digunakan saat itu. “Tidurnya mau gimana nih?” tanyanya. Aku hanya mengabaikan
ucapannya dengan tubuh yang melingkar saking sempitnya tenda karena berukuran
kecil yang mungkin cukup untuk 2orang ditambah beberapa carriel tertumpuk
ditenda ini, rasa mengantuk dan dingin itu menyerangku dengan cepat. “Jangan
gitu atuh tidurnya nanti sakit gera” larangnya. Akupun langsung terbangun duduk
“Udah gimana atuh tidurnya? Emangnya Aa mau tidur disini?” Tanyaku “Ngga
apa-apa kan? Soalnya tadi ke tenda sebelah udah pada ngga muat” jawabnya dengan
raut wajah cerminkan campuran perasaan ragu takut dan pasrah. Aku hanya
mengiyakan dengan samar, meski sebenarnya aku dibuat kaget terlebih dahulu
setelah mendengar kalimatnya namun tak ditampakkan, pikiranku dikalahkan oleh
cuaca minus, mata yang sudah tertutup rapat dan pendengaran yang sedikit demi
sedikit mulai kabur, iapun menyelimutiku dengan salah satu sleeping bag yang ia
bawa. Seakan beku yang tercairkan.
Entah seperti apa manusia baik itu
Apakah yang selalu memberi?
Memberi dalam artian apa?
Tunjukan padaku semacam pemberian apa?
Memberikan sebuah kebahagiaan pada orang lain?
Kebahagiaan seperti apalagi?
Bahagia dalam balutan dosa?
Itukah yang dinamakan manusia baik?
Ketika batin dan logika bertempur
Alkitab pun terkadang diacuhkan
Seakan lupa lembaran kertas yang sesungguhnya
Dan goresan merah itu selalu menghantui
Namun masih saja dilakukan
Hingga milyaran bayang hitam temani hari
Kelembutan dan kehangatannya
Sampai suara nafasnya
Menguatkan diri ini dari ketakutan malam
Karena rasa percaya ini meyakinkan
Jiwa ini dilindungi dan ditemani oleh malaikat dunia
Keesokan harinya
dipagi hari, suara-suara bising sudah terdengar diluar tenda sana. Sindiran
canda untuk membangunkan orang-orang yang masih berada dialam mimpinya atau
yang sudah tersadarkan namun masih berada dalam gulungan kehangatan. Akupun
terbangun dijarum jam menunjukan pukul 05.35 dengan segera aku mengambil air
aqua untuk berwudhu. “Pegang nih pegang nih” ucap A Akay dipagi itu seolah
membangunkanku lebih kuat dari bayang yang masih samar. “Ih jangan atuh, airnya
ngga ada lagi” jawabku cepat dan langsung menjauh dari A Akay. “Mau bandrek?”
tawar A Agus. “Iyah simpen dulu aja A mau shalat dulu bentaran” ucapku yang
langsung menutup resleting tenda.
Setelah sarapan
dengan roti yang ditemani segelas susu coklat panas, kitapun beranjak kepuncak
Cikurai, tidak ada kata yang terlontar, semuanya sudah terhabiskan, ini begitu
sangat cantik dan indah, luar biasa ciptaanNya sangat menggoda. Disini terdapat
satu bangunan kecil seperti bentuk ka’bah entah untuk apa gunanya, namun banyak
sekali orang-orang yang memanjat sampai keatapnya, mungkin agar mereka lebih
dekat lagi dengan langit? Entahlah. Sebuah potret untuk dijadikan kenangan dan
bukti diri ini pernah berpijak ditempat ini berhamburan dipuncak meski dengan
suhu yang dingin, mataharipun masih bersembunyi dibalik awan.
“Mau masak A? Nde
ikut bantu yah” seruku pada A Agus yang beranjak meninggalkan puncak. A Agus
pun mengiyakan kalimatku. Aku dan sebagian teman lainnya turun dari puncak
setelah puas berpotret ria dan meni’mati keindahanNya. Memasak dengan bahan
makanan seadanya sisa kemarin (Beras, jengkol, kentang, kornet, cireng, sosis,
ikan teri dan sambal) alhamdulillah, masih bersyukur. Saat aku memaparkan
makanan ke atas trashbag yang sudah dimasak terlebih dahulu, tidak sengaja
kakiku bergerak menggeserkan tanah dan pada akhirnya tanah yang hitam itu
tercampur dengan sebagian nasi yang sudah disiapkan. “Ihh nde.. Gimana sih ini
jadi kecampur gini?” ucap A Utong yang langsung membersihkan dan memisahkan
tanah dari nasinya “Kalau kita-kita yang makannya mah ngga apa-apa, ini mah kan
ada orang lainnya” tambahnya “Maaf A ngga sengaja” kataku dengan nada pelan dan
merasa bersalah. “Kamu makan disebelah sana aja, biar aku yang disini” tutur A
Utong. “Sebenarnya hati ini jadi ngga enak, aku yang salah seharusnya aku yang
tanggung jawab, tapi ini malah jadi A Utong yang harus nanggung resikonya?
Maaf” jawab batinku.
Makan-makan sudah
selesai, kitapun merapihkan barang-barang, membongkar tenda, dan tidak lupa
membereskan sampah-sampah dari bekas sisa semalam. Setelah itu kita beranjak
turun lagi kebawah meninggalkan puncak Cikurai, kita tidak bisa berlama-lama
lagi berkemah disini karena faktor waktu. “Say goodbye puncak Cikurai yang
subhanallah sekali, aku pamit pulang” seruku dalam sunyi.
“Ihh spidolnya
abis A, jadi ngga bisa nulis lagi” ucapku. “Tuh, minjem ke orang yang disonoh
aja” suruh A Utong. Tanpa malu akupun menghampiri kumpulan orang-orang tersebut
yang sama sekali aku tidak kenal hanya untuk meminjam sebuah spidol, dan mereka
pun meminjamkannya, malahan mereka pun membolehkan kita untuk mengambil
beberapa helai kertas apabila masih memerlukannya, “Widihhhh keren benderanya”
ucap salah seorang dari mereka ketika melihat A Agus yang sedang berfoto dengan
mengibarkan bendera kesayangannya yang bertuliskan Fals Mania Cipanas. Dari
situlah awal perkenalan kita dengan mereka yang katanya berasal dari Jakarta
dan Bekasi itu, berbincang-bincang dan bertukar kontak handphone sampai kitapun
menyempatkan untuk berpotret bersama.
Perjalanan pulang
begitu sangat menyenangkan, dimana aku bisa berlari cepat dari atas puncak
sampai ke bawah, sempat aku tertinggal jauh oleh teman-temanku namun aku bisa
menyusul mereka. Aku merasa begitu sangat terbebasakan. Aku suka hal semacam
ini, jiwa ini seakan telah menyatu dengan aura kesegaran yang alam berikan
untukku, ada satu kesan yang mungkin sebenarnya ini sangat memalukan dimana aku
kembali pada masa Taman Kanak-kanak (TK) iyah bermain perosotan dengan jarak
yang lumayan tinggi dan jauh didalam hutan. Aku tak pernah bilang ini adalah
terjatuh ataupun terperosot tapi aku menganggap ini seakan bermain perosotan.
Akupun membuat beberapa orang terkaget dan menertawaiku, aku hanya bisa
bergumam, dengan cepat bangkit dan berdiri lagi. “Ahh shit! Kenapa kepelesetnya
harus didepan orang sih? jadikan keliatannya dan kesannya itu kek harus
dituntun dan dijagain gitu sama orang lain, padahal kan Nde ngga suka gitu! Nde
yang harus jagain orang yang lemah, bukan Nde yang dijagain orang kuat!
asudahlah..” batinku menggerutu. “Ciiiieeeee si teteh maen perosotan juga”
canda A Fahmi. “Bejakeun ah ka A Utong” tambahnya “Ihh.. jangan atuh” jawabku
memelas. “Padahal apa hubungannya aku kepeleset sama dia ngasih tau A Utong?
Baru kepikiran, aneh deh..” otak ini bertanya-tanya.
Mungkin sebentar
lagi akan sampai diujung perjalanan, aku merasakan ada sesuatu yang membuatku
tidak nyaman, iyah aku kebelet. “Ini itu sangat menyebalkan, kenapa harus
terjadi?” gerutuku. Pos 1 mungkin masih terlihat jauh. Dengan terpaksa aku
harus menahannya sampai bawah. Mau ke semak-semak takut ada orang yang lewat
“Hadeuh.. bisa ngga bisa harus bisa nahan” nekadku. Langkahku semakin pelan
ditambah ada sesuatu yang membuatku sakit dibagian kaki, entah apa itu, aku
tidak memeriksanya cepat karena terlalu fokus menahan sesuatu yang membuatku
tidak nyaman ini.
Pos 1 sudah
terlihat dibawah sana, meski kaki ini sudah perih tuk melangkah lagi dan rasa
tidak nyaman menyerangku, aku hanya bisa berjalan perlahan seperti memakai
sepatu highheels saja dan terus memaksakan. “Ayok lari, bentar lagi sampe”
suruh salah seorang temanku. “Ngga kuat kebeleeeeeeeeeeeet” teriakku dari
kejauhan. “Yaudah ke semak-semak dulu aja” jawab A Akay “Ngga ah nanti aja
dibawah, nanggung”. Mereka pun meninggalkanku yang sempat duduk-duduk untuk menungguku.
“Bukannya ke semak-semak
dulu kan masih ada tissue basah?” ucapnya “Iyah ada tapikan didalem” jawabku. “Kenapa
ngga pake air dibotol aja, itu ada ngegantung diluar tas?” tanyanya “Inikan
buat minum, takutnya ngga ada air lagi” tuturku pelan karena menahan sesuatu
“Hem, padahal kan sekarang juga mau ngambil air lagi” ujarnya. Sesampainya
dipos 1 dengan cepat aku mengambil tissue basah yang berada didalam carriel dan
berlari mencari tempat aman nyaman dan tersembunyi. “Mau boker?” tanya A Ohm
“Kebeleeeeeeeeeeet” jawabku sambil berlari. “Namanya juga daerah pegunungan,
mana ada kamar kecil disini? Iya resikonya gini kalau cewe pengen pipis harus
lirik kanan lirik kiri dulu takut keliatan sama orang” omongku sendirian
“Aaahhhh... Legaaaaaaa...” batinku terucap. Kembali lagi ke pos 1 dan
teman-teman sudah berkumpul semua untuk beristirahat sejenak.
“Mau ngambil air A?
Nde ikut!” seruku. Akupun mengambil beberapa botol air minum kosong dan
mengikuti A Utong dari belakang. Mencari mata air saja harus serepot ini,
dimana kita harus berjalan jauh terlebih dahulu karena tempatnya yang sangat
tersembunyi dan tertutup oleh semak-semak maupun tumbuh-tumbuhan liar.
Mata hitam penuh kedamaian
Suara yang sedingin air pegunungan
Dan langkah penuh ambisi
Membuatku seakan tak bernyawa
Terpasrahkan oleh keadaan
Dimana logika masih berputar-putar
Dan batin yang mengemis
Menyembunyikan telapak tangan yang sempat menengadahkan
Mengurungkan niat tuk berjalan lebih dalam
Tak sanggup dengan adanya benalu
Rasa perih ini dipaksa untuk tidur didalam tanah
Agar tak terlihat
Seakan kekuatan itu masih ada
Namun sebenarnya terhempaskan
Cuaca yang tidak
stabil, sebentar mendung lalu panas lagi. Seperti inilah cuaca yang tidak baik
untuk tubuh dengan daya imun yang sedang lemah, wajib minum obat dulu sebelum
melanjutkan perjalanan. Sesampainya dipemukiman warga, kitapun berisitirahat
sejenak sambil menunggu mobil pick up yang akan menjemput kita untuk diantarkan
ke rumah singgah kembali, menunggu beberapa menit akhirnya mobil jemputan telah
tiba.
Pukul 4sore kita
sampai di rumah singgah, ada yang langsung mandi, ada yang beres-beres barang
bawaan, ada yang maen kartu remi, ada yang seduh kopi dan ada juga yang masak
mie. Akupun menunggu giliran untuk menyeduh mie, karena terlalu lama menunggu
aku memutuskan untuk shalat terlebih dahulu. “Mau shalat? Dimasjid aja yuk!
Deket ko dari sini” ajaknya. Akupun mengiyakan ajakannya.
Ada sesuatu yang mengganjalku
Membuatku bertanya-tanya
Apa ini yang dinamakan pencitraan dari sebuah kebaikan?
Sama ratakah dengan seorang pendosa?
Melalaikan karpet merah panjang
Padahal sudah didepan mata
Apa susahnya untuk melangkah sebentar saja?
Hanya menunggu jarum jam berputar
Dengan waktu yang lumayan lama?
Tak bosankah?
Jikalau kau buka kedua telapak tanganmu
Dan pasrahkan dirimu
Takan mungkin kau membuatku bertanya gila
Semacam apa pikiranmu yang sebenarnya?
Alasanmu tak masuk logikaku
Waktunya pulang
kembali ke rumah, diantarkan sampai terminal bis oleh pick up mobil jemputan
kita, sesampainya di terminal kitapun menunggu cukup lumayan lama, bis yang
kita tunggu belum juga nongol, “Kalau nunggu bis jurusan Jakarta yang lewat
puncak dari sini bakalan lama, gimana kalau ngeteng aja?” ujar A Agus. “Gamau
ihh.. Males banget ngeteng mah kerasa lelahnya” seruku. Namun akhirnya dengan
terpaksa akupun harus ikut sarannya ngeteng mobil karena faktor waktu. Iyah
naik bis jurusan Bandung dulu baru dari situ naik lagi bis yang jurusan Jakarta
“Kita bisa aja dari sini naik bis jurusan Jakarta yang ngga lewat puncak, tapi
karena kita berangkat bareng-bareng maka pulangpun kita harus bareng-bareng”
seru A Herdi. Kalimatnya membuatku yakin inilah yang dinamakan solidaritas yang
kuat, meski terkadang selalu saja adakalanya dimana perbedaan pendapat itu
hadir.
Kitapun naik bis
jurusan Bandung, duduk berdesak-desakan dengan carriel, antara gerah pengap
sempit dan beberapa perasaan lain yang bertempur dalam satu waktu yang cukup
lama. Alunan nyaring dari pengamen cilik di bis saat itu membuat beberapa orang
termasuk aku terkaget-kaget dan tertawa lepas dan sungguh menghibur sekali
disesaknya ruangan yang seakan tak beroksigen itu.
Turun dari bis
kita menunggu kendaraan lain, iyah menunggu bis jurusan Jakarta yang lewat
puncak. Menunggu berpuluh-puluh menit dengan raut wajah yang sudah sangat lelah
dan bosan. Ada 1 angkot dimana ia menawarkan jasanya untuk mengantarkan kita
pulang, negosiasi hargapun terluapkan, iyah lagi-lagi A Agus berperan dalam hal
berbicara, seakan ia sudah dianggap paling jago dalam urusan ini. Great! Harga
miring. “Angkuuuuuutttttt....” teriak A Agus memberikan arahan kepada kita
semua untuk memasukan carriel kedalam angkot tersebut. Dan aku masih beruntung kebagian
duduk paling depan dekat supir, tidak berdesak-desakan dengan tumpukan carriel,
hanya saja aku diapit oleh 3 orang laki-laki sekaligus, (A Ohm, Iman, dan
siamang supir angkot) “Edaaaaaaaaaaassss.. Didepan aja udah 4orang? Apalagi
dibelakang yang menyatu dengan barang-barang? Pengaaaaaaaaaaaaaap.. Semoga ngga
ada tilangan, udah gitu ngga bisa selonjoran lagi disini mah” keluhku
Sesekali aku
melihat kebelakang, seakan mereka duduk dengan posisi yang tidak nyaman. Iyah
semua orang didalam mobil angkot itu tidak ada yang merasakan nyamannya duduk.
“Kalau saja nunggu bis, mungkin tidak akan serepot ini? Tapi kalau nunggu bis
mau nyampe rumah jam berapa?” batinku mengoceh. Apapun pilihan yang kita ambil
pasti selalu saja ada resikonya, so inilah resiko yang harus kita ambil.
Musik dangdut pun
terlantunkan sepanjang perjalanan pulang dimalam hari, meski kedua telingaku
menjerit tak menerima asupan musik yang membuatku mindeng. Kupindahkan satu
lagu ke lagu lainnya dengan berharap ada beberapa lagu yang tidak bergenre
dangdut, namun sayangnya flashdisk yang terpasang pada dvd kecil itu
berplaylistkan dangdut semua “Ahh shit!” dengusku
Perjalanan mana yang tidak berkesan?
Langit gelap menjadi saksi bisu diantara kita
Lisan yang mengembangkan tawa
Lelapnya tidur tanpa rencana
Dan sandaran yang tidak disengaja
Hingga bumi cemburu dengan langkah kita yang sama
Berpegang tangan erat
Menggenggam kuat tekad
Dengan tujuan meraih matahari yang jauh disana
Meski dianggap mustahil
“Jangan bilang ke
siapa-siapa yah, ini rahasia kita berdua” kata A Fahmi ketika sampai di daerah
Cipanas. “Ciiiieeeeee baru kenal udah maen rahasia-rahasiaan” tutur A Utong.
Aku hanya tertawa saja “Padahal rahasia apa? Rahasia yang jangan dibilang ke A
Utong waktu turun dari puncak itu bukan? Haha terkesan konyol juga sih” tembal
batinku. “Pulang kemana?” tanya Teh Fadil “Ke Cipanas dulu Teh” jawabku halus.
Akhirnya kitapun bersalaman dengan teman-teman yang bertempat tinggal di Bogor,
tersenyum tanda perpisahan. Di pagi buta itu..
TAMAT
Mau tau hasil jeprat-jepretnya?
Please click here to see pictures
Mau tau hasil kreatif video nya?
Please, check it out for watching this video
Terimakasih sudah membaca dan melihat foto-foto absurd saya hehe..
Mau tau hasil kreatif video nya?
Please, check it out for watching this video
Terimakasih sudah membaca dan melihat foto-foto absurd saya hehe..