Selasa, 14 Juni 2016

GN. PRAU DIENG WONOSOBO



            “Kapan mau posting cerita perjalanan Prau ke blog? Aku menunggu ceritamu!” pesan singkat yang ku terima di pekatnya malam beberapa hari kemudian setelah kepulangan dari bercengkrama dengan pesona alam bagian tengah Indonesia itu. Seakan waktu 24 jam dalam 1 hari itu tidak cukup, bagaimana bisa aku membagi waktu dalam deretan aktivitas yang begitu padat? Terkadang aku ingin berlari kebelakang dan mengabaikannya tetapi enggan dijuluki seorang pengecut, berlari kedepan dengan memberantas semua yang membuat kehilangan tujuan namun terbayarkan dengan pecahan otak yang meletup-letup. Manakah yang seharusnya aku pilih?
            Bayangan-bayangan yang memikul hidup dan menegangkan nadi, berharap teriakan itu termuntahkan dengan bebas, namun kali ini aku tak bisa seperti dulu kala. Hanya mampu berdiam diri dan bergerutu pelan, mencoba paksa melupakan setiap kejadian yang seharusnya tidak melekat pada isi kepala dengan beberapa gelas air kedamaian.
            Ambil positif thingking! Seseorang dari jauh sana sedang memecut perempuan yang bernama Nde untuk memutar otak, bukan untuk membiarkannya menghabiskan waktu dengan fake world ataupun games world meski hanya untuk membuang kepenatan? Padahal, membuat sebuah cerita itu tidak segampang ketika membacanya saja. Butuh beberapa amunisi dan asupan imajinasi dalam sentuhan mood yang halus. Ah sudahlah.. Akhirnya aku mengambil dan menghidupkan notebookku bersama milyaran kalimat yang bertabrakan dilangit-langit anganku, dan jemariku mulai menggeliat tanpa hentinya...
            “Baru planning sih buat kesana, lagian masih bingung pilih juga antara Gn. Prau atau Gn. Slamet” tutur A Ohm pada pertengahan bulan April lalu. Warna abu-abu bagaikan kabut itu telah melilit jiwa yang haus akan indahnya kemekaran bunga edelweis dan ratusan kuncupnya yang masih malu-malu memberikan sedikit lengkung senyum pada dunia. Entah apa yang terjadi pada manusia yang kini merubah semerbaknya menjadi aroma penuh senyuman dengan setetes bulir air kehangatan yang seakan menambah noda basah diselembaran kertas putihnya. Lukisan pelangi abstrak hiasi langit-langit api yang berkobar, tak bisa diduga warna apa yang dirasakan pada saat itu, semuanya hanya berjalan dan mengikuti keindahan tawa, meski sering kali bayangan maya itu bagaikan akan terwujudkan esok yang akan datang. Ahh.. Kadang aku hanya menganggap semua ini buaian tuk melepaskan sebuah penat, tapi terkadang pula khayalan itu seperti akan tercipta dikemudian hari. Tak pernah terpikirkan akan melangkah sejauh ini, ketika nyali sudah terbangun apapun akan terjadi meski harus menggali tanah sedalam-dalamnya.
            “Jadiin yuk A ke Prau” balasku lewat chatting whatsapp pada A Ohm. “Dari tanggal 5-8 Mei aja, kebetulan Nde lagi libur nih” tambahku. “Beneran nih lagi ada waktu kosong?” tanyanya yakin tak yakin. “Iyah A, emangnya udah ada berapa orang?” tanyaku “Palingan 3 orang, Aa Neng sama temen Aa yang tinggal di Wonosobo, iyah tuan rumahnya gitu” jawabnya seadanya “Yaelah kalau cuma bertiga mah ngga seru atuh A, mendingan banyakan? Kan Aa bisa ngajak temen-temennya Aa?” seruku “Padahal mah berdua aja jadi Neng, kalau banyakan mah ribet ngurusin ini itunya, suka jadi pusing ke Aanya” keluh A Ohm.
            Sejak kapan yang namanya Nde mau-maunya dipanggil Neng? Bukannya dia paling anti dipanggil seperti itu? Seakan bumi menusuk tubuhnya apabila terpanggil dengan sebutan itu? Dan seakan bayangan kelam dimasa lalu bangkit kembali menghampiri dalam nuansa yang berbeda? Namun entah kenapa kali ini begitu lain, tidak ada rasa sakit yang menikam, hanya seperti tergores dan tak berdarah. Biarkan, apalah arti sebuah nama panggilan, terserah orang lain akan memanggilku dengan sebutan apa yang terpenting mereka bahagia dengan memanggilku dengan kata itu. Malahan sebagian orang memanggil dengan sebutan yang tak terkontrol, dan aku hanya menikmati alurnya saja.
            “Yaudah ntar Aa ngajakin temen-temen dulu deh” katanya. Hari demi hari terlewati, waktu yang dipilih beberapa hari yang lalu semakin dekat. “Jadi yah kita ke Prau?” kata A Ohm “Ehh serius jadi? Kirain cuma ngomong doang?” ucapku tak yakin. “Ihh jadi tau, Aa udah ngajakin temen-temen” jawabnya sedikit memaksa. “Hahaha oke deuh, berangkat jam berapa emangnya?” tanyaku “Pukul 06.00 pagi udah kumpul di Rambutan. Aa juga dari Cipanas berangkat jam 3 pagi, palingan nyampe bogor jam 4an, kalau mau bareng ayok aja” tawarnya.
            05 Mei 2016, pukul 03.00 dini hari aku sudah terbangun, meminta restu didalam sujud malamku sebelum pemberangkatan. “Neng dimana?” pesan singkat yang ku terima dari A Ohm “Masih di angkot deuh bentaran lagi nyampe Ciawi ko” balasku “Ini mobil bis nya udah mau berangkat lagi, barusan ngetem di Ciawi Neng belum nongol juga?” jawabnya “Yaaaaahhh.. Telat dong? Yaudah gapapa A ntar Nde ke Rambutannya sendiri aja deuh” balasku pasrah.
            Ada seorang anak hawa yang beruntung dan selalu bersyukur karena telah dititipkan sebuah keberanian yang besar pada jiwanya oleh Tuhan, takut tidak takut ia merasa tenang meski dalam keadaan terhimpit, padahal sebelumnya ia sangat polos dan kosong, tapi karena nyalinya yang kuat ia mampu menyembunyikan sebuah kekhawatiran yang sempat menggunung didalam benaknya. Sempat ia terperangkap dalam satu distrik yang belum pernah dikenali, namun cahaya hatinya terus memancarkan pada Sang Illahi, hingga Tuhan mengirimkan sayap-sayap malaikat surga untuk melindungi dan menuntunnya dalam ruang batin.
            “Dimana A? Nde udah nyampe di Rambutan nih, baru turun dari bis” kataku via telpon. “Ini Aa di terminal dalem, deket pos polisi, ari Neng dimana?” tanyanya “Di terminal deket tugu tulisan Terminal Rambutan” jawabku “Itu mah masih di terminal luar, ka dalemnya atuh” suruhnya “Ihh kirain teh, bukannya ngasih tau sebelumnya coba. Berarti Nde salah turun dong? Masih jauh atuh?” cerocosku tanpa henti “Iyah lumayan, ikutin jalur bis aja, patokan Aa di pos polisi yah” jawabnya santai. Hadeuuuuuhhh.. Ini orang pagi-pagi udah bikin jengkel aja! Udah mah ditinggalin, ngga ngasih tau turun dimana, nyuruh aku jalan dulu yang lumayan jauh, bawaannya pengen aja nyerocos sama nih orang. Ditambah belum shalat subuh lagi? Belum tenang jiwa! ya Allah maafin, Nde ngaku punya pikiran ke orang lain kek gini itu salah. Untungnya masih dikasih kesabaran yang tinggi.
            Akhirnya ketemu juga sama orang yang nyebelinnya ngga ketulungan, meski sempat tercipta adu mulut kebingungan via telpon disepanjang perjalanan. Namun sekesal-kesalnya sama orang, tetap yang namanya menghormati itu harus dilakuin, apalagi sama orang yang lebih dewasa. Akupun memberikan salam ketika bertemu dengannya. “Eh kita ketemu lagi?” ucap seorang laki-laki yang mungkin sebelumnya sudah mengenaliku. Aku hanya mengekspresikan wajah kebingungan. Siapa dia? Apa benar kita pernah bertemu sebelumnya? Dimana? Maaf mungkin aku lupa. “Dia Aldi, Neng. Yang waktu di Cikurai itu. Inget ngga yang pernah difoto bareng sama bendera iwan fals” jelas A Ohm. “Oh iyah Nde baru inget, maaf yah” kataku sambil berjabat tangan pada laki-laki yang bernama Aldi itu.
            Ketika melihat jarum jam dipergelangan tanganku, aku bersyukur mentari belum muncul pagi itu dan aku masih diberikan waktu untuk menjalankan shalat subuh, dengan segera akupun meminta izin untuk pergi ke mushala terdekat. A Ohm yang masih sibuk dengan handphone nya, menghubungi beberapa temannya yang belum tiba juga ditempat yang sudah dijanjikan. “Aa juga belum shalat, sok aja duluan nanti Aa nyusul, carrielnya simpen aja dulu disini” tuturnya.
            Aku kembali ke tempat perkumpulan tadi setelah selesai menjalankan ritual wajib dipagi hari itu, “Aa udah shalat belum?” tanyaku “Udah tadi, pas Neng lagi di kamar mandi, kalau ngga percaya mah tanyain aja sama Aldi” jawabnya. Bukannya percaya atau ngga percaya, itu sih balik lagi ke diri sendiri yah? Toh yang namanya kewajiban sebenarnya udah ngga usah disuruh-suruh sama orang, lagian dosanya ditanggung sendiri ini, tapi kalau untuk mengingatkan aja sih apa salahnya?
            “Temennya A Ohm yang darimana A?” Tanyaku pada seorang laki-laki yang sedang duduk disamping carrielnya “Jonggol” ucapnya. “Dia teh yang waktu itu Aa telponin waktu kita maen ke Gunung Batu tea Neng, si Tulang” tembal A Ohm “Oh.. Kenapa atuh waktu itu ngga diangkat telponnya A?” tanyaku pada laki-laki yang sering dipanggil Tulang itu. “Tidur, ngga tau ada telpon” jawab laki-laki yang bernama asli Herman.
            “Astagfirullah baru kumpul 4orang yah? Deuh padahal janjinya jam 6 pagi harus udah kumpul semua, ini udah lewat? Orang Indonesia” satirku pada A Ohm. “Iya nih ngga tau ahh, orang yang megang tiketnya belum nongol juga lagi” kesalnya. Beberapa menit kemudian, 2orang laki-laki dan 1orang perempuan menghampiri kita, iyah dia teman A Ohm yang ditunggu-tunggu sedari tadi. “Nde” ucapku sambil memberikan salam pada seorang perempuan yang memakai jilbab itu “Riri” balasnya dengan sebuah tatapan tajam buatan yang mengagumkan “Sering nanjak?” tanyaku segan “Ngga juga sih, tapi pernah” jawabnya malu-malu “Widihhh.. Senior dong?” candaku “Emangnya teteh belum pernah?” tanyanya dengan alis datar. “Haha.. Aku masih formula eh pemula maksudnya” ucapku merendah. Ngalir aja gitu ngobrol ngaler ngidul anggap aja obat bete nunggu satu orang lagi yang belum dateng. “Kenalin nih” kata A Ohm bersama satu perempuan disampingnya “Bahiyah” lirihnya. Hah siapa? Badiyah? Bakiyah? Baniyah? Baliyah? Bamiyah? Siapa? Agak susah juga namanya ditambah pelan lagi ngomongnya jadi ngga jelas gitu. Pasti dengan seiring berjalannya waktu bakalan hapal ko namanya hihi.. “Udah kumpul semuanya? Yaudah yuk kita ke tempat tiket, pada ambil carrielnya tuh” suruh A Ohm.
            Bukan hanya kita yang akan berangkat nanjak pada hari itu, ternyata banyak sekali orang-orang yang menggendong carrielnya ataupun menenteng sebuah daypack. Puluhan atau mungkin ratusan manusia berada diterminal, sebagian dari mereka ada yang menunggu pemberangkatan, adapula yang mengais rezeki dengan berjualan bermetode duduk beralaskan tikar maupun kardus bekas dengan menjajahkan dagangannya ataupun berkeliling mengasongkan barang dagangannya agar cepat laku, ditambah beberapa petugas yang sepertinya hilang kendali, mengabaikan tugasnya yang entah dimana. Hilir mudik orang-orang diterminal kala itu, mentari yang kini mulai menyoroti seluruh permukaan tubuh, dan keringat yang mulai bercucuran, ditambah suara perut mulai bergeming dengan nyaringnya. A Ohm pun mengeluarkan termos mini yang berisi kopi dan teh yang sudah diseduh dari rumah, tak terlewati rokok dan koreknya yang tidak pernah lepas dari jepitan tangannya ia keluarkan hanya untuk sekedar berbagi dengan teman-temannya, beberapa buah rotipun ikut meramaikan pagi cerah itu.
            “Tiket pemberangkatan ke Wonosobo pagi ini udah habis” ucap salah seorang laki-laki yang ditugasi A Ohm mengurusi tiket. “Palingan ntar ada lagi kira-kira pukul setengah 3 sore, itu juga kalau kita kebagian. Dapet tiket juga belum tentu kebagian bis nya. Penumpangnya membeludak hari ini, bisa jadi kita ngejar-ngejar bis dan rebutan kursi sama penumpang lainnya kayak orang-orang itu” jelasnya sambil menunjuk kearah dimana tumpukan penumpang menggerogoti satu bis dengan berdesak-desakan, bagaikan sekumpulan semut yang menyerang gula ataupun sebuah bola yang diperebutkan oleh beberapa pemain. Kebimbanganpun hadir, berjalan mundur nanggung berjalan kedepan dihadapi kondisi seperti ini? Meeting point pun dilakukan, laki-laki yang mengenakan kaos campuran warna orange dan coklat itu memimpin jalannya diskusi. Iyaps! Hasilnya kita menunggu sore hari.
            Setiap orang pasti merasakan kebosanan ketika harus menunggu waktu, entah itu beberapa menit, berjam-jam, berhari-hari atau bahkan bertahun-tahun. Tergantung bagaimana orang tersebut menyikapi waktu. Salah satu teman A Ohm yang aku belum tau namanya terus saja mondar-mandir mencari informasi lain tentang pemberangkatan tiket bis ke Wonosobo. “Indonesia itu kekurangan bis, penumpang ampe ngga ketampung gini” gerutu A Ohm “Kalau jadi presiden, udah Ohm tambah bis aja dan ngga bakalan ada penumpang yang terlantar kek kita gini” tambahnya mulai berbicara soal politik.
            Rambut kuncir dan mata tajam dari seorang pria yang mengenakan carriel berukuran 85liter itu melintas didepanku dengan sorot penuh tanda tanya. Entah siapa yang memulai tatapan datar itu, kuanggap hanya sebuah layar iklan saja. Namun tak diduga, laki-laki yang membawa 2orang perempuan dengan daypack dipunggungnya itu ikut bergabung dengan kita, karena memiliki tujuan yang sama yaitu menuju puncak Prau. Puluhan pendaki yang terlantar diterminal kala itu hanya bisa menarik nafas panjang atas situasi dan kondisi yang sudah tidak memungkinkan ini.
            Bis jurusan Wonosobo pun hadir, itupun hanya ada satu buah. Tak lama langsung digerogoti oleh puluhan manusia yang akan menumpanginya, dan kumpulan kita pun sampai tidak kebagian masuk. Sabarkan. Lagi-lagi laki-laki berkaos abu itu tidak ada lelahnya mencari informasi seputar pemberangkatan bis, sampai pada akhirnya ia memutuskan untuk mencari bis jurusan Purwokerto. “Ngga apalah harus transit dulu juga, daripada nunggu yang ngga pasti?” ujarnya. Dengan nyaliku yang sudah terpancing, aku harus mendapatkan kursi bis bagaimanapun caranya. Aku yang ditemani A Tulang dari belakang langsung menerobos pintu masuk bis dengan cekatan, alhamdulillah akhirnya perjuanganku terbayarkan meski harus berdesak-desakan dengan penumpang lain yang mayoritas kaum adam dengan tubuh lebih besar dariku, omyghost!
            Bisa kalian rasakan dan bayangkan betapa nekatnya perempuan yang bernama Nde itu? Entah gila, atau emang ia seorang yang ambisius? Hahaha.. Aku sendiri tak bisa mendeskripsikan seperti apa sosok Aku ini, hanya bising suara diluar ragaku yang mampu menjawab siapa diri ini yang sesungguhnya. Setelah mampu ku banting tubuh ini melewati lubang pintu yang cukup sempit itu dengan segera aku memilih beberapa kursi.“Pilih 13 kursi, soalnya tadi ada yang mau ikut gabung sama kita juga 2orang” ucap A Tulang. Kulihat dari jendela bis, laki-laki berkaos abu pendek itu langsung menghampiri dan memberitahu teman-teman lain yang masih berada diluar bis, yang sedang duduk-duduk sambil menunggu sebuah kepastian, ia dan beberapa teman lainnya langsung memasukan semua carriel yang kita bawa kedalam bagasi. Teman-temanpun langsung menempati kursi yang telah aku pilihkan sebelumnya, mempersilahkan mereka untuk beristirahat dan melepaskan rasa lelah.
            Bertarung melawan egoisme yang semakin menyiksa, menyala dalam sebuah kegelapan tanpa akhir dengan balutan perasaan yang tidak jelas asal usulnya, dan lagi-lagi membungkam paksa jeritan yang sebenarnya tak sanggup lagi ditahan, benaklah yang selalu berkata jujur, berteriak dalam diam penuh keheningan, mungkin jiwa ini masih terbungkus rapih dalam hati yang salah dimasa kelam, hingga tak mampu membuka keseluruhannya, mengintip dari balik tirai dan bersembunyi kembali, ketakutan itu masih menyelimuti si relung hati dan masih dihantui oleh bayang hitam yang tersamarkan, belum mampu memegang kunci untuk membuka pintunya, hanya takut salah memilih dan melangkah lagi. Padahal semuanya telah jelas, setelah hujan badai pasti ada pelangi yang akan menyinari, tidak akan selamanya awan mendung hiasi langit-langit dunia, tapi tetap saja ini adalah sebongkah hati yang bisa dihancurkan maupun terkoyak atau tercabik dan teremukan hanya dengan kepalan tangan saja seperti menggenggam keras mentahan ati ayam yang masih dilumuri darah segar. Namun tergantung bagaimana manusia itu memilih hidupnya.
            “Makasih yah A” ucapku “Iyah sama-sama Neng” jawab A Ohm yang duduk disebelahku “Eh boleh pakein beberapa gelang ini ditangan Aa ngga?” pintanya “Boleh, sini Nde taliin A” ujarku. Bis Sinar Jaya ekonomi jurusan Purwokerto yang kita tumpangi akhirnya mulai melaju pada pukul ±14.30 WIB, meski rencana awalnya kita akan menumpangi bis Sinar Jaya AC jurusan Wonosobo, tapi apalah daya kita sudah lelah dengan pemberi harapan palsu oleh pihak ticketing di terminal itu. Dan lagi, sore sampai menjelang malam mandi keringatpun mengguyur seluruh tubuh, seakan terik mentari tak henti-hentinya membuat kegerahan.
            Jiwa yang membeku dalam sunyi ini ternyata mampu terluluhkan oleh dua tanduk dikepala berwajah merah kusam, merayap perlahan mencari amunisi untuk menjebloskan ke lubang api, mungkin awalnya hanya mengajak bermain dipekatnya malam, namun tanduknya yang mengkilap itu mampu meruntuhkan dinding pertahanan perang meski sempat terjadi penolakan. Jika seandainya Tuhanlah yang memberikan kenikmatan itu, mengapa harus menitikan darah dosa? Berargumen dalam 2 senyawa diwaktu yang salah, dengan tatapan yang memikat layaknya pecandu dosa. Apa memang keturunannya ditakdirkan harus seperti ini? Mengikuti aliran dosa Adam dan Hawa beberapa ribuan abad yang lalu? Atau memang manusia yang kini semakin bodoh hanya menuruti ego dibandingkan berlogika? Malam yang begitu indah dan bertabur bintang yang dilumuri sesak sebuah kebencian yang berujung sesal, seakan pengap dan berharap kematian hanya tinggal menghitung detik agar mampu terlupakan.
            Baru kali ini ngerasain yang namanya naik bis antar provinsi, biasanya kan cuma antar kota doang, ternyata gini yah? Enak ngga enak hoho.. Break di rest area aja dua kali, seharian full didalem bis lagi, ini pantat udah makin kempes aja abisnya duduk mulu. Tapi alhamdulillah nya dengan istirahat sebentar keluar dari bis untuk menghirup udara segar malam hari mampu melancarkan pernafasanku yang sempat terpenggal-penggal, dan akupun melakukan rutinitas kewajibanku untuk merendah dihadapanNya meski dalam kondisi apapun, yang penting selalu ada niat pasti ada jalannya.
            Untuk menghilangkan rasa jenuh didalam bis, akupun berpindah tempat duduk disebelah amang supir dan kenektur, pemandangan malam itu sangat menakjubkan dengan puluhan kendaraan yang terhenti lumayan lama dijalan yang lumayan sempit, dengan kata lain macet parah, ditambah pengguna mobil beroda >8 yang tidak tau aturan menambah kemacetan panjang. Beberapa polisi lalu lintas yang memakai rompi berwarna hijau stabilopun sampai kewalahan mengatur jalan. Aku hanya menarik nafas panjang dan merekam beberapa video tak beraturan malam itu.
            Malam semakin larut, sebentar lagi akan menjemput pagi. Dimana badan mulai pegal-pegal dan leher terasa terkakukan, ingin sekali berbaring terlentang untuk melancarkan peredaran darah yang sudah semraut dan meluruskan tulang belakang yang seakan bergeser dari tempatnya.
            Tiba di Purwokerto ±pukul 06.00 pagi, kitapun beristirahat sejenak untuk membasuh wajah yang terlihat kusam oleh minyak tubuh alami ataupun hanya sekedar buang air kecil. “Teh, itu si Aa alisnya kenapa? Kek berdarah?” tanya Teh Riri. “Masa sih? Ngga tau aku” jawabku terperangah. “Coba diliat dulu aja Teh, takutnya luka kenapa gitu” suruhnya. Akupun mendekati A Ohm dan mulai memperhatikannya seraya melontarkan beberapa pertanyaan peduli. “Waktu tadi tidur di bis kan kepalanya senderan dikaca jendela tuh, eh tau-taunya pas bangun malah jadi berdarah, palingan ke gesrek-gesrek kali, udah ngga apa-apalah” jelasnya.
            Melanjutkan perjalanan menuju Wonosobo dengan menumpangi bis mini kira-kira pukul 07.00 pagi mungkin, aku lupa entah pukul berapa bis mulai melaju setelah sebelumnya bernegosiasi seputar ongkos terlebih dahulu. Menikmati pagi dengan obrolan hangat bersama teman baruku yang bernama Dewi, ditambah segelas kopi pemberian A Ohm serasa pagi cerah itu menjadi lebih baik.
            Entah pukul 9pagi atau setengah 10an kita tiba di terminal Wonosobo, lagi-lagi kita beristirahat dengan mengambil beberapa picture kekonyolan, kitapun mulai berkenalan satu sama lain atau hanya sekedar sarapan pagi, berbeda dengan Aldi, sesampai diterminal ia langsung menuju kamar mandi untuk mengguyur seluruh tubuhnya karena seharian tidak mandi, mungkin ia sudah merasakan kelengketan ditubuhnya? “Lagi ngehubungin siapa A?” tanyaku penasaran “Ini temen Aa yang tinggal di Wonosobo mau jemput kita, ntar kita kan diem dulu dirumah dia” jelasnya. Aku hanya mengangguk saja tanda mengerti.
            Tak lama dari itu teman A Ohm yang ditunggu sedari tadi pun akhirnya datang, bersalaman dan berkenalan “Iwan” ucapnya. Setelahnya aku hanya menyimak pembicaraan A Ohm dengan Mas Iwan. Butuh 2 buah mobil untuk mengantarkan kita ke rumah Mas Iwan itu. Kira-kira pukul setengah 12 lewat kita sampai dirumah persinggahannya yang sederhana, disuguhi kopi Lampung dan beberapa minuman lainnya seperti teh khas Wonosobo yang begitu melekat dilidah.
            Masih ingat beberapa minggu yang lalu aku pernah diajak oleh seorang teman pendaki senior ke sebuah tempat tongkrongan didaerah Jakarta yang bernama Kedai Pendaki (aku lupa alamat jelasnya dimana, bisa di search deuh di internet kalau misalkan kalian ingin berkunjung ke tempat tersebut hihihi) design tempat dan nama-nama menu yang ditawarkan disana benar-benar unik dan khas pendaki banget, salah satunya kopi, berbagai kopi diseluruh Indonesia ada ditempat itu, dan saat itu aku lebih tertarik dengan menu minuman yang bernama Kopi Krakatau, iyaps maksudnya adalah kopi dari daerah Lampung. Dan di Wonosobo inilah aku disuguhi kopi Lampung? Oalah.. Aku sudah pernah merasakan pahitnya kopi ini hohoho..
            “Neng, bikinin kopi dong” suruh A Ohm disela waktu perbincangannya bersama Mas Iwan. Akupun menyeduhkan segelas kopi yang ia bagi bersama A Tulang. Adzan dzuhur pun berkumandang, suara-suara panggilan dipenjuru dunia mulai menyeru dan memanggil kalbu pada jumat yang penuh ilmu.
            Setelah melaksanakan ibadah shalat ashar, kira-kira pukul 5sore kitapun langsung berangkat menuju gerbang pendakian Gunung Prau via Patak Banteng dengan menggunakan mobil sewaan sejumlah 2buah mobil. ±8malam kita sampai di gerbang pendakian dan langsung melaksanakan shalat isya terlebih dahulu dan mengqadha maghrib di mushala terdekat, setelahnya kita melanjutkan pendakian dengan hati yang cukup tenang, mataku yang tidak kuat menahan kantuk karena sempat tertidur pulas dimobil dengan waktu tanpa sadar yang ternyata cukup lumayan lama membuatku masih ingin bersandar dan memejamkan mata lagi, padahal udah dibasuhi dengan air pegunungan yang dinginnya ngga ketulungan, tetep aja pengennya meler.
            Sempat bertanya dan sedikit bercerita pada tuan rumah, iyah Mas Iwan tentang tips agar tidak mengantuk saat pendakian dimalam hari. “Nde sih harus diajak ngobrol A” jawabku “Kalau aku sih harus ada ini” tuturnya sambil menyodorkan beberapa permen karet padaku. “Ohh.. Ngga A makasih” ucapku. “Permen karet itu kan dikunyah, jadi iya ngga bakal ngantuk” ujar Mas Iwan. Aku hanya mengangguk saja tanda mengerti tapi tetap tidak melakukannya.
            Bukannya aku egois ataupun tak peduli, ini hanya sebuah cara dimana agar aku masih bisa bertahan untuk tetap berdiri dan melangkah dalam sebuah perjalanan fana. Bukannya aku membiarkan ataupun tak membantu, ini hanya sebuah pelajaran bagaimana mengkokohkan kemandirian tanpa adanya kata mengeluh. Dan bukannya aku terlalu memilah ataupun memilih, namun ini adalah perjuangan dimana sebuah kebersamaan yang abadi terdapat orang-orang yang memiliki niat bulat dan melakukan dengan selayaknya, bukan semata dalam ucapan saja.
            Perjalanan menuju puncak Prau pada pukul ±20.30 malam itu begitu sangat ramai dan padat. Laki-laki bermata tajam dengan 2perempuan yang ia bawa berjalan lebih depan daripada kita, aku dan A Tulang pun menyusulnya dari belakang, sementara yang lainnya masih tertinggal jauh dibelakang sana. “Kamu siapanya si Ohm?” tanya A Tulang ketika kita tidak sengaja berjalan beriringan dan tertinggal langkah oleh laki-laki yang membawa 2perempuan yang belum aku ketahui namanya. “Cuma temen, emangnya kenapa A?” jawabku seadanya. “Kirain tunangannya” katanya dengan nada penuh tanya “Hah? Ngga. Gila aja. Ngawur Aa mah” kagetku “Lagian Nde sama A Ohm juga baru kenal” tambahku “Emangnya kenal dimana?” tanyanya lagi. Disepanjang perjalanan kita saling bertukar cerita tanpa jeda hingga akhirnya kitapun bertemu kembali dengan laki-laki yang memiliki mata tajam. “Istirahat dulu sini, sambil nunggu yang lainnya” tawar si laki-laki bermata tajam itu. Aku dan A Tulang pun mengiyakan tawarannya, duduk dibangku warung yang masih tersedia dibawah kaki gunung Prau.
            Suara langkah kaki Aldi yang terburu-buru seperti habis berlari mengagetkan kita yang sedang bersantai duduk manis sambil menunggu teman yang lainnya. “Teh Riri kakinya kekilir tuh tadi, tapi udah aku pijitin sih” ucapnya “Eh seriusan?” tanyaku kaget “Terus Teh Riri dimana sekarang? Kenapa ditinggalin?” tambahku “Udah sama Aldi yang satu lagi” jawabnya sambil minum sebotol air mineral. Dan sekarang aku tau, laki-laki dengan kaos abu dan daypack dipunggunya itu yang ditugasi A Ohm untuk mengurusi tiket ternyata bernama Aldi. Intinya Aldi nya ada 2 nih? Hihi.. Tak lama kemudian Teh Riri dan A Aldi pun mampu menyusul kita, sedangkan yang lainnya masih berada jauh entah dimana. Mereka berduapun beristirahat sejenak dengan ditawari beberapa makanan dan minuman disela waktu obrolan yang sedikit mengkhawatirkan. “Lanjut yuk?” Ajak laki-laki bermata tajam itu. “Ayok!” balasku dengan semangat.
            Lagi-lagi kita berpencar dan terpisahkan, tak ada langkah yang sama, ataupun hanya sekedar berjalan beriringan. Menikmati beberapa menit indahnya sebuah kegelapan dengan taburan bintang hiasi sang malam, dan hembusan angin yang membunuh raga dengan halusnya. Sadarkah ini adalah sepasang bola mata yang mampu melihat, berjalan kedepan dan menunduk kebawah dengan sedikit ocehan jiwa yang terbengkalai tanpa adanya super cahaya terangi langkah. Hanya desahan nafas yang diatur sedemikian rapihnya dengan pompaan detak jantung yang semakin menurun kala itu ku dengar, meski suara-suara teriakan ataupun desis bisikan manusia jauh lebih keras daripadanya, namun saat itu aku hanya merasakan diriku sendiri yang teretakkan oleh sebagian keindahan yang terleburkan. Namun aku sadari, bahwa kelemahan bisa musnah apabila ada kekuatan dari jiwa lain yang rela berada disampingnya, hingga aku membiarkannya agar tetap tersenyum tanpa merasakan sedikitpun pengabaian, dan aku tak peduli pada diriku sendiri?
            Pandangan yang dipaksa untuk selalu fokus, dan pikiran melayang-layang entah kemana, berjalanpun seperti adanya gempa, menganggap seolah-olah tak ada air saat itu, ku muntahkan segala kerisauan dalam balutan beberapa butir coklat dan hentakan musik keras yang terdengar ditelingaku, malam itu.
            “Bantuin Bahiyah yah, tolong pegangin dia pas mau ngelangkah” suruh A Ohm padaku. Dan akupun menurutiya meski terkadang Teh Bahiyah menolak juluran telapak tanganku. Semakin si jarum jam larut dalam putarannya, semilir angin pembunuh raga dimalam hari itu menghentikan langkah kita. Sebuah genggaman erat dengan hati yang terpaut dalam tatapan yang terpaku dibeberapa menitnya waktu membuat kita terpesona dalam buaian pemandangan puncak Prau yang dipenuhi oleh ratusan tenda yang menyala-nyala dalam pekatnya malam.
            Memasang 5tenda dengan hembusan angin malam yang menusuk. Melipatkan kedua tangan didada dengan kaki yang sedikit bergetar, memandang jauh tak berkedip dan bercakap tanpa hentinya hanya untuk tidak menampakan sebuah kelemahan yang menyerang kala itu, semua sudut telah dipertanyakan hingga akhirnya jeda itupun terpecahkan juga. “Nde tidur ditenda itu aja” ujar A Ohm sambil menunjukan tenda yang dipilihnya. “Akupun mempersilahkan teman-teman untuk lebih awal memasuki tenda, dan setelah aku sadari bahwa tenda ini berkapasitas untuk 3orang, iya mana masuk kalau untuk 4orang? Bisa saja muat, namun akan berdesakkan dengan posisi tidur tidak nyaman.
            “Kayaknya minum yang anget-anget mantap yah?” kata Teh Riri “Teteh mau dibikinin apa? Kopi apa mau teh manis?” tawarku “Pengennya sih air putih anget aja” jawabnya “Yaudah tunggu dulu yah teh, nanti Nde bawain” ucapku “Eh ada yang mau nitip juga?” tanyaku “Boleh deh pengen buat kopi” jawab Teh Bahiyah “Ok, teteh yang satu lagi mau dibikin apa?” tanyaku pada salah seorang perempuan yang sudah merebahkan tubuhnya ditenda “Ngga usah makasih” lirihnya “Kenapa? Dingin yah? Bawa sarung tangannya ngga?” tanyaku peduli “Ada, cuma basah jadi ngga dipake” keluhnya “Yaudah pake punya Nde aja” akupun menyodorkan sepasang sarung tangan padanya, dan diapun langsung memakainya. “Tunggu sebentar yah, Nde bikinin dulu air panasnya” tuturku. Membuka resleting tenda dan mendekati teman-temanku yang sedang melingkari api kompor sambil menunggu rebusan air mendidih ditenda sebelah.
            Layar kegelapan menutup kedua bola mata hingga tersungkur kedasar jurang penuh duri keresahan, siapa sangka satu genggaman pada batang pohon mampu tumbang dan tubuh tak tertolongkan? Kehangatan saat terjun bebas tak terkontrol itu melupakan segala yang berada dibenak. Mengusik sesuatu yang sebelumnya hanya mampu diam, seperti mati, namun kini hidup dan berdiri. Liur yang terdengar renyah membuat kelaparan, setengah sadar menggubris sebuah pinta padahal inginkan puncak yang sama. Menikmati waktu dengan sepuasnya tanpa memperdulikan manusia lainnya, seakan mereka termusnahkan. Terhipnotis dalam satu dekade yang menyeramkan seperti lolongan serigala menyambut purnama. Maafkan aku, ku akui ini semua berawal dariku, andai saja aku tidak berada disana, mungkin sungai merah tak akan mengalir sederas ini dan menimpanya.
            “Morning” ucap A Ohm dipagi buta itu, ketika jiwa masih menari-nari dialam mimpi, sepasang mata yang masih terpejam dengan kotoran mata yang masih melekat ditempatnya dan tubuh yang masih terkulai lemas terselimuti hembusan nafas yang sedikit bergebu-gebu ia berucap seolah menyambut keindahan Prau diluar tenda dengan lengkung senyumnya. “Kebluk geningan tidurna mah?” satir A Ohm. Aku hanya mendengar tapi tak mendengar, seolah mengabaikan padahal sadar setan sedang memelukku mesra hingga malas rasanya untuk bangkit dari tidur sementara itu. Menengok jam dipergelangan tanganku dengan pandangan mata yang masih samar-samar penuh, ternyata masih jam stengah 6 pagi, tapi suara-suara teriakan bahkan jeritan hingga lolongan dipagi yang indah itu menghantam jiwaku yang beberapa detik tertidur lagi “Astagfirullah, belum shalat subuh!” tangis keras batinku. Secepat kilat sebuah langkah dengan pikiran yang masih dikelilingi burung-burung kecil akupun terbangun dan pindah ke tenda lainnya untuk melaksanakan subuh yang terakhirkan dengan tayamum seadanya namun terdapat niat kuat dalam hati. Serahkan segala kekurangan padaNya.
            Sunrise yang menakjubkan, meski tidak mendapatkan goldennya. Aku merasakan sebuah kehangatan yang terpancar dalam satu senyuman pagi. Berfoto ria dalam balutan keindahan si langit orange, semua seakan berlari terkencing-kencing mencari background sebuah foto yang cantik untuk dikenang dikemudian hari.
            Terpuaskan oleh pemandangan yang Tuhan berikan pada kami, kitapun kembali ke tenda dan mulai masak-memasak untuk makan pagi. Semua bahan makanan sudah terkumpul, beberapa kompor berjejeran dengan lugunya. Teman-teman perempuanku pun mulai memasak dengan hebatnya, namun ada sebagian temanku yang hanya berdiam ditenda untuk melanjutkan tidurnya, aku hanya membantu masak sebentar, bukan aku tak ada keahlian, mood jiwa perempuanku sedang dimalaskan karena 1 sarkasme yang mengoyak relung, aku hanya mendiamkan dan beranjak kearah lain daripada akan ada hal lain yang termuntahkan. “Ngga bantuin masak teh?” tanya Teh Riri yang melihatku mendekatinya dan tiduran disampingnya didalam sebuah tenda yang setengah terbuka “Udah banyak yang bantuin ko teh” jawabku malas dengan membungkam sebuah kalimat yang menyanyat.
            “Mau ikut ngga?” ajak Mas Iwan “Kita nyari view yang bagus” tambahnya. Aku yang sedang tiduran ditendapun langsung terbangun “Pengen ikut!” jawabku serentak “Mau ikut ngga teh?” ajakku pada Teh Riri “Ngga ah sok aja, mau nemenin Teh Dewi aja ditenda, soalnya dia agak sedikit meriang gitu, kasian ngga ada yang nemenin” jelasnya.
            Kita berempat pun mulai meninggalkan tempat perkemahan, mencari pemandangan yang lebih indah ditempat yang paling tinggi. Pernahkah kalian menonton film kartun yang bernama Teletubies? Tidak jauh seperti itulah keindahan puncak Prau ini. Subhanallah, kita bisa berlari dengan senang hati ditempat ini dengan rumput hijau yang sangat luas, cantik bukan main. “Eh nemu tongsis?” ucap A Tulang sambil mengambilnya dibalik semak-semak. “Kameranya dipakein tongsis aja” sarannya. “Lumayan nih masih bagus tongsisnya, cuma tinggal pake superglue doang” tambahnya. Kita berempatpun tertawa terbahak-bahak melihat tingkah A Tulang yang seakan tanpa dosa itu hihihi.. Tak lama dari itu ia juga menemukan sebuah topi sarjana berwarna hitam dengan tali topi berwarna merah. Edaaaaaaaaassssss.. Siapa orang nih yang bawa barang kek ginian ke puncak gunung? Keknya abis foto-foto pake toga deh? Ampe ketinggalan segala topinya? Padahal masih bagus loh? Sayang kalau dibuang percuma kek gini. Ada-ada aja nih para pendaki. Laki-laki yang sering dipanggil Peang itu dengan bahagianya berfoto menggunakan topi sarjana hasil penemuan A Tulang. Hahaha konyol sekali punya teman-teman seperti ini. Kembali ketempat perkemahan, dan makananpun sudah siap. Kitapun menyantap makanan yang sudah disediakan dengan beralaskan trashbag.
            ±Pukul 10pagi kita mulai packing dengan beberapa taburan kekonyolan yang teman-teman ciptakan dalam sebuah file video kocak. Ketika kabut mulai menyerang area disekitar tempat itu kitapun bergegas meninggalkan puncak Prau, hanya baru beberapa langkah saja hujanpun mengguyur dengan derasnya sampai kitapun harus ikut berdiam dulu ditenda orang lain, dikarenakan tidak muat akhirnya Bang Jali begitulah ia sering dipanggil mengeluarkan pleasit untuk dijadikan tempat berteduh, setelah hujan agak reda kitapun melanjutkan perjalanan yang masih panjang.
            Akhirnya kita sampai di gapura pendakian gunung Prau via Dieng, gerbang yang cukup sederhana namun terkesan megah. Banyak juga para pendaki melewati jalur ini, namun kita memilih via Dieng ini sebagai sebuah pengakhiran. Beristirahat dan bersantai sejenak ditempat ini sambil menyeduh mie instan dan beberapa gelas kopi panas hingga hujan deraspun jatuh bertubi-tubi kedasar bumi, kami meneduh terpayungi tenda biru.
            Beberapa gambar terpotret sebelum kita meninggalkan kaki gunung Prau, dengan hati yang sebenarnya belum rela meninggalkan keindahan Prau yang sangat menakjubkan. Kulangkahkan kaki pergi menjauh dari gapuranya, bisik hati cemburu terekam jelas didalam putaran otak yang tak pernah berhenti bekerja, iyah aku mencemburui cantiknya si alam dan kesejukannya di kaki gunung Prau.
            Sore hari entah pukul berapa kita baru sampai dirumahnya Mas Iwan, lagi-lagi rumahnya adalah sebuah peristirahat dimana kita selalu disuguhi dengan sangat baik oleh tuan rumah. Hujan deras yang membasahi sekujur tubuhku seakan terselimuti hawa dingin yang menusuk tajam, mendekati dan menatap tungku perapian dengan tubuh yang menggigil hebat memaksaku mematung didepannya, api yang menyala-nyala dengan asap yang mengepul perlahan menghangatkan sebagian tubuhku. Sambil menunggu kamar mandi yang saling berganti akupun diajari bahasa Jawa yang sangat santun oleh Ibunya Mas Iwan, sering kali adiknya Mas Iwan yang bernama Tesa dan seorang laki-laki yang mengakunya teman Tesapun mengajariku bahasa Jawa lembut dengan ragunya.
            Sepertinya ada rasa kasihan yang terpancar dari sorot mata seorang ibu ketika melihatku menekuk memeluk kedua kaki, ibu Mas Iwan menawariku air panas untuk mandi, dan aku mengiyakan tawarannya, memang sangat kuat hawa dingin yang menyerang tubuhku kala itu hingga api diperapianpun cepat padam. Aku begitu sangat dispesialkan pada waktu itu. Terimakasih banyak bu, kepedulianmu takan pernah kulupakan sampai kapanpun, karena sudah lama aku merindukan dan tak pernah merasakan lagi kepedulian seperti itu dari seorang ibu. Sabar dan Skip keras!
            “Jadinya kita akan pulang kapan?” tanya seorang perempuan yang sudah mulai resah dengan keadaan. Dari mulai situlah perbedaan pendapat mulai membeludak sekeras-kerasnya, dimana ada beberapa pihak yang mengutamakan ego dan ada pula yang menahan amarah dengan hanya berdiam diri dan pasrah akan segalanya, semua sudah terucap kata terserah. Hingga akhirnya kitapun menginap lagi semalam di rumah Mas Iwan dengan campuran perasaan gelisah dan resah.
            “Aa ngga bakal pulang bareng kalian, mau nemenin dulu Aldi Baper nanjak ke Slamet, ngga enak sama dia kalo Aa ngga nemenin, padahal sebenarnya Aa pengen pulang bareng-bareng” jelas seorang laki-laki dengan mata sayup tampak kelelahan di malam itu “Aa udah titip kamu ke Aldi sama Peang, kamu bisa pulang bareng mereka, kalau waktunya ngga memungkinkan kamu bisa nginep dulu disalah satu dari mereka” tambahnya. Aku hanya memaku mendengar perkataannya, siapa aku yang harus melarang-larang? Biarkanlah ia berlari selama waktu masih berpihak padanya, namun apakah ia melihat tatapanku yang memelas? Ataukah ia tak pernah sadar karena jiwa ini selalu bersembunyi dibalik batu karang yang cukup keras? Bagaimana bisa ini terjadi ketika semuanya telah terpaut dalam satu dimensi yang melilit sampai ujung akarnya? Pahamilah analogi yang rumit ini. Dan aku hanya mengangguk tanda mengerti.
            “Ke angkringan yuk?” ajak Mas Iwan “Wahh boleh tuh, daripada mumet” jawabku. Aku dan beberapa teman yang lainnya mengikuti Mas Iwan ke angkringan yang terdekat dari rumahnya. Menikmati susu jahe dimalam hari dengan ditemani api unggun yang menyala indah dipinggir angkringan, iyah susu jahe khas Wonosobo berbeda dengan susu jahe yang berada di Jawa Barat, dimulai dari racikannya hingga cara pengolahannya hingga terciptalah rasa baru yang belum pernah lidahku merasakannya. Ngobrol kesana-kesini sambil bercanda gurau serasa malam sepi itu menjadi ramai seketika dengan celotehan yang terfrontalkan.
            Malam semakin larut, kitapun bergegas meninggalkan tempat angkringan tersebut, kembali kerumah dan melihat teman-teman yang sudah terlelap, ada juga yang mungkin sudah singgah disuatu tempat indah hingga suara-suara bising terdengar sangat menggelegar, sepertinya mereka sangat kelelahan. Dan aku masih saja belum bisa tidur, tak ada rasa kantuk yang menyerang, rasa lelahpun seperti berlarian menjauh dariku. Memainkan sebuah permainan kartu klasik untuk mengobati rasa bosan bersama orang-orang yang masih terbangun ditengahnya malam. Beberapa pasang mata mulai terlihat menunduk dan pergi meninggalkan area permainan, tertidur pulas dengan balutan selimut hangat.
            A Tulang yang masih sibuk dengan handphone nya terlihat asyik seakan enggan diganggu “Kenapa Nde?” tanya A Juhri, seorang laki-laki yang memiliki mata tajam dengan rambut gondrongnya yang terkuncir dan kadang terurai itu. “Lapar A” jawabku murung “Yaudah kita bikin bubur yuk?” ajaknya. A Juhri langsung mengambil gas kompor mini dan nesting yang berada didalam carrielnya disertai sebotol kacang hijau mentah. Kitapun memasak bubur kacang hijau ditengah ruangan rumah yang diapit oleh beberapa manusia yang sedang tertidur pulas. Enak ngga enak sih bubur kacangnya setelah mateng, wajar racikannya aja seadanya cuma kacang hijau air sama gula merah, udah itu doang? wkwkwk tapi kalau lagi laper banget yah enak aja gitu hihihi..
            Akhirnya aku bisa tertidur juga setelah kenyang makan bubur kacang hijau hehe.. Melihat ke tempat tidur khusus perempuan yang dialasi kasur empuk, aku merasa tidak menemukan celah untuk berbaring, dan aku memutuskan untuk tidur diruang tengah rumah yang terbuka, menyatu dengan barang-barang habis masak barusan dan tidur bersamaan dengan teman laki-laki, tentunya tidak berdekatan yah.. Huss jangan mikir yang aneh-aneh!
            Ketika aku terbangun dari tidur pendekku, tanpa aku sadari bukan hanya bantal yang memopang kepalaku ternyata tubuhkupun sudah terbalut oleh selimut hangat, siapa yang menyelimuti ketika aku tertidur? Tanda tanya besarpun berkeliaran dikepalaku, aku hanya ingin berterimakasih banyak atas kepeduliannya padaku.
            Menyambut pagi dengan tubuh kedinginan, untung saja tuan rumah menjamu dengan baik, pagi-pagi sudah disuguhi gorengan, teh dan biskuit serasa dimanja banget, padahal dirumah sendiri ngga pernah nikmatin yang kek beginian? Hoho..
            ±Pukul 7pagi kitapun pamit pulang pada tuan rumah, dan banyak-banyak berterimakasih karena telah dijamu dengan sebaik-baiknya. Diantarkan oleh mobil sewaan lagi, kita sampai diterminal Wonosobo, dan lagi-lagi kita tidak mendapatkan tiket bis, akhirnya perdebatan pendapatpun terjadi lagi, hingga Teh Oppy semakin resah dibuatnya, ditambah ia sangat khawatir dengan adanya kabar bahwa salah satu keluarganya ada yang sedang sakit, aku sangat prihatin sekali, ia sangat terpukul dan sangat ingin cepat pulang.
            A Ohm, A Tulang dan Aldi Baper pergi untuk melanjutkan perjalanan nanjaknya ke Gunung Slamet. Mereka meninggalkan kita dalam keadaan belum mendapatkan tiket, karena mereka telah dikontak oleh salah satu teman barunya yang akan nanjak bareng juga ke Slamet, jadi mau tidak mau mereka harus beranjak pergi pada saat itu juga. “Hati-hati dijalan A, kabari kalo udah nyampe” bisikku.
            “Gimana nih kita belum dapet tiket juga? Palingan ada ntar sore, itu juga kalo dapet. Kalo ngga dapet iya nanti malem dan bisa jadi pula besok pagi” ucap A Aldi yang ditugasi mengurusi tiket. Ia ditemani beberapa teman yang lainnya mengusahakan untuk mendapatkan tiket secepatnya dengan harga miring. Namun lagi-lagi harga tiket yang sedikit menguras dompet dengan terpaksa harus dikeluarkan daripada kita semua terlantar terlalu lama diterminal dan kesiangan masuk kerja esok hari, apa boleh buat?
            Jarum jam menunujukan pukul 10pagi, akupun pergi ke mushala untuk menenangkan hati dengan shalat sunah duha, seperti biasa didalam sujud dan doaku tak pernah terlewati untuk selalu bercerita padaNya tentang apa yang aku rasakan kala itu “Rabb.. Maafkan khilafku. Maafkan segala dosa orang tuaku. Limpahkan rizki dan karunaiMu kepadaku. Sehatkan, selamatkan dan lancarkanlah segala urusanku. Maafkan hambaMu. Kabulkanlah apa yang aku inginkan dan apa yang aku butuhkan. Aku yakin Engkau pasti mengabulkannya. Dan aku yakin Engkau pasti memberi yang terbaik untukku. (Ya Rabb, beri dia kekuatan untuk selalu bersyukur padaMu) Aaamiiinnn..”
            Akupun terbangun dalam tidur beralaskan sejadah diwaktu adzan dzuhur telah tiba, dengan sigap aku langsung mengambil air wudhu dan menunaikan si empat rokaat itu. Setelah selesai, aku membeli beberapa makanan khas Wonosobo dan Dieng yaitu manisan carica dan keripik combro. Apapun olahan combro aku suka, karena combro adalah makanan kesukaanku wkwkwk jadi curhat gini? Hehe.. Ah skip!
            Bis mulai melaju ±pukul 13.00, selama perjalanan ada saja hal konyol yang membuat perut menggelitik, dimulai dari berfoto ria, merekam sebuah video, bermain tebak-tebakan, tidur dilantai bis, berjalan mondar-mandir dibis dari belakang kedepan atau depan kebelakang. A Juhri atau yang sering dipanggil dengan sebuatan Azur ini merokok ditoilet bis, hingga asap rokoknya keluar melalui ventilasi toilet dan semerbak rokok menyannya mengelabui semua penumpang didalamnya. “Aduh ini rokok setan!” keluh seorang penumpang. Sampai-sampai ada kejadian dimana kursi yang diduduki Teh Anisah rusak hahaha sumpah semua kejadian ini itu super konyol banget, Azur pun dengan rela menukar kursinya pada Teh Anisah “Tadi dikasih rokok menyan sama Mas Iwan sebelum berangkat pulang, sayangkan kalo ngga diiseup” kata Azur.
            ±Pukul 1pagi kita sampai di Jakarta, kita turun di Pasar Rebo. Aku diantarkan A Aldi sampai aku terlihat naik bis. Dan sebelumnya aku pamit terlebih dahulu pada teman-temanku, dan berharap semoga kita bisa nanjak bareng lagi di episode berikutnya atau kalau tidak kita bisa bertemu di lain waktu. Aaamiiinnn..
            “Kamu udah nyampe mana?” pesan singkat yang ku baca dihandphoneku “Baru nyampe Pasar Rebo nih” balasku “Deket dong sama tempat aku? Istirahat disini aja dulu, besok aku anterin kamu pulang ke Bogor. Ini udah larut malem banget, takut ada apa-apa dijalan kamu. Apa perlu aku jemput kesana?” jawabnya panjang lebar “Ngga usah makasih, aku udah biasa sendiri, lagian nanggung aku udah di bis” balasku dengan mengetik cepat lalu memejamkan mata.
            Menghela nafas panjang, dan bersyukur mengucap asmaNya, alhamdulillah akhirnya kelar juga nih menceritakan kisah kasih perjalananku di Gunung Prau dalam sebuah teks, meski jari jemari sampai pegal-pegal terlalu sering beradu dengan keyboard, mata mulai memerah kelebihan natep monitor dan kurang istirahat tidur, telinga yang seakan mindeng karena mendengarkan musik beralbum-album tuk temani setiap imajinasi kata, kaki yang sering kali kesemutan dan otak mulai merasakan gejala pusing terus-terusan dipaksa mencari kata demi kata untuk dijadikan sebuah kalimat. Ini semua karena dikejar kamu dan waktu!! HAHAHA.. Aku langsung menyimpan file dokumennya dan menutup notebookku dan mulai merebahkan tubuh.

TAMAT

Mau tau hasil video nya?

Mau tau keseruan video nya?

Mau tau hasil jeprat-jepretnya?
Please, click here to see pictures

Terimakasih sudah membaca dan melihat foto-foto absurd saya hehe..

Karya Puisiku 219



Terekam didalam ingatan
Ketika burung terbang menghampiri sarangnya
Mengepakkan sayapnya dengan perlahan
Hingga sampai pada tujuannya

Tidak pernah diam
Burung itu terus terbang mencari makanan
Hingga menemukan apa yang ia temukan
Dengan desah nafas tak beraturan lagi
Seperti kelelahan namun tetap mengepak

Bulir air keringat
Dan lumuran air liur
Melekat pada kulit dan bulunya
Tercium bau yang khas
Mungkin burung itu telah mematuk abu rokok sebelumnya

Setan apa yang merasuki burung itu?
Semua terkesan seakan terpaksa namun menikmati
Menggeliat tak tentu arah
Mencari kerenyahan dalam makanan yang berbeda

Satu gigitan tidak mengenyangkan
Namun kehangatan dalam pelukan sarangnya
Membuat burung itu meronta kegirangan
Iyah, analogi yang tidak terlalu sukar bukan?