Minggu, 27 Maret 2016

GN. CIKURAI GARUT



“Nanti kalo udah di Garut jangan manggil kaka pemandu lagi yah, malu banyak temen-temen disana mah”

Ketika rasa penat itu menghampiri
Berdiri didepanku dan menatap lekat kedua bola mata
Dengan sorot yang menyeramkan
Mengguncang pikiran
Hingga teriakan amarahpun teramukkan

Ego ini termuntahkan
Ribuan tanya jawab dalam diri berkecamuk
Berhembus kencang bak angin yang tak terlihat
Namun api tak pernah padam
Digoyahkan malah menjalar

            “Pokonya harus nanjak!” seruku pada sebuah cermin datar pada dini hari disaat sebagian makhluk mungkin telah berada dalam nuansa mimpi yang mereka rasakan. Niat yang kuat, strategi yang kokoh, dan panjatan doa yang tak pernah terlewati dalam setiap sujud teristimewa dimalam hari. Diam dalam balutan doa penuh harap.
           
Dosa manakah lagi yang akan diperbuat?
Ketika batu-batu kecil menumpuk dikesetiap hariannya
Berlagak mengacuhkan
Seakan tak perduli
Dengan jiwa yang nekad
Menghempaskan alasan yang berisi persetan

Sadar benar,
Tapi tak lihatlah catatan merah yang tebal itu?
Puas memang,
Saat bait-bait sudah tersampaikan
Terkabulkan
Namun inilah penyembuhan lara dengan logika

            Tidak ada persiapan sama sekali, barang-barang yang tersimpan diberbagai penjuru tempat ku ambil paksa dengan langkah kaki yang tidak biasanya, iyah aku merasakan detak jantungku berdegup kencang dengan deru nafas yang cepat namun tak perdulikan, yang aku pikirkan saat itu adalah tak mengecewakan orang lain dengan penungguannya atas keterlambatanku. Memasukan barang-barang yang akan dibawapun ku acuhkan dengan tak beraturan, tak terpikirkan bahwa ada beberapa barang yang tertinggal. Ah shit! Baru tersadarkan setelah jauh meninggalkan ruangan itu.
            “Gila! Nekat bener kamu?” tanya Pika dengan melongonya. “Serius kamu mau hiking? Kemana?” Aneu yang saat itu sedang dudukpun langsung berdiri dan mengerutkan dahinya.  “Garut” jawabku. “Bukannya udah pernah hiking kesana?” tanya Aneu yang semakin penasaran. “Kota yang sama beda puncaknya Neu”. Aneu hanya menghela nafas panjang “Aku hanya ingin melupakan pekatnya masa lalu yang hadir kembali, kamu tau sendiri kan Neu ceritanya?”. Sejenak ia menatap kosong dan berkata dengan terbata-bata “Hati-hati dijalan”. Aku hanya tersenyum kecil, senyuman itu terbuat dari campuran bahagia sedih kesal dan jutaan perasaan lain yang tak bisa aku sebutkan satu persatu, entah seperti apa jadinya..
           
Pergi menjauh
Tinggalkan bayang kelam mematikan saraf
Tanpa melihat kembali jejak yang terlewati
Terus melangkah maju
Menghiraukan segala sesuatu yang sudah terlewatkan
Karena aku berjalan kedepan

            Matahari yang sempat tersenyum disore itu, kini mulai redup meninggalkan tugasnya yang selalu menyoroti cahaya terang ke bumi, dan tergantikan oleh cahaya lampu pijar yang bergelantungan ditihang yang berdiri menjulang dipinggir jalan kota. “Dimana?”. Lagi-lagi pesan singkat itu yang ku terima dari ponselku. “Masih nunggu bis, dari tadi belum ada” balasku sedikit jengkel.
            Bisakah dipersentasekan berapa banyak perempuan nekat didunia ini seperti seorang Nde? Seorang perempuan yang dengan keberaniannya berada sendiri dilingkup kaum adam tanpa ada satu orangpun yang ia kenali? Hanya dengan bertekad keyakinan bahwa Rabb-Nya selalu melindungi dan menjaga dari sekelilingnya. Asyik memang ngobrol kesana kesini bersama kerumpulan orang-orang dihalte saat itu, canda gurau tanpa batas yang teramukkan terasa hangat seperti sudah lama berada dilingkupnya, meski sesekali merasakan sedikit ketakutan namun tak pernah aku tunjukan, agar kecurigaan itu tidak tampak.
            “Kayaknya mereka mau pada nanjak juga deh?” pikirku ketika melihat segerombol orang dengan membawa carriel dipundaknya. Pandanganku langsung tertuju pada 1 perempuan dari sekumpulannya, “Kek pernah liat cewe itu, tapi dimana yah?” pikirku lagi sambil mengingat dan memperhatikan gerak-geriknya yang sebenarnya tidak asing lagi dimataku, namun terenyahkan. Mendengar bising suara tapi tidak mendengarkan, ketika otak mulai berhenti dalam 1 titik fokus tanpa melihat arah lainnya, seperti ini kebiasaan buruk yang ku derita dalam posisi yang tidak stabil. Iyah, perempuan itu..
            Semua bayang kabur tersadarkan. Merdu adzan maghrib yang membangunkan segalanya dan mengakhiri obrolan bersama orang-orang sekitar. “Mau shalat dulu yah bang, kiranya bis datengnya masih lama kan yah?” lirihku “Iyah neng, silahkan. Dari sini lurus aja terus belok kanan dari situ keliatan ko mushalanya” jawabnya dengan mengarahkan letak menuju tempat suci penuh kedamaian itu.

Kegilaan dan kenakalan ini tak pernah ku ambil sempurna
Masih tertanam setidaknya sedikit ada jiwa murni
Aku tak akan pernah lupa dengan kewajibanku
Meski sadar diri ini terlalu kotor dan hina
Namun dengan keyakinan inilah
Mungkin mampu mengikis sedikit demi sedikit tuk melebur dosa
Yang kian menumpuk dikesetiap hariannya
Dan tak pernah terlewati

            “Deuh.. Udah jam setengah 8 masih belum ada bis juga? Bete nunggu dari jam setengah 6. Membosankan!” Keluhku dalam diam. “Temennya A Suge yah?” tanya perempuan berkaos merah dengan carriel dipundaknya itu, yang sedari tadi aku perhatikan, dan kini berada didepanku. “Suge?” tanyaku heran. “Atau temennya Sandi?” tanyanya lagi “Ouh iyah saya temennya” jawabku. “Tadi dia bilang titip kamu ke aku jadi kita barengan aja.” tuturnya. “Titip? Emangnya aku barang maen dititip-titip segala? Apa karena khawatir? Untuk apa seseorang memiliki kekhawatiran seperti itu pada seseorang yang bernama Nde? Apa karena ia sosok perempuan? Aahhh.. Lagi-lagi olah pikir orang semacam itu membuatku memutar mata. Masih belum yakinkah dengan pembuktianku selama ini? Please, jangan ada kata khawatir sebelum aku mengibarkan bendera putih” oceh batinku dalam bayang lamunan.
            “Nde” ucapku memperkenalkan diri dengan telapak tangan yang terbuka “Fadil” iapun membalas jabat tangan erat ini. Hanya beberapa kalimat tanya jawab singkat, selepas itu sunyi tak berkutik. Tidak ada obrolan yang hangat, hanya pembicaraan yang kaku dan dingin, meski sudah ku coba banjiri air panas yang dilumuri sebatang coklat yang manis dengan lengkung senyum yang dibuat indah, namun tetap saja bibirnya yang menggoda itu tak merajuk. “Ada apa dan kenapa? Apakah ada yang salah?” hati ini bertanya-tanya.
            Bis jurusan Garut dengan plat berwarna kuning dan hijau itu yang dinantikan sedari tadi kini telah tiba pada pukul ±8malam, carriel yang kita bawapun dimasukan satu persatu kedalam bagasi. “Akay” salam hangat permulaan dari seorang laki-laki dengan tubuh yang membelakangi cahaya lampu pijar membuatku samar-samar melihatnya. Tersenyum digelapnya malam dengan balasan perkenalan membuat diri ini terasa dianggap didalam rumah yang beratap sedikit bocor, iyah meski hanya sebagian, karena aku tau sifat seseorang berbeda-beda, wajarkan. “Boleh duduk bertiga disini?” tanyaku pada Teh Fadil dan satu temannya yang memakai kerudung berwarna biru muda itu, Anna. “Iya boleh sok  aja, ini kan bangku 3” jawab Teh Fadil yang langsung menggeserkan tubuhnya, memberikan sedikit celah tempat untukku.
            Beberapa menit terbuang percuma, tak ada subject maupun object yang menyenangkan. Hening didalam keramaian dengan kesibukan masing-masing. Dan aku memutuskan untuk pindah tempat duduk tidak jauh dari tempat duduk semula, iyah didepannya, sendiri menatap keluar jendela yang tertutup rapat dan sedikit gelap buram itu, sesekali akupun tertidur samar. “Sebentar lagi bis yang Nde naiki mau sampe Cipanas” kukirim pesan singkat pada seseorang yang jauh diseberang sana, iyah A Utong.
            Laki-laki yang bernama Akay itu menghampiriku dan duduk disebelahku, memberikan perbincangan yang renyah, sesekali tawa terpaksa itu termuntahkan hanya untuk mencairkan suasana. Tak terasa sudah sampai di Cipanas lagi, bis yang aku tumpangi sebentar lagi akan berhenti. “Barusan A Sandi ngirim pesan ke saya katanya dia sama temen-temennya ngga bakal jadi nanjak ke cikurai Teh, yaudah teteh mah nanjak bareng kita aja” ucap salah seorang laki-laki berkaos lengan hitam pendek yang belum aku ketahui namanya. “Nahloh? Ini bercanda apa gimana? Masa iya sih?” tanya batinku. Akupun hanya tertawa canggung dan menganggap ini semua memang candaan dimalam hari. Ekspresi yang terpasang dan nada suaranya yang meyakinkan sehingga candaan itu seakan benar serius, dan mereka berhasil membuatku tercengang. “Teh tidur Teh, atau pura-pura tidur aja. Udah pada mau naik tuh” ucap A Akay ketika bis sudah berhenti. Dan anehnya aku nurut aja, bodoh!

Pertemuan ini melepaskan satu rasa
Dimana sudah lama terkubur tanah
Dengan tangan yang menjulur kebumi
Meronta bagaikan kekeringan
Padahal semuanya lembab

Perkiraanku salah
Terpenjara didalam satu titik fokus
Menatap dalam celah ruang yang tersembunyi
Berharap genggaman kuat ini
Mampu mengambil aura yang berjalan menjauh

Hanya butuh beberapa waktu
Tuk menggapai apa yang dirasakan
Meski berawal dari tebakan yang salah
Namun pada akhirnya mendekat dan terungkap

            “Si Nde udah tidur?” suara itu.. Aku mengenalinya.. Iyah aku kenal suara itu.. Dia.. “Heh bangun!”. Akupun membuka mata dan melihat sosok dari arah suara itu muncul. “Tumben udah tidur jam segini?” ucapnya lagi. Akupun langsung menyalaminnya dengan senyum kesal yang terlengkungkan. “Ciiiieeeee yang dapet dulur baru” girangnya. Kalimatnya membuatku kebingungan harus memunculkan ekspresi wajah seperti apa. “Kata Nde juga berangkatnya abis isya aja, toh bisnya juga ada jam 8 A” ketusku. Ia seperti mengabaikan kalimatku tetapi ia menyempatkan menatap lekat kedua bola mata yang pandangannya tersamarkan lalu berpaling cepat.
            “Ikut duduk yah” ucap seorang laki-laki yang langsung duduk disebelahku. Aku hanya mengangguk saja. “Ohm” laki-laki itu mengenalkan diri sambil memberikan jabat tangannya “Nde” balasku. Dari situlah awal perkenalan dan perbincangan kami yang terkesan sedikit kepo.
            Malam semakin larut, seakan gelap tanpa akhir, tujuan kita masih jauh diseberang sana, perlu berjam-jam lagi untuk sampai pengakhiran, posisi duduk maupun perpindahan tempat duduk sudah berubah berjuta kali, hilir mudik orang-orang didalam bis malam itu hanya untuk mencari tempat yang nyaman, seakan bukan berada didalam sebuah kendaraan. Mencari sesuatu yang mampu membakar rasa bosan ketika sebuah kata sudah tak mampu dimuntahkan, bekal makanan dan minuman yang tersedia menjadi pelarian sesaat hingga semua berubah menjadi lebih baik. Semua terlihat lelah, mungkin ada beberapa orang yang terpaksa menutup matanya hanya untuk menyimpan energi untuk esok hari, dan terlelap pada waktu dimana bulan sabit tersenyum menerangi alam ini. Tapi aku masih membuka mata. “Belum tidur?” nada suara itu semakin mendekat, iyah dia duduk disebelahku. Ia mulai mengenalkan siapa sebenarnya perempuan yang selalu aku perhatikan diawal perjumpaan tadi. Dengan sedikit terkejut yang tidak ditampakkan aku hanya mampu tertawa paksa, sesekali aku mengernyitkan dahi dan memberikan sedikit arahan yang sebenarnya sebuah kalimat rasa itu berbanding terbalik 360° dengan suhu >38°C.

Bukan siapa yang tergila ataupun digilakan
Namun disini siapa yang lebih dulu terpana
Tuhan tolong!
Hati pemberontak menjadi mati
Layu, terjatuh dan bersandar pada akar yang terkubur
Melihat namun seakan buta
Mendengar seolah tuli
Haruskah berlayar sampai ketengah lautan
Dan tak kembali kedasarnya
Hanya untuk berteriak hingga nadi leher mengeras dan terputus
Sampai semuanya terlihat baik-baik saja?

Terlalu hebat..
Melempar bunga yang cantik
Hingga bau busuk didalamnya tak tercium
Untung saja tak mampu menguak
Jikalau semua itu terjadi
Pasrahlah diri ini takan bisa bergerak
Mungkin berjalanpun terkakukan
Atau butuh cadar tuk menutup muka yang sedikit memerah

Sudah terlatih
Dan sudah terbiasa
Dengan hal yang baku semacam ini,
Terkadang senyum tipis meredakan segalanya

            Kiranya pukul 1 malam kita turun dari bis, berdiam diri serta melepaskan rasa pegal didepan sebuah gerbang perumahan dipinggir jalan raya hanya untuk menunggu kendaraan selanjutnya yaitu mobil pick up yang akan menjemput kita untuk sampai ke Rumah Singgah Pendakian Cikurai. Namun ketika kita menunggu jemputan, ada mobil calo atau mobil jemputan yang tidak diharapkan, sedikit memaksa kita untuk mengantarkan sampai ke tujuan. Dari sinilah A Agus berperan sangat besar dalam urusan berbicara. Widih so good for public speaking and some reason. Akhirnya kita pun menumpangi mobil calo tersebut dan membatalkan mobil jemputan yang sudah dijanjikan sebelumnya dengan beberapa alasan yang kuat, untungnya janji yang tak terpenuhi itu diterima dengan baik oleh pihak sewa kendaraan itu.

Bersahabatlah dengan malam
Meski terkadang
Kau dibuat mati oleh angin malam

Biasakanlah bercakap dengan malam
Meski terkadang
Kau dibuat resah oleh udara malam

Tatkala kau terjatuh digelapnya
Namun secerca cahaya selalu terangi
Mengoyak tubuh hingga remuk
Tetap saja masih mampu berdiri dan berjalan
Meskipun hanya dengan merangkak
Demi melawan arus yang berbanding arah

Hembusan angin yang kuat
Memandikan raga
Sampai membeku dalam balutannya

Terlihat tegar
Seakan kesakitan itu tak pernah dirasa
Menghirup virus
Seolah takan hidup dalam aliran darah
Tak berguna

            Tak terasa, waktu begitu cepat berlalu. Pukul 2 malam kita memulai pemberangkatan ke Rumah Singgah, jarak yang lumayan jauh dan sempat kita salah jalan terlebih dahulu membuat semua orang merasa resah serta kesal dan satir sarkaspun mulai membeludak, aku hanya menghela nafas panjang dan memejamkan mata beberapa detik ketika suara amarah yang terpendam itu membelit kelamnya malam, hingga sampai pada pukul ±3 malam kita tiba ditempat peristirahatan.
            Ketika aku melihat A Agus yang sedang menyiapkan bahan-bahan untuk memasak, dengan segera aku mendekati dan membantunya memasak dengan sekedarnya, tak ada rasa letih yang kurasakan pada saat itu, rasa kebersamaan ini menggerakkan naluriku, dan canda tawa itu tampak menyegarkan ketika berlangsungnya masak memasak ala chef dadakan. “Ini aku, bukan yang so pamer kekuatan atau keahlian, karena aku tercipta bukan menjadi seseorang yang bergantung pada orang lain dan aku dilatih menjadi seseorang yang mandiri, meski terkadang ada saja terbesit ingin merasakan apa itu namanya diayomi? Mungkin suatu saat nanti, atau mungkin takan pernah merasakannya? Setidaknya aku masih mampu berdiri tegak meskipun itu hanya sendiri.” Seru batinku.

Bukan aku orangnya
Jika untuk menarik seseorang
Dengan keahlian yang dibuat-buat
Ini aku yang apa adanya
Selalu ingin belajar
Menguak sesuatu yang baru
Membantu saat raga masih bisa
Dan bertanggung jawab tuk mendewasakan diri

Bukan aku orangnya
Jika hanya untuk mendapat sebuah pujian
Atau sekedar suara tepuk tangan
Kiranya kata harus berucap
Aku tak butuh itu
Karena aku tau
Dibalik itu semua
Ada seseorang yang memutar kedua bola mata
Iyah, mungkin perasaan cemburu..

            “Ngambil daun pisang gih, ini masakannya bentaran lagi udah pada mateng dan siap” suruh A Agus. Ketika semuanya sudah disiapkan, kita semuapun berkumpul melingkari daun pisang dan langsung menyantap makanan yang sudah disediakan meskipun dengan posisi jongkok, namun terasa sangat begitu ni’mat karena kebersamaan yang tercipta saat itu mengenyangkan meski hanya makanan yang seadanya. Setelah makan diwaktu yang sangat gila pukul setengah 4 seperti layaknya orang yang menikmati makan sahur, setelahnya ada yang melanjutkan tidur atau sekedar tiduran dengan memainkan gadget ditangan, ada juga yang hanya sekedar menyandarkan tubuh dengan rokok ditangan dan kopi digenggamannya.
            Setelah gema adzan subuh berkumandang dan shalat telah didirikan, jiwa ini merasa semakin damai, seakan Rabb memelukku dari dalam batin. Penjaga Rumah Singgah itu yang tidak diketahui namanya menawarkan dan memberikan bantal serta sleeping bag untuk istirahat, dan ku terima dengan hangat. Bercengkrama dengan renyah dengan balutan kehangatan seolah berada dalam dekapan lingkar surgaNya hingga tak terasa aku terlelap dengan sendirinya.

Tuhan, taukah?
Jiwa ini terlalu kotor
Terhinakan
Tapi masih saja Kau berbaik hati
Memberikan keni’matan yang Kau miliki

Entah harus bagaimana lagi
Memohon ampun
Namun tercipta lagi dosa itu
Tak pernah berhenti
Dan entah kapan diri ini hanya berjalan
Dalam satu garis putih saja
MenghadapMu, Rabb..

            “Bangun.. Bangun.. Mulai nanjak euy.. Sunrise sunrise..” teriak A Agus di dinginnya pagi saat itu. Sejujurnya masih enggan untuk membuka mata namun ada sesuatu yang tak bisa ditahan lagi, iyah ketika kamar mandi sudah melambaikan tangannya padaku. “Edaaaaaaaaaaasss.. Ini airnya dingin banget ngga kuat nyentuh” jerit batinku.
            Berkemas dan merapikan barang-barang yang akan dibawa kepuncak Cikurai, kalau tidak salah berangkat nanjak itu jam 8pagi dan sampai dipuncaknya itu pukul 4sore, mungkin? Aku lupa.
            Ini pertama kali aku melangkahkan kaki di gunung Cikurai, treknya yang lebih ganas dari pendakian sebelumnya, dengan aroma khas pegunungan yang menyengat, namun aku tidak terlalu merasakan hawa dingin yang menusuk, perjalanan yang sangat mengesankan bersama sebagian orang-orang yang baru aku kenal, ini membuatku merasa terbebaskan namun sedikit terasingkan, mungkin karena aku belum terlalu kenal dekat, so perlahanlah tapi pasti untuk mendekati dan memahami karakter seseorang.
            Ditengah perjalanan kita berhenti hanya untuk sekedar mengganjal perut dan menjalankan kewajiban disaat matahari sudah berada diatas kepala, setelah itu melanjutkan perjalanan kita. Entah kenapa, ketika berhenti sejenak rasa kantuk itu selalu menyerangku, namun jika terus berjalan tidak merasakannya lagi. Sosis dan permen biskuit coklat adalah makanan yang wajib ada didalam tas selempangku, untuk jaga-jaga disaat perut mulai berontak ditengah perjalanan dan agar mudah pula mengambilnya.

Merayap
Merangkak
Berjalan dengan perlahan
Berhenti sejenak
Menghela nafas panjang
Hirup udara
Atur volume stabil
Melangkah lagi
Menggertakan pijakan yang aman
Rasakan kesegaran sihijau
Ambil aura positif yang tertanam didalamnya

Bukan tak peduli aku berjalan sendiri
Aku hanya ingin berdua dengan alam
Berbicara bersamanya melalui kontak batin
Mencoba memperkenalkan diri
Dalam lingkup alam yang baru saja kupijaki
Dengan kesendirian ini
Tanpa ada yang mengganggu langkahku

Ada saatnya dimana aku berada dibelakang
Untuk menjaga jika ada sesuatu yang tidak diinginkan
Jangan paksa bila aku tak ingin
Dan ketahuilah..
Saat-saat dimana aku tak ingin ditemani

            Udara yang dingin mulai terasa, pohon-pohon biasa aku temui yang bercirikan puncak sudah didepan mata, aku semakin bersemangat melangkah maju kedepan ketempat yang paling tinggi itu meski sadar kaki ini sudah tak mampu untuk melangkah lagi, namun kupaksakan. Subhanallah, akhirnya aku sampai ditempat kemah Cikurai dengan hujan rintik-rintik iringi kedatanganku, akupun merebahkan tubuhku diatas tanah dan bersandar pada tumpukan carriel seraya menatap langit yang begitu indah seolah aku dan awan berada sejajar. Dari tempat kemah menuju puncak Cikurai tidak begitu jauh, dan aku menatap lekat puncak Cikurai itu. Ditempat kemah inilah para pendaki mendirikan tendanya, dan saat itu ada juga pendaki yang sedang memasang tenda ataupun membongkar tendanya. Sambil menunggu teman-teman yang belum sampai di tempat kemah Cikurai, aku dan beberapa temanku pergi mencari tempat yang aman dari terpaan angin dan nyaman untuk memasang tenda, dan akhirnya kita menemukan tempat yang aman dan nyaman itu. Satu persatu teman-teman mulai berdatangan sampai ditempat, ketika semua sudah berkumpul kitapun langsung menuju lokasi tempat yang sudah kita survei sebelumnya.
            Rintik hujan sore itu membuat tubuhku sedikit kaku, aku terdiam sejenak, air hujan yang menetes langsung ke kepalaku dan menyerap cepat hingga kulit kepala membuat pandanganku sedikit kabur dan merasa kepalaku agak berat, namun aku coba mensugestikan segalanya dengan berpikir positif, dan melanjutkan kembali membantu teman-teman yang masih memasang beberapa tenda yang belum berdiri tegak. Kejadian seperti ini memang selalu terjadi juga dalam keseharianku, mungkin aku yang terlalu lemah tak bisa melawan awan hitam ketika sedang menangis.
            4 tenda sudah dirakit dan terselesaikan, waktunya bergiliran untuk mengganti pakaian atau sekedar merapihkan barang-barang. “Eh, Nde kalau mau ganti baju ditenda yang onoh aja, ada orangnya suruh keluar dulu aja gitu” ucap salah seorang temanku. Akupun langsung menuju tenda yang diarahkan, meminta izin terlebih dahulu, dan ketika aku membuka tenda tersebut ternyata didalamnya ada A Ohm yang sedang santai dan meni’mati makanan ringan ditemani segelas kopi panas yang masih mengepulkan asapnya “Maaf A keluar bentaran dulu yah mau ganti baju” kataku dengan memohon. Iapun langsung keluar dari tenda meski terlihat sedikit kesal mungkin karena aku yang sudah mengganggunya. Menutup semua resleting tenda dan dengan cepat aku membuka carrielku tuk mencari P3K yang berada didalamnya dan langsung meminum beberapa butir obat untuk menenangkan gejalaku, sampai aku harus menarik nafas panjang cukup lama.

Apa yang ku derita saat ini
Bukan salahmu
Ini hanya sebagian dari masa lalu
Yang masih hinggap
Dan tak bisa ditinggalkan

Mungkin kau anggap pelampiasan ku salah
Tapi apalah daya
Aku sudah tercandu
Berawal tuk lupakan
Namun menjadi berkepanjangan yang merugikan

Digilakan oleh sesuatu tanpa wujud
Denyut cepat itu mematikan segalanya
Jikalau aku yang kurang cepat
Jiwa inilah yang akan dimatikan olehnya

            “Udah belum ganti bajunya Nde?” ucap seorang laki-laki diluar tenda. “Udah udah ko” jawabku sedikit buru-buru. Laki-laki itu membuka resleting tenda dan masuk kedalamnya. Iapun langsung merapihkan barang bawaannya, mengambil sebuah kaos yang terbungkus kantong plastik dan langsung mengganti pakaiannya tepat didepanku, dan mengambil beberapa helai tissue basah untuk mengelap sebagian tubuhnya, aku sedikit terperangah melihat sesuatu yang ngga terpikirkan sama sekali. “Ini orang ngga tau malu apa gimana?” tanya batinku. Mulutku terbungkam dalam ribuan pertanyaan yang membingungkan.
            “Kalau mau masak mie atau bikin susu ke tenda dapur aja, si Iman juga lagi bikin mie disana” ucapnya. Aku hanya mengangguk saja. Barang-barang yang berada didalam tenda cukup berantakan, akupun langsung merapihkannya agar nyaman untuk tidur nanti malam. Rintik hujan yang belum juga reda malah semakin membesar dan hembusan angin yang menusuk tulang memaksaku untuk pergi ke tenda dapur hanya untuk sekedar memasak mie, dan sambil membantu menyiapkan mie instan untuk teman-teman. Aku pun ikut nimbrung dalam kumpulan kaum adam sekalian memberikan mie yang sudah dimasak, berkumpul disatu tenda berukuran kecil yang dipenuhi oleh ±7orang untuk menyantap makanan seadanya dengan canda tawa girang dan obrolan penuh kehangatan, inilah kebersamaan yang tidak akan terlupakan.
            “Ini apa?” tanyaku sambil memegang sehelai kertas putih kecil “Itu teh bako” jawab A Fahmi yang memiliki bungkusan itu “semacam rokok rakitan kah?” pikirku “Gimana bikinnya?” tanyaku semakin perasaan. “Buat apa? Nde mau ngerokok juga?” tanya A Utong. “Iya engga atuh, cuma pengen tau aja gimana bikinnya A, abis penasaran sih” jawabku sekenanya. Akhirnya A Utong pun mengajarkanku cara membuat gulungan rokok putih itu. Seperti terlihat mudah namun susah untuk dipraktikan kembali, sudah habis beberapa kertas gagal, pernah hampir berhasil namun gagal lagi. Iyah mungkin aku tidak punya keahlian memplintir sebuah rokok yang disebut bako itu, setidaknya aku pernah dibuat penasaran dan sudah mencobanya.
            “Yeach! Rokok buatanku sudah jadi, meski dengan gulungan yang tidak rapih” kataku. Sebagian dari mereka menertawaiku dan sebagiannya pula ada yang memberi semangat bahwa aku pasti bisa membuat gulungannya menjadi rapih dan ku paksa beberapa temanku untuk mencoba rokok buatanku, meski mereka sudah menolak namun aku tetap membujuknya. Sadis.
            Tidak terasa sudah pukul 9malam, akupun pindah ke tenda yang lain untuk mengistirahatkan mata, ketika keluar dari tenda terpaan angin yang sangat dahsyat itu menghantam tubuhku, tidak hanya itu sesekali tenda tergoyangkan oleh besarnya angin malam itu ditambah hujan yang terus mengguyur. Sebelum memejamkan mata akupun menunaikan shalat terlebih dahulu dengan tubuh yang bergetar kedinginan, posisi yang tidak nyaman, tetapi tidak menghalangiku untuk terus bersyukur atas ni’mat hidup yang telah Rabb berikan untukku sampai saat ini. Memang lebih nyaman itu satu tenda yang berisi beberapa orang meskipun sempit tapi tubuh merasakan kehangatan, tidak kedinginan seperti yang aku rasakan saat ini.
            “A, Nde shalatnya udah” teriakku hanya dengan kepala saja yang menengok keluar, saking tak kuatnya dengan cuaca saat itu. Iapun masuk ke tendaku dan merapikan barang-barang yang tertumpuk berantakan dan mengeluarkan sleeping bag yang akan digunakan saat itu. “Tidurnya mau gimana nih?” tanyanya. Aku hanya mengabaikan ucapannya dengan tubuh yang melingkar saking sempitnya tenda karena berukuran kecil yang mungkin cukup untuk 2orang ditambah beberapa carriel tertumpuk ditenda ini, rasa mengantuk dan dingin itu menyerangku dengan cepat. “Jangan gitu atuh tidurnya nanti sakit gera” larangnya. Akupun langsung terbangun duduk “Udah gimana atuh tidurnya? Emangnya Aa mau tidur disini?” Tanyaku “Ngga apa-apa kan? Soalnya tadi ke tenda sebelah udah pada ngga muat” jawabnya dengan raut wajah cerminkan campuran perasaan ragu takut dan pasrah. Aku hanya mengiyakan dengan samar, meski sebenarnya aku dibuat kaget terlebih dahulu setelah mendengar kalimatnya namun tak ditampakkan, pikiranku dikalahkan oleh cuaca minus, mata yang sudah tertutup rapat dan pendengaran yang sedikit demi sedikit mulai kabur, iapun menyelimutiku dengan salah satu sleeping bag yang ia bawa. Seakan beku yang tercairkan.

Entah seperti apa manusia baik itu
Apakah yang selalu memberi?
Memberi dalam artian apa?
Tunjukan padaku semacam pemberian apa?
Memberikan sebuah kebahagiaan pada orang lain?
Kebahagiaan seperti apalagi?
Bahagia dalam balutan dosa?
Itukah yang dinamakan manusia baik?

Ketika batin dan logika bertempur
Alkitab pun terkadang diacuhkan
Seakan lupa lembaran kertas yang sesungguhnya
Dan goresan merah itu selalu menghantui
Namun masih saja dilakukan
Hingga milyaran bayang hitam temani hari

Kelembutan dan kehangatannya
Sampai suara nafasnya
Menguatkan diri ini dari ketakutan malam
Karena rasa percaya ini meyakinkan
Jiwa ini dilindungi dan ditemani oleh malaikat dunia

            Keesokan harinya dipagi hari, suara-suara bising sudah terdengar diluar tenda sana. Sindiran canda untuk membangunkan orang-orang yang masih berada dialam mimpinya atau yang sudah tersadarkan namun masih berada dalam gulungan kehangatan. Akupun terbangun dijarum jam menunjukan pukul 05.35 dengan segera aku mengambil air aqua untuk berwudhu. “Pegang nih pegang nih” ucap A Akay dipagi itu seolah membangunkanku lebih kuat dari bayang yang masih samar. “Ih jangan atuh, airnya ngga ada lagi” jawabku cepat dan langsung menjauh dari A Akay. “Mau bandrek?” tawar A Agus. “Iyah simpen dulu aja A mau shalat dulu bentaran” ucapku yang langsung menutup resleting tenda.
            Setelah sarapan dengan roti yang ditemani segelas susu coklat panas, kitapun beranjak kepuncak Cikurai, tidak ada kata yang terlontar, semuanya sudah terhabiskan, ini begitu sangat cantik dan indah, luar biasa ciptaanNya sangat menggoda. Disini terdapat satu bangunan kecil seperti bentuk ka’bah entah untuk apa gunanya, namun banyak sekali orang-orang yang memanjat sampai keatapnya, mungkin agar mereka lebih dekat lagi dengan langit? Entahlah. Sebuah potret untuk dijadikan kenangan dan bukti diri ini pernah berpijak ditempat ini berhamburan dipuncak meski dengan suhu yang dingin, mataharipun masih bersembunyi dibalik awan.
            “Mau masak A? Nde ikut bantu yah” seruku pada A Agus yang beranjak meninggalkan puncak. A Agus pun mengiyakan kalimatku. Aku dan sebagian teman lainnya turun dari puncak setelah puas berpotret ria dan meni’mati keindahanNya. Memasak dengan bahan makanan seadanya sisa kemarin (Beras, jengkol, kentang, kornet, cireng, sosis, ikan teri dan sambal) alhamdulillah, masih bersyukur. Saat aku memaparkan makanan ke atas trashbag yang sudah dimasak terlebih dahulu, tidak sengaja kakiku bergerak menggeserkan tanah dan pada akhirnya tanah yang hitam itu tercampur dengan sebagian nasi yang sudah disiapkan. “Ihh nde.. Gimana sih ini jadi kecampur gini?” ucap A Utong yang langsung membersihkan dan memisahkan tanah dari nasinya “Kalau kita-kita yang makannya mah ngga apa-apa, ini mah kan ada orang lainnya” tambahnya “Maaf A ngga sengaja” kataku dengan nada pelan dan merasa bersalah. “Kamu makan disebelah sana aja, biar aku yang disini” tutur A Utong. “Sebenarnya hati ini jadi ngga enak, aku yang salah seharusnya aku yang tanggung jawab, tapi ini malah jadi A Utong yang harus nanggung resikonya? Maaf” jawab batinku.
            Makan-makan sudah selesai, kitapun merapihkan barang-barang, membongkar tenda, dan tidak lupa membereskan sampah-sampah dari bekas sisa semalam. Setelah itu kita beranjak turun lagi kebawah meninggalkan puncak Cikurai, kita tidak bisa berlama-lama lagi berkemah disini karena faktor waktu. “Say goodbye puncak Cikurai yang subhanallah sekali, aku pamit pulang” seruku dalam sunyi.
            “Ihh spidolnya abis A, jadi ngga bisa nulis lagi” ucapku. “Tuh, minjem ke orang yang disonoh aja” suruh A Utong. Tanpa malu akupun menghampiri kumpulan orang-orang tersebut yang sama sekali aku tidak kenal hanya untuk meminjam sebuah spidol, dan mereka pun meminjamkannya, malahan mereka pun membolehkan kita untuk mengambil beberapa helai kertas apabila masih memerlukannya, “Widihhhh keren benderanya” ucap salah seorang dari mereka ketika melihat A Agus yang sedang berfoto dengan mengibarkan bendera kesayangannya yang bertuliskan Fals Mania Cipanas. Dari situlah awal perkenalan kita dengan mereka yang katanya berasal dari Jakarta dan Bekasi itu, berbincang-bincang dan bertukar kontak handphone sampai kitapun menyempatkan untuk berpotret bersama.
            Perjalanan pulang begitu sangat menyenangkan, dimana aku bisa berlari cepat dari atas puncak sampai ke bawah, sempat aku tertinggal jauh oleh teman-temanku namun aku bisa menyusul mereka. Aku merasa begitu sangat terbebasakan. Aku suka hal semacam ini, jiwa ini seakan telah menyatu dengan aura kesegaran yang alam berikan untukku, ada satu kesan yang mungkin sebenarnya ini sangat memalukan dimana aku kembali pada masa Taman Kanak-kanak (TK) iyah bermain perosotan dengan jarak yang lumayan tinggi dan jauh didalam hutan. Aku tak pernah bilang ini adalah terjatuh ataupun terperosot tapi aku menganggap ini seakan bermain perosotan. Akupun membuat beberapa orang terkaget dan menertawaiku, aku hanya bisa bergumam, dengan cepat bangkit dan berdiri lagi. “Ahh shit! Kenapa kepelesetnya harus didepan orang sih? jadikan keliatannya dan kesannya itu kek harus dituntun dan dijagain gitu sama orang lain, padahal kan Nde ngga suka gitu! Nde yang harus jagain orang yang lemah, bukan Nde yang dijagain orang kuat! asudahlah..” batinku menggerutu. “Ciiiieeeee si teteh maen perosotan juga” canda A Fahmi. “Bejakeun ah ka A Utong” tambahnya “Ihh.. jangan atuh” jawabku memelas. “Padahal apa hubungannya aku kepeleset sama dia ngasih tau A Utong? Baru kepikiran, aneh deh..” otak ini bertanya-tanya.
            Mungkin sebentar lagi akan sampai diujung perjalanan, aku merasakan ada sesuatu yang membuatku tidak nyaman, iyah aku kebelet. “Ini itu sangat menyebalkan, kenapa harus terjadi?” gerutuku. Pos 1 mungkin masih terlihat jauh. Dengan terpaksa aku harus menahannya sampai bawah. Mau ke semak-semak takut ada orang yang lewat “Hadeuh.. bisa ngga bisa harus bisa nahan” nekadku. Langkahku semakin pelan ditambah ada sesuatu yang membuatku sakit dibagian kaki, entah apa itu, aku tidak memeriksanya cepat karena terlalu fokus menahan sesuatu yang membuatku tidak nyaman ini.
            Pos 1 sudah terlihat dibawah sana, meski kaki ini sudah perih tuk melangkah lagi dan rasa tidak nyaman menyerangku, aku hanya bisa berjalan perlahan seperti memakai sepatu highheels saja dan terus memaksakan. “Ayok lari, bentar lagi sampe” suruh salah seorang temanku. “Ngga kuat kebeleeeeeeeeeeeet” teriakku dari kejauhan. “Yaudah ke semak-semak dulu aja” jawab A Akay “Ngga ah nanti aja dibawah, nanggung”. Mereka pun meninggalkanku yang sempat duduk-duduk untuk menungguku.
            “Bukannya ke semak-semak dulu kan masih ada tissue basah?” ucapnya “Iyah ada tapikan didalem” jawabku. “Kenapa ngga pake air dibotol aja, itu ada ngegantung diluar tas?” tanyanya “Inikan buat minum, takutnya ngga ada air lagi” tuturku pelan karena menahan sesuatu “Hem, padahal kan sekarang juga mau ngambil air lagi” ujarnya. Sesampainya dipos 1 dengan cepat aku mengambil tissue basah yang berada didalam carriel dan berlari mencari tempat aman nyaman dan tersembunyi. “Mau boker?” tanya A Ohm “Kebeleeeeeeeeeeet” jawabku sambil berlari. “Namanya juga daerah pegunungan, mana ada kamar kecil disini? Iya resikonya gini kalau cewe pengen pipis harus lirik kanan lirik kiri dulu takut keliatan sama orang” omongku sendirian “Aaahhhh... Legaaaaaaa...” batinku terucap. Kembali lagi ke pos 1 dan teman-teman sudah berkumpul semua untuk beristirahat sejenak.
            “Mau ngambil air A? Nde ikut!” seruku. Akupun mengambil beberapa botol air minum kosong dan mengikuti A Utong dari belakang. Mencari mata air saja harus serepot ini, dimana kita harus berjalan jauh terlebih dahulu karena tempatnya yang sangat tersembunyi dan tertutup oleh semak-semak maupun tumbuh-tumbuhan liar.

Mata hitam penuh kedamaian
Suara yang sedingin air pegunungan
Dan langkah penuh ambisi
Membuatku seakan tak bernyawa
Terpasrahkan oleh keadaan
Dimana logika masih berputar-putar
Dan batin yang mengemis
Menyembunyikan telapak tangan yang sempat menengadahkan

Mengurungkan niat tuk berjalan lebih dalam
Tak sanggup dengan adanya benalu
Rasa perih ini dipaksa untuk tidur didalam tanah
Agar tak terlihat
Seakan kekuatan itu masih ada
Namun sebenarnya terhempaskan

            Cuaca yang tidak stabil, sebentar mendung lalu panas lagi. Seperti inilah cuaca yang tidak baik untuk tubuh dengan daya imun yang sedang lemah, wajib minum obat dulu sebelum melanjutkan perjalanan. Sesampainya dipemukiman warga, kitapun berisitirahat sejenak sambil menunggu mobil pick up yang akan menjemput kita untuk diantarkan ke rumah singgah kembali, menunggu beberapa menit akhirnya mobil jemputan telah tiba.
            Pukul 4sore kita sampai di rumah singgah, ada yang langsung mandi, ada yang beres-beres barang bawaan, ada yang maen kartu remi, ada yang seduh kopi dan ada juga yang masak mie. Akupun menunggu giliran untuk menyeduh mie, karena terlalu lama menunggu aku memutuskan untuk shalat terlebih dahulu. “Mau shalat? Dimasjid aja yuk! Deket ko dari sini” ajaknya. Akupun mengiyakan ajakannya.

Ada sesuatu yang mengganjalku
Membuatku bertanya-tanya
Apa ini yang dinamakan pencitraan dari sebuah kebaikan?
Sama ratakah dengan seorang pendosa?
Melalaikan karpet merah panjang
Padahal sudah didepan mata
Apa susahnya untuk melangkah sebentar saja?
Hanya menunggu jarum jam berputar
Dengan waktu yang lumayan lama?
Tak bosankah?
Jikalau kau buka kedua telapak tanganmu
Dan pasrahkan dirimu
Takan mungkin kau membuatku bertanya gila
Semacam apa pikiranmu yang sebenarnya?
Alasanmu tak masuk logikaku

            Waktunya pulang kembali ke rumah, diantarkan sampai terminal bis oleh pick up mobil jemputan kita, sesampainya di terminal kitapun menunggu cukup lumayan lama, bis yang kita tunggu belum juga nongol, “Kalau nunggu bis jurusan Jakarta yang lewat puncak dari sini bakalan lama, gimana kalau ngeteng aja?” ujar A Agus. “Gamau ihh.. Males banget ngeteng mah kerasa lelahnya” seruku. Namun akhirnya dengan terpaksa akupun harus ikut sarannya ngeteng mobil karena faktor waktu. Iyah naik bis jurusan Bandung dulu baru dari situ naik lagi bis yang jurusan Jakarta “Kita bisa aja dari sini naik bis jurusan Jakarta yang ngga lewat puncak, tapi karena kita berangkat bareng-bareng maka pulangpun kita harus bareng-bareng” seru A Herdi. Kalimatnya membuatku yakin inilah yang dinamakan solidaritas yang kuat, meski terkadang selalu saja adakalanya dimana perbedaan pendapat itu hadir.
            Kitapun naik bis jurusan Bandung, duduk berdesak-desakan dengan carriel, antara gerah pengap sempit dan beberapa perasaan lain yang bertempur dalam satu waktu yang cukup lama. Alunan nyaring dari pengamen cilik di bis saat itu membuat beberapa orang termasuk aku terkaget-kaget dan tertawa lepas dan sungguh menghibur sekali disesaknya ruangan yang seakan tak beroksigen itu.
            Turun dari bis kita menunggu kendaraan lain, iyah menunggu bis jurusan Jakarta yang lewat puncak. Menunggu berpuluh-puluh menit dengan raut wajah yang sudah sangat lelah dan bosan. Ada 1 angkot dimana ia menawarkan jasanya untuk mengantarkan kita pulang, negosiasi hargapun terluapkan, iyah lagi-lagi A Agus berperan dalam hal berbicara, seakan ia sudah dianggap paling jago dalam urusan ini. Great! Harga miring. “Angkuuuuuutttttt....” teriak A Agus memberikan arahan kepada kita semua untuk memasukan carriel kedalam angkot tersebut. Dan aku masih beruntung kebagian duduk paling depan dekat supir, tidak berdesak-desakan dengan tumpukan carriel, hanya saja aku diapit oleh 3 orang laki-laki sekaligus, (A Ohm, Iman, dan siamang supir angkot) “Edaaaaaaaaaaassss.. Didepan aja udah 4orang? Apalagi dibelakang yang menyatu dengan barang-barang? Pengaaaaaaaaaaaaaap.. Semoga ngga ada tilangan, udah gitu ngga bisa selonjoran lagi disini mah” keluhku
            Sesekali aku melihat kebelakang, seakan mereka duduk dengan posisi yang tidak nyaman. Iyah semua orang didalam mobil angkot itu tidak ada yang merasakan nyamannya duduk. “Kalau saja nunggu bis, mungkin tidak akan serepot ini? Tapi kalau nunggu bis mau nyampe rumah jam berapa?” batinku mengoceh. Apapun pilihan yang kita ambil pasti selalu saja ada resikonya, so inilah resiko yang harus kita ambil.
            Musik dangdut pun terlantunkan sepanjang perjalanan pulang dimalam hari, meski kedua telingaku menjerit tak menerima asupan musik yang membuatku mindeng. Kupindahkan satu lagu ke lagu lainnya dengan berharap ada beberapa lagu yang tidak bergenre dangdut, namun sayangnya flashdisk yang terpasang pada dvd kecil itu berplaylistkan dangdut semua “Ahh shit!” dengusku

Perjalanan mana yang tidak berkesan?
Langit gelap menjadi saksi bisu diantara kita
Lisan yang mengembangkan tawa
Lelapnya tidur tanpa rencana
Dan sandaran yang tidak disengaja
Hingga bumi cemburu dengan langkah kita yang sama

Berpegang tangan erat
Menggenggam kuat tekad
Dengan tujuan meraih matahari yang jauh disana
Meski dianggap mustahil

            “Jangan bilang ke siapa-siapa yah, ini rahasia kita berdua” kata A Fahmi ketika sampai di daerah Cipanas. “Ciiiieeeeee baru kenal udah maen rahasia-rahasiaan” tutur A Utong. Aku hanya tertawa saja “Padahal rahasia apa? Rahasia yang jangan dibilang ke A Utong waktu turun dari puncak itu bukan? Haha terkesan konyol juga sih” tembal batinku. “Pulang kemana?” tanya Teh Fadil “Ke Cipanas dulu Teh” jawabku halus. Akhirnya kitapun bersalaman dengan teman-teman yang bertempat tinggal di Bogor, tersenyum tanda perpisahan. Di pagi buta itu..
TAMAT

Mau tau hasil jeprat-jepretnya?
Please click here to see pictures 

Mau tau hasil kreatif video nya?
Please, check it out for watching this video

Terimakasih sudah membaca dan melihat foto-foto absurd saya hehe..