“Kapan mau posting cerita perjalanan
Prau ke blog? Aku menunggu ceritamu!” pesan singkat yang ku terima di pekatnya
malam beberapa hari kemudian setelah kepulangan dari bercengkrama dengan pesona
alam bagian tengah Indonesia itu. Seakan waktu 24 jam dalam 1 hari itu tidak
cukup, bagaimana bisa aku membagi waktu dalam deretan aktivitas yang begitu
padat? Terkadang aku ingin berlari kebelakang dan mengabaikannya tetapi enggan
dijuluki seorang pengecut, berlari kedepan dengan memberantas semua yang
membuat kehilangan tujuan namun terbayarkan dengan pecahan otak yang
meletup-letup. Manakah yang seharusnya aku pilih?
Bayangan-bayangan yang memikul hidup
dan menegangkan nadi, berharap teriakan itu termuntahkan dengan bebas, namun kali
ini aku tak bisa seperti dulu kala. Hanya mampu berdiam diri dan bergerutu
pelan, mencoba paksa melupakan setiap kejadian yang seharusnya tidak melekat
pada isi kepala dengan beberapa gelas air kedamaian.
Ambil positif thingking! Seseorang
dari jauh sana sedang memecut perempuan yang bernama Nde untuk memutar otak,
bukan untuk membiarkannya menghabiskan waktu dengan fake world ataupun games
world meski hanya untuk membuang kepenatan? Padahal, membuat sebuah cerita itu
tidak segampang ketika membacanya saja. Butuh beberapa amunisi dan asupan
imajinasi dalam sentuhan mood yang halus. Ah sudahlah.. Akhirnya aku mengambil
dan menghidupkan notebookku bersama milyaran kalimat yang bertabrakan
dilangit-langit anganku, dan jemariku mulai menggeliat tanpa hentinya...
“Baru planning sih buat kesana,
lagian masih bingung pilih juga antara Gn. Prau atau Gn. Slamet” tutur A Ohm
pada pertengahan bulan April lalu. Warna abu-abu bagaikan kabut itu telah
melilit jiwa yang haus akan indahnya kemekaran bunga edelweis dan ratusan
kuncupnya yang masih malu-malu memberikan sedikit lengkung senyum pada dunia.
Entah apa yang terjadi pada manusia yang kini merubah semerbaknya menjadi aroma
penuh senyuman dengan setetes bulir air kehangatan yang seakan menambah noda basah
diselembaran kertas putihnya. Lukisan pelangi abstrak hiasi langit-langit api
yang berkobar, tak bisa diduga warna apa yang dirasakan pada saat itu, semuanya
hanya berjalan dan mengikuti keindahan tawa, meski sering kali bayangan maya itu
bagaikan akan terwujudkan esok yang akan datang. Ahh.. Kadang aku hanya
menganggap semua ini buaian tuk melepaskan sebuah penat, tapi terkadang pula
khayalan itu seperti akan tercipta dikemudian hari. Tak pernah terpikirkan akan
melangkah sejauh ini, ketika nyali sudah terbangun apapun akan terjadi meski
harus menggali tanah sedalam-dalamnya.
“Jadiin yuk A ke Prau” balasku lewat
chatting whatsapp pada A Ohm. “Dari tanggal 5-8 Mei aja, kebetulan Nde lagi
libur nih” tambahku. “Beneran nih lagi ada waktu kosong?” tanyanya yakin tak
yakin. “Iyah A, emangnya udah ada berapa orang?” tanyaku “Palingan 3 orang, Aa
Neng sama temen Aa yang tinggal di Wonosobo, iyah tuan rumahnya gitu” jawabnya
seadanya “Yaelah kalau cuma bertiga mah ngga seru atuh A, mendingan banyakan?
Kan Aa bisa ngajak temen-temennya Aa?” seruku “Padahal mah berdua aja jadi Neng,
kalau banyakan mah ribet ngurusin ini itunya, suka jadi pusing ke Aanya” keluh
A Ohm.
Sejak kapan yang namanya Nde
mau-maunya dipanggil Neng? Bukannya dia paling anti dipanggil seperti itu?
Seakan bumi menusuk tubuhnya apabila terpanggil dengan sebutan itu? Dan seakan
bayangan kelam dimasa lalu bangkit kembali menghampiri dalam nuansa yang
berbeda? Namun entah kenapa kali ini begitu lain, tidak ada rasa sakit yang
menikam, hanya seperti tergores dan tak berdarah. Biarkan, apalah arti sebuah
nama panggilan, terserah orang lain akan memanggilku dengan sebutan apa yang
terpenting mereka bahagia dengan memanggilku dengan kata itu. Malahan sebagian
orang memanggil dengan sebutan yang tak terkontrol, dan aku hanya menikmati
alurnya saja.
“Yaudah ntar Aa ngajakin temen-temen
dulu deh” katanya. Hari demi hari terlewati, waktu yang dipilih beberapa hari
yang lalu semakin dekat. “Jadi yah kita ke Prau?” kata A Ohm “Ehh serius jadi? Kirain
cuma ngomong doang?” ucapku tak yakin. “Ihh jadi tau, Aa udah ngajakin
temen-temen” jawabnya sedikit memaksa. “Hahaha oke deuh, berangkat jam berapa
emangnya?” tanyaku “Pukul 06.00 pagi udah kumpul di Rambutan. Aa juga dari
Cipanas berangkat jam 3 pagi, palingan nyampe bogor jam 4an, kalau mau bareng
ayok aja” tawarnya.
05 Mei 2016, pukul 03.00 dini hari
aku sudah terbangun, meminta restu didalam sujud malamku sebelum pemberangkatan.
“Neng dimana?” pesan singkat yang ku terima dari A Ohm “Masih di angkot deuh
bentaran lagi nyampe Ciawi ko” balasku “Ini mobil bis nya udah mau berangkat
lagi, barusan ngetem di Ciawi Neng belum nongol juga?” jawabnya “Yaaaaahhh.. Telat
dong? Yaudah gapapa A ntar Nde ke Rambutannya sendiri aja deuh” balasku pasrah.
Ada seorang anak hawa yang beruntung
dan selalu bersyukur karena telah dititipkan sebuah keberanian yang besar pada
jiwanya oleh Tuhan, takut tidak takut ia merasa tenang meski dalam keadaan
terhimpit, padahal sebelumnya ia sangat polos dan kosong, tapi karena nyalinya
yang kuat ia mampu menyembunyikan sebuah kekhawatiran yang sempat menggunung
didalam benaknya. Sempat ia terperangkap dalam satu distrik yang belum pernah
dikenali, namun cahaya hatinya terus memancarkan pada Sang Illahi, hingga Tuhan
mengirimkan sayap-sayap malaikat surga untuk melindungi dan menuntunnya dalam
ruang batin.
“Dimana A? Nde udah nyampe di
Rambutan nih, baru turun dari bis” kataku via telpon. “Ini Aa di terminal dalem,
deket pos polisi, ari Neng dimana?” tanyanya “Di terminal deket tugu tulisan
Terminal Rambutan” jawabku “Itu mah masih di terminal luar, ka dalemnya atuh”
suruhnya “Ihh kirain teh, bukannya ngasih tau sebelumnya coba. Berarti Nde
salah turun dong? Masih jauh atuh?” cerocosku tanpa henti “Iyah lumayan, ikutin
jalur bis aja, patokan Aa di pos polisi yah” jawabnya santai. Hadeuuuuuhhh..
Ini orang pagi-pagi udah bikin jengkel aja! Udah mah ditinggalin, ngga ngasih
tau turun dimana, nyuruh aku jalan dulu yang lumayan jauh, bawaannya pengen aja
nyerocos sama nih orang. Ditambah belum shalat subuh lagi? Belum tenang jiwa!
ya Allah maafin, Nde ngaku punya pikiran ke orang lain kek gini itu salah.
Untungnya masih dikasih kesabaran yang tinggi.
Akhirnya ketemu juga sama orang yang
nyebelinnya ngga ketulungan, meski sempat tercipta adu mulut kebingungan via
telpon disepanjang perjalanan. Namun sekesal-kesalnya sama orang, tetap yang
namanya menghormati itu harus dilakuin, apalagi sama orang yang lebih dewasa. Akupun
memberikan salam ketika bertemu dengannya. “Eh kita ketemu lagi?” ucap seorang
laki-laki yang mungkin sebelumnya sudah mengenaliku. Aku hanya mengekspresikan
wajah kebingungan. Siapa dia? Apa benar kita pernah bertemu sebelumnya? Dimana?
Maaf mungkin aku lupa. “Dia Aldi, Neng. Yang waktu di Cikurai itu. Inget ngga
yang pernah difoto bareng sama bendera iwan fals” jelas A Ohm. “Oh iyah Nde
baru inget, maaf yah” kataku sambil berjabat tangan pada laki-laki yang bernama
Aldi itu.
Ketika melihat jarum jam
dipergelangan tanganku, aku bersyukur mentari belum muncul pagi itu dan aku masih
diberikan waktu untuk menjalankan shalat subuh, dengan segera akupun meminta
izin untuk pergi ke mushala terdekat. A Ohm yang masih sibuk dengan handphone
nya, menghubungi beberapa temannya yang belum tiba juga ditempat yang sudah dijanjikan.
“Aa juga belum shalat, sok aja duluan nanti Aa nyusul, carrielnya simpen aja
dulu disini” tuturnya.
Aku kembali ke tempat perkumpulan
tadi setelah selesai menjalankan ritual wajib dipagi hari itu, “Aa udah shalat
belum?” tanyaku “Udah tadi, pas Neng lagi di kamar mandi, kalau ngga percaya
mah tanyain aja sama Aldi” jawabnya. Bukannya percaya atau ngga percaya, itu
sih balik lagi ke diri sendiri yah? Toh yang namanya kewajiban sebenarnya udah
ngga usah disuruh-suruh sama orang, lagian dosanya ditanggung sendiri ini, tapi
kalau untuk mengingatkan aja sih apa salahnya?
“Temennya A Ohm yang darimana A?”
Tanyaku pada seorang laki-laki yang sedang duduk disamping carrielnya “Jonggol”
ucapnya. “Dia teh yang waktu itu Aa telponin waktu kita maen ke Gunung Batu tea
Neng, si Tulang” tembal A Ohm “Oh.. Kenapa atuh waktu itu ngga diangkat
telponnya A?” tanyaku pada laki-laki yang sering dipanggil Tulang itu. “Tidur,
ngga tau ada telpon” jawab laki-laki yang bernama asli Herman.
“Astagfirullah baru kumpul 4orang
yah? Deuh padahal janjinya jam 6 pagi harus udah kumpul semua, ini udah lewat?
Orang Indonesia” satirku pada A Ohm. “Iya nih ngga tau ahh, orang yang megang
tiketnya belum nongol juga lagi” kesalnya. Beberapa menit kemudian, 2orang
laki-laki dan 1orang perempuan menghampiri kita, iyah dia teman A Ohm yang
ditunggu-tunggu sedari tadi. “Nde” ucapku sambil memberikan salam pada seorang
perempuan yang memakai jilbab itu “Riri” balasnya dengan sebuah tatapan tajam
buatan yang mengagumkan “Sering nanjak?” tanyaku segan “Ngga juga sih, tapi
pernah” jawabnya malu-malu “Widihhh.. Senior dong?” candaku “Emangnya teteh
belum pernah?” tanyanya dengan alis datar. “Haha.. Aku masih formula eh pemula
maksudnya” ucapku merendah. Ngalir aja gitu ngobrol ngaler ngidul anggap aja obat
bete nunggu satu orang lagi yang belum dateng. “Kenalin nih” kata A Ohm bersama
satu perempuan disampingnya “Bahiyah” lirihnya. Hah siapa? Badiyah? Bakiyah?
Baniyah? Baliyah? Bamiyah? Siapa? Agak susah juga namanya ditambah pelan lagi
ngomongnya jadi ngga jelas gitu. Pasti dengan seiring berjalannya waktu bakalan
hapal ko namanya hihi.. “Udah kumpul semuanya? Yaudah yuk kita ke tempat tiket,
pada ambil carrielnya tuh” suruh A Ohm.
Bukan hanya kita yang akan berangkat
nanjak pada hari itu, ternyata banyak sekali orang-orang yang menggendong
carrielnya ataupun menenteng sebuah daypack. Puluhan atau mungkin ratusan
manusia berada diterminal, sebagian dari mereka ada yang menunggu pemberangkatan,
adapula yang mengais rezeki dengan berjualan bermetode duduk beralaskan tikar
maupun kardus bekas dengan menjajahkan dagangannya ataupun berkeliling mengasongkan
barang dagangannya agar cepat laku, ditambah beberapa petugas yang sepertinya
hilang kendali, mengabaikan tugasnya yang entah dimana. Hilir mudik orang-orang
diterminal kala itu, mentari yang kini mulai menyoroti seluruh permukaan tubuh,
dan keringat yang mulai bercucuran, ditambah suara perut mulai bergeming dengan
nyaringnya. A Ohm pun mengeluarkan termos mini yang berisi kopi dan teh yang
sudah diseduh dari rumah, tak terlewati rokok dan koreknya yang tidak pernah
lepas dari jepitan tangannya ia keluarkan hanya untuk sekedar berbagi dengan
teman-temannya, beberapa buah rotipun ikut meramaikan pagi cerah itu.
“Tiket pemberangkatan ke Wonosobo
pagi ini udah habis” ucap salah seorang laki-laki yang ditugasi A Ohm mengurusi
tiket. “Palingan ntar ada lagi kira-kira pukul setengah 3 sore, itu juga kalau
kita kebagian. Dapet tiket juga belum tentu kebagian bis nya. Penumpangnya
membeludak hari ini, bisa jadi kita ngejar-ngejar bis dan rebutan kursi sama
penumpang lainnya kayak orang-orang itu” jelasnya sambil menunjuk kearah dimana
tumpukan penumpang menggerogoti satu bis dengan berdesak-desakan, bagaikan sekumpulan
semut yang menyerang gula ataupun sebuah bola yang diperebutkan oleh beberapa
pemain. Kebimbanganpun hadir, berjalan mundur nanggung berjalan kedepan
dihadapi kondisi seperti ini? Meeting point pun dilakukan, laki-laki yang
mengenakan kaos campuran warna orange dan coklat itu memimpin jalannya diskusi.
Iyaps! Hasilnya kita menunggu sore hari.
Setiap orang pasti merasakan
kebosanan ketika harus menunggu waktu, entah itu beberapa menit, berjam-jam,
berhari-hari atau bahkan bertahun-tahun. Tergantung bagaimana orang tersebut
menyikapi waktu. Salah satu teman A Ohm yang aku belum tau namanya terus saja
mondar-mandir mencari informasi lain tentang pemberangkatan tiket bis ke
Wonosobo. “Indonesia itu kekurangan bis, penumpang ampe ngga ketampung gini”
gerutu A Ohm “Kalau jadi presiden, udah Ohm tambah bis aja dan ngga bakalan ada
penumpang yang terlantar kek kita gini” tambahnya mulai berbicara soal politik.
Rambut kuncir dan mata tajam dari
seorang pria yang mengenakan carriel berukuran 85liter itu melintas didepanku
dengan sorot penuh tanda tanya. Entah siapa yang memulai tatapan datar itu,
kuanggap hanya sebuah layar iklan saja. Namun tak diduga, laki-laki yang
membawa 2orang perempuan dengan daypack dipunggungnya itu ikut bergabung dengan
kita, karena memiliki tujuan yang sama yaitu menuju puncak Prau. Puluhan
pendaki yang terlantar diterminal kala itu hanya bisa menarik nafas panjang
atas situasi dan kondisi yang sudah tidak memungkinkan ini.
Bis jurusan Wonosobo pun hadir,
itupun hanya ada satu buah. Tak lama langsung digerogoti oleh puluhan manusia
yang akan menumpanginya, dan kumpulan kita pun sampai tidak kebagian masuk.
Sabarkan. Lagi-lagi laki-laki berkaos abu itu tidak ada lelahnya mencari
informasi seputar pemberangkatan bis, sampai pada akhirnya ia memutuskan untuk
mencari bis jurusan Purwokerto. “Ngga apalah harus transit dulu juga, daripada
nunggu yang ngga pasti?” ujarnya. Dengan nyaliku yang sudah terpancing, aku
harus mendapatkan kursi bis bagaimanapun caranya. Aku yang ditemani A Tulang
dari belakang langsung menerobos pintu masuk bis dengan cekatan, alhamdulillah
akhirnya perjuanganku terbayarkan meski harus berdesak-desakan dengan penumpang
lain yang mayoritas kaum adam dengan tubuh lebih besar dariku, omyghost!
Bisa kalian rasakan dan bayangkan
betapa nekatnya perempuan yang bernama Nde itu? Entah gila, atau emang ia
seorang yang ambisius? Hahaha.. Aku sendiri tak bisa mendeskripsikan seperti
apa sosok Aku ini, hanya bising suara diluar ragaku yang mampu menjawab siapa
diri ini yang sesungguhnya. Setelah mampu ku banting tubuh ini melewati lubang
pintu yang cukup sempit itu dengan segera aku memilih beberapa kursi.“Pilih 13
kursi, soalnya tadi ada yang mau ikut gabung sama kita juga 2orang” ucap A
Tulang. Kulihat dari jendela bis, laki-laki berkaos abu pendek itu langsung
menghampiri dan memberitahu teman-teman lain yang masih berada diluar bis, yang
sedang duduk-duduk sambil menunggu sebuah kepastian, ia dan beberapa teman
lainnya langsung memasukan semua carriel yang kita bawa kedalam bagasi.
Teman-temanpun langsung menempati kursi yang telah aku pilihkan sebelumnya,
mempersilahkan mereka untuk beristirahat dan melepaskan rasa lelah.
Bertarung melawan egoisme yang
semakin menyiksa, menyala dalam sebuah kegelapan tanpa akhir dengan balutan
perasaan yang tidak jelas asal usulnya, dan lagi-lagi membungkam paksa jeritan
yang sebenarnya tak sanggup lagi ditahan, benaklah yang selalu berkata jujur,
berteriak dalam diam penuh keheningan, mungkin jiwa ini masih terbungkus rapih dalam
hati yang salah dimasa kelam, hingga tak mampu membuka keseluruhannya,
mengintip dari balik tirai dan bersembunyi kembali, ketakutan itu masih
menyelimuti si relung hati dan masih dihantui oleh bayang hitam yang
tersamarkan, belum mampu memegang kunci untuk membuka pintunya, hanya takut
salah memilih dan melangkah lagi. Padahal semuanya telah jelas, setelah hujan
badai pasti ada pelangi yang akan menyinari, tidak akan selamanya awan mendung
hiasi langit-langit dunia, tapi tetap saja ini adalah sebongkah hati yang bisa
dihancurkan maupun terkoyak atau tercabik dan teremukan hanya dengan kepalan
tangan saja seperti menggenggam keras mentahan ati ayam yang masih dilumuri
darah segar. Namun tergantung bagaimana manusia itu memilih hidupnya.
“Makasih yah A” ucapku “Iyah
sama-sama Neng” jawab A Ohm yang duduk disebelahku “Eh boleh pakein beberapa gelang
ini ditangan Aa ngga?” pintanya “Boleh, sini Nde taliin A” ujarku. Bis Sinar
Jaya ekonomi jurusan Purwokerto yang kita tumpangi akhirnya mulai melaju pada
pukul ±14.30 WIB, meski rencana awalnya kita akan menumpangi bis Sinar Jaya AC
jurusan Wonosobo, tapi apalah daya kita sudah lelah dengan pemberi harapan
palsu oleh pihak ticketing di terminal itu. Dan lagi, sore sampai menjelang
malam mandi keringatpun mengguyur seluruh tubuh, seakan terik mentari tak
henti-hentinya membuat kegerahan.
Jiwa yang membeku dalam sunyi ini
ternyata mampu terluluhkan oleh dua tanduk dikepala berwajah merah kusam,
merayap perlahan mencari amunisi untuk menjebloskan ke lubang api, mungkin
awalnya hanya mengajak bermain dipekatnya malam, namun tanduknya yang mengkilap
itu mampu meruntuhkan dinding pertahanan perang meski sempat terjadi penolakan.
Jika seandainya Tuhanlah yang memberikan kenikmatan itu, mengapa harus
menitikan darah dosa? Berargumen dalam 2 senyawa diwaktu yang salah, dengan
tatapan yang memikat layaknya pecandu dosa. Apa memang keturunannya ditakdirkan
harus seperti ini? Mengikuti aliran dosa Adam dan Hawa beberapa ribuan abad
yang lalu? Atau memang manusia yang kini semakin bodoh hanya menuruti ego
dibandingkan berlogika? Malam yang begitu indah dan bertabur bintang yang
dilumuri sesak sebuah kebencian yang berujung sesal, seakan pengap dan berharap
kematian hanya tinggal menghitung detik agar mampu terlupakan.
Baru kali ini ngerasain yang namanya
naik bis antar provinsi, biasanya kan cuma antar kota doang, ternyata gini yah?
Enak ngga enak hoho.. Break di rest area aja dua kali, seharian full didalem
bis lagi, ini pantat udah makin kempes aja abisnya duduk mulu. Tapi
alhamdulillah nya dengan istirahat sebentar keluar dari bis untuk menghirup
udara segar malam hari mampu melancarkan pernafasanku yang sempat
terpenggal-penggal, dan akupun melakukan rutinitas kewajibanku untuk merendah
dihadapanNya meski dalam kondisi apapun, yang penting selalu ada niat pasti ada
jalannya.
Untuk menghilangkan rasa jenuh
didalam bis, akupun berpindah tempat duduk disebelah amang supir dan kenektur,
pemandangan malam itu sangat menakjubkan dengan puluhan kendaraan yang terhenti
lumayan lama dijalan yang lumayan sempit, dengan kata lain macet parah,
ditambah pengguna mobil beroda >8 yang tidak tau aturan menambah kemacetan
panjang. Beberapa polisi lalu lintas yang memakai rompi berwarna hijau
stabilopun sampai kewalahan mengatur jalan. Aku hanya menarik nafas panjang dan
merekam beberapa video tak beraturan malam itu.
Malam semakin larut, sebentar lagi
akan menjemput pagi. Dimana badan mulai pegal-pegal dan leher terasa
terkakukan, ingin sekali berbaring terlentang untuk melancarkan peredaran darah
yang sudah semraut dan meluruskan tulang belakang yang seakan bergeser dari
tempatnya.
Tiba di Purwokerto ±pukul 06.00
pagi, kitapun beristirahat sejenak untuk membasuh wajah yang terlihat kusam oleh
minyak tubuh alami ataupun hanya sekedar buang air kecil. “Teh, itu si Aa
alisnya kenapa? Kek berdarah?” tanya Teh Riri. “Masa sih? Ngga tau aku” jawabku
terperangah. “Coba diliat dulu aja Teh, takutnya luka kenapa gitu” suruhnya.
Akupun mendekati A Ohm dan mulai memperhatikannya seraya melontarkan beberapa
pertanyaan peduli. “Waktu tadi tidur di bis kan kepalanya senderan dikaca
jendela tuh, eh tau-taunya pas bangun malah jadi berdarah, palingan ke
gesrek-gesrek kali, udah ngga apa-apalah” jelasnya.
Melanjutkan perjalanan menuju
Wonosobo dengan menumpangi bis mini kira-kira pukul 07.00 pagi mungkin, aku
lupa entah pukul berapa bis mulai melaju setelah sebelumnya bernegosiasi
seputar ongkos terlebih dahulu. Menikmati pagi dengan obrolan hangat bersama
teman baruku yang bernama Dewi, ditambah segelas kopi pemberian A Ohm serasa
pagi cerah itu menjadi lebih baik.
Entah pukul 9pagi atau setengah 10an
kita tiba di terminal Wonosobo, lagi-lagi kita beristirahat dengan mengambil
beberapa picture kekonyolan, kitapun mulai berkenalan satu sama lain atau hanya
sekedar sarapan pagi, berbeda dengan Aldi, sesampai diterminal ia langsung
menuju kamar mandi untuk mengguyur seluruh tubuhnya karena seharian tidak
mandi, mungkin ia sudah merasakan kelengketan ditubuhnya? “Lagi ngehubungin
siapa A?” tanyaku penasaran “Ini temen Aa yang tinggal di Wonosobo mau jemput
kita, ntar kita kan diem dulu dirumah dia” jelasnya. Aku hanya mengangguk saja
tanda mengerti.
Tak lama dari itu teman A Ohm yang
ditunggu sedari tadi pun akhirnya datang, bersalaman dan berkenalan “Iwan”
ucapnya. Setelahnya aku hanya menyimak pembicaraan A Ohm dengan Mas Iwan. Butuh
2 buah mobil untuk mengantarkan kita ke rumah Mas Iwan itu. Kira-kira pukul
setengah 12 lewat kita sampai dirumah persinggahannya yang sederhana, disuguhi
kopi Lampung dan beberapa minuman lainnya seperti teh khas Wonosobo yang begitu
melekat dilidah.
Masih ingat beberapa minggu yang
lalu aku pernah diajak oleh seorang teman pendaki senior ke sebuah tempat
tongkrongan didaerah Jakarta yang bernama Kedai Pendaki (aku lupa alamat
jelasnya dimana, bisa di search deuh di internet kalau misalkan kalian ingin
berkunjung ke tempat tersebut hihihi) design tempat dan nama-nama menu yang
ditawarkan disana benar-benar unik dan khas pendaki banget, salah satunya kopi,
berbagai kopi diseluruh Indonesia ada ditempat itu, dan saat itu aku lebih
tertarik dengan menu minuman yang bernama Kopi Krakatau, iyaps maksudnya adalah
kopi dari daerah Lampung. Dan di Wonosobo inilah aku disuguhi kopi Lampung?
Oalah.. Aku sudah pernah merasakan pahitnya kopi ini hohoho..
“Neng, bikinin kopi dong” suruh A
Ohm disela waktu perbincangannya bersama Mas Iwan. Akupun menyeduhkan segelas
kopi yang ia bagi bersama A Tulang. Adzan dzuhur pun berkumandang, suara-suara
panggilan dipenjuru dunia mulai menyeru dan memanggil kalbu pada jumat yang
penuh ilmu.
Setelah melaksanakan ibadah shalat
ashar, kira-kira pukul 5sore kitapun langsung berangkat menuju gerbang
pendakian Gunung Prau via Patak Banteng dengan menggunakan mobil sewaan
sejumlah 2buah mobil. ±8malam kita sampai di gerbang pendakian dan langsung
melaksanakan shalat isya terlebih dahulu dan mengqadha maghrib di mushala
terdekat, setelahnya kita melanjutkan pendakian dengan hati yang cukup tenang,
mataku yang tidak kuat menahan kantuk karena sempat tertidur pulas dimobil
dengan waktu tanpa sadar yang ternyata cukup lumayan lama membuatku masih ingin
bersandar dan memejamkan mata lagi, padahal udah dibasuhi dengan air pegunungan
yang dinginnya ngga ketulungan, tetep aja pengennya meler.
Sempat bertanya dan sedikit
bercerita pada tuan rumah, iyah Mas Iwan tentang tips agar tidak mengantuk saat
pendakian dimalam hari. “Nde sih harus diajak ngobrol A” jawabku “Kalau aku sih
harus ada ini” tuturnya sambil menyodorkan beberapa permen karet padaku. “Ohh..
Ngga A makasih” ucapku. “Permen karet itu kan dikunyah, jadi iya ngga bakal
ngantuk” ujar Mas Iwan. Aku hanya mengangguk saja tanda mengerti tapi tetap
tidak melakukannya.
Bukannya aku egois ataupun tak
peduli, ini hanya sebuah cara dimana agar aku masih bisa bertahan untuk tetap berdiri
dan melangkah dalam sebuah perjalanan fana. Bukannya aku membiarkan ataupun tak
membantu, ini hanya sebuah pelajaran bagaimana mengkokohkan kemandirian tanpa
adanya kata mengeluh. Dan bukannya aku terlalu memilah ataupun memilih, namun
ini adalah perjuangan dimana sebuah kebersamaan yang abadi terdapat orang-orang
yang memiliki niat bulat dan melakukan dengan selayaknya, bukan semata dalam
ucapan saja.
Perjalanan menuju puncak Prau pada
pukul ±20.30 malam itu begitu sangat ramai dan padat. Laki-laki bermata tajam
dengan 2perempuan yang ia bawa berjalan lebih depan daripada kita, aku dan A
Tulang pun menyusulnya dari belakang, sementara yang lainnya masih tertinggal
jauh dibelakang sana. “Kamu siapanya si Ohm?” tanya A Tulang ketika kita tidak
sengaja berjalan beriringan dan tertinggal langkah oleh laki-laki yang membawa
2perempuan yang belum aku ketahui namanya. “Cuma temen, emangnya kenapa A?”
jawabku seadanya. “Kirain tunangannya” katanya dengan nada penuh tanya “Hah?
Ngga. Gila aja. Ngawur Aa mah” kagetku “Lagian Nde sama A Ohm juga baru kenal”
tambahku “Emangnya kenal dimana?” tanyanya lagi. Disepanjang perjalanan kita
saling bertukar cerita tanpa jeda hingga akhirnya kitapun bertemu kembali
dengan laki-laki yang memiliki mata tajam. “Istirahat dulu sini, sambil nunggu
yang lainnya” tawar si laki-laki bermata tajam itu. Aku dan A Tulang pun
mengiyakan tawarannya, duduk dibangku warung yang masih tersedia dibawah kaki
gunung Prau.
Suara langkah kaki Aldi yang
terburu-buru seperti habis berlari mengagetkan kita yang sedang bersantai duduk
manis sambil menunggu teman yang lainnya. “Teh Riri kakinya kekilir tuh tadi,
tapi udah aku pijitin sih” ucapnya “Eh seriusan?” tanyaku kaget “Terus Teh Riri
dimana sekarang? Kenapa ditinggalin?” tambahku “Udah sama Aldi yang satu lagi”
jawabnya sambil minum sebotol air mineral. Dan sekarang aku tau, laki-laki
dengan kaos abu dan daypack dipunggunya itu yang ditugasi A Ohm untuk mengurusi
tiket ternyata bernama Aldi. Intinya Aldi nya ada 2 nih? Hihi.. Tak lama kemudian
Teh Riri dan A Aldi pun mampu menyusul kita, sedangkan yang lainnya masih
berada jauh entah dimana. Mereka berduapun beristirahat sejenak dengan ditawari
beberapa makanan dan minuman disela waktu obrolan yang sedikit mengkhawatirkan.
“Lanjut yuk?” Ajak laki-laki bermata tajam itu. “Ayok!” balasku dengan
semangat.
Lagi-lagi kita berpencar dan
terpisahkan, tak ada langkah yang sama, ataupun hanya sekedar berjalan
beriringan. Menikmati beberapa menit indahnya sebuah kegelapan dengan taburan
bintang hiasi sang malam, dan hembusan angin yang membunuh raga dengan
halusnya. Sadarkah ini adalah sepasang bola mata yang mampu melihat, berjalan
kedepan dan menunduk kebawah dengan sedikit ocehan jiwa yang terbengkalai tanpa
adanya super cahaya terangi langkah. Hanya desahan nafas yang diatur sedemikian
rapihnya dengan pompaan detak jantung yang semakin menurun kala itu ku dengar,
meski suara-suara teriakan ataupun desis bisikan manusia jauh lebih keras
daripadanya, namun saat itu aku hanya merasakan diriku sendiri yang teretakkan
oleh sebagian keindahan yang terleburkan. Namun aku sadari, bahwa kelemahan
bisa musnah apabila ada kekuatan dari jiwa lain yang rela berada disampingnya,
hingga aku membiarkannya agar tetap tersenyum tanpa merasakan sedikitpun
pengabaian, dan aku tak peduli pada diriku sendiri?
Pandangan yang dipaksa untuk selalu
fokus, dan pikiran melayang-layang entah kemana, berjalanpun seperti adanya
gempa, menganggap seolah-olah tak ada air saat itu, ku muntahkan segala
kerisauan dalam balutan beberapa butir coklat dan hentakan musik keras yang
terdengar ditelingaku, malam itu.
“Bantuin Bahiyah yah, tolong
pegangin dia pas mau ngelangkah” suruh A Ohm padaku. Dan akupun menurutiya
meski terkadang Teh Bahiyah menolak juluran telapak tanganku. Semakin si jarum
jam larut dalam putarannya, semilir angin pembunuh raga dimalam hari itu
menghentikan langkah kita. Sebuah genggaman erat dengan hati yang terpaut dalam
tatapan yang terpaku dibeberapa menitnya waktu membuat kita terpesona dalam
buaian pemandangan puncak Prau yang dipenuhi oleh ratusan tenda yang
menyala-nyala dalam pekatnya malam.
Memasang 5tenda dengan hembusan
angin malam yang menusuk. Melipatkan kedua tangan didada dengan kaki yang
sedikit bergetar, memandang jauh tak berkedip dan bercakap tanpa hentinya hanya
untuk tidak menampakan sebuah kelemahan yang menyerang kala itu, semua sudut
telah dipertanyakan hingga akhirnya jeda itupun terpecahkan juga. “Nde tidur
ditenda itu aja” ujar A Ohm sambil menunjukan tenda yang dipilihnya. “Akupun
mempersilahkan teman-teman untuk lebih awal memasuki tenda, dan setelah aku
sadari bahwa tenda ini berkapasitas untuk 3orang, iya mana masuk kalau untuk
4orang? Bisa saja muat, namun akan berdesakkan dengan posisi tidur tidak
nyaman.
“Kayaknya minum yang anget-anget
mantap yah?” kata Teh Riri “Teteh mau dibikinin apa? Kopi apa mau teh manis?”
tawarku “Pengennya sih air putih anget aja” jawabnya “Yaudah tunggu dulu yah
teh, nanti Nde bawain” ucapku “Eh ada yang mau nitip juga?” tanyaku “Boleh deh
pengen buat kopi” jawab Teh Bahiyah “Ok, teteh yang satu lagi mau dibikin apa?”
tanyaku pada salah seorang perempuan yang sudah merebahkan tubuhnya ditenda
“Ngga usah makasih” lirihnya “Kenapa? Dingin yah? Bawa sarung tangannya ngga?”
tanyaku peduli “Ada, cuma basah jadi ngga dipake” keluhnya “Yaudah pake punya
Nde aja” akupun menyodorkan sepasang sarung tangan padanya, dan diapun langsung
memakainya. “Tunggu sebentar yah, Nde bikinin dulu air panasnya” tuturku.
Membuka resleting tenda dan mendekati teman-temanku yang sedang melingkari api
kompor sambil menunggu rebusan air mendidih ditenda sebelah.
Layar kegelapan menutup kedua bola
mata hingga tersungkur kedasar jurang penuh duri keresahan, siapa sangka satu genggaman
pada batang pohon mampu tumbang dan tubuh tak tertolongkan? Kehangatan saat
terjun bebas tak terkontrol itu melupakan segala yang berada dibenak. Mengusik
sesuatu yang sebelumnya hanya mampu diam, seperti mati, namun kini hidup dan
berdiri. Liur yang terdengar renyah membuat kelaparan, setengah sadar
menggubris sebuah pinta padahal inginkan puncak yang sama. Menikmati waktu
dengan sepuasnya tanpa memperdulikan manusia lainnya, seakan mereka
termusnahkan. Terhipnotis dalam satu dekade yang menyeramkan seperti lolongan
serigala menyambut purnama. Maafkan aku, ku akui ini semua berawal dariku,
andai saja aku tidak berada disana, mungkin sungai merah tak akan mengalir sederas
ini dan menimpanya.
“Morning” ucap A Ohm dipagi buta
itu, ketika jiwa masih menari-nari dialam mimpi, sepasang mata yang masih
terpejam dengan kotoran mata yang masih melekat ditempatnya dan tubuh yang
masih terkulai lemas terselimuti hembusan nafas yang sedikit bergebu-gebu ia
berucap seolah menyambut keindahan Prau diluar tenda dengan lengkung senyumnya.
“Kebluk geningan tidurna mah?” satir A Ohm. Aku hanya mendengar tapi tak
mendengar, seolah mengabaikan padahal sadar setan sedang memelukku mesra hingga
malas rasanya untuk bangkit dari tidur sementara itu. Menengok jam dipergelangan
tanganku dengan pandangan mata yang masih samar-samar penuh, ternyata masih jam
stengah 6 pagi, tapi suara-suara teriakan bahkan jeritan hingga lolongan dipagi
yang indah itu menghantam jiwaku yang beberapa detik tertidur lagi
“Astagfirullah, belum shalat subuh!” tangis keras batinku. Secepat kilat sebuah
langkah dengan pikiran yang masih dikelilingi burung-burung kecil akupun
terbangun dan pindah ke tenda lainnya untuk melaksanakan subuh yang terakhirkan
dengan tayamum seadanya namun terdapat niat kuat dalam hati. Serahkan segala
kekurangan padaNya.
Sunrise yang menakjubkan, meski
tidak mendapatkan goldennya. Aku merasakan sebuah kehangatan yang terpancar
dalam satu senyuman pagi. Berfoto ria dalam balutan keindahan si langit orange,
semua seakan berlari terkencing-kencing mencari background sebuah foto yang cantik
untuk dikenang dikemudian hari.
Terpuaskan oleh pemandangan yang
Tuhan berikan pada kami, kitapun kembali ke tenda dan mulai masak-memasak untuk
makan pagi. Semua bahan makanan sudah terkumpul, beberapa kompor berjejeran
dengan lugunya. Teman-teman perempuanku pun mulai memasak dengan hebatnya,
namun ada sebagian temanku yang hanya berdiam ditenda untuk melanjutkan
tidurnya, aku hanya membantu masak sebentar, bukan aku tak ada keahlian, mood
jiwa perempuanku sedang dimalaskan karena 1 sarkasme yang mengoyak relung, aku
hanya mendiamkan dan beranjak kearah lain daripada akan ada hal lain yang
termuntahkan. “Ngga bantuin masak teh?” tanya Teh Riri yang melihatku
mendekatinya dan tiduran disampingnya didalam sebuah tenda yang setengah
terbuka “Udah banyak yang bantuin ko teh” jawabku malas dengan membungkam
sebuah kalimat yang menyanyat.
“Mau ikut ngga?” ajak Mas Iwan “Kita
nyari view yang bagus” tambahnya. Aku yang sedang tiduran ditendapun langsung
terbangun “Pengen ikut!” jawabku serentak “Mau ikut ngga teh?” ajakku pada Teh
Riri “Ngga ah sok aja, mau nemenin Teh Dewi aja ditenda, soalnya dia agak
sedikit meriang gitu, kasian ngga ada yang nemenin” jelasnya.
Kita berempat pun mulai meninggalkan
tempat perkemahan, mencari pemandangan yang lebih indah ditempat yang paling
tinggi. Pernahkah kalian menonton film kartun yang bernama Teletubies? Tidak
jauh seperti itulah keindahan puncak Prau ini. Subhanallah, kita bisa berlari
dengan senang hati ditempat ini dengan rumput hijau yang sangat luas, cantik
bukan main. “Eh nemu tongsis?” ucap A Tulang sambil mengambilnya dibalik
semak-semak. “Kameranya dipakein tongsis aja” sarannya. “Lumayan nih masih
bagus tongsisnya, cuma tinggal pake superglue doang” tambahnya. Kita
berempatpun tertawa terbahak-bahak melihat tingkah A Tulang yang seakan tanpa
dosa itu hihihi.. Tak lama dari itu ia juga menemukan sebuah topi sarjana
berwarna hitam dengan tali topi berwarna merah. Edaaaaaaaaassssss.. Siapa orang
nih yang bawa barang kek ginian ke puncak gunung? Keknya abis foto-foto pake
toga deh? Ampe ketinggalan segala topinya? Padahal masih bagus loh? Sayang
kalau dibuang percuma kek gini. Ada-ada aja nih para pendaki. Laki-laki yang
sering dipanggil Peang itu dengan bahagianya berfoto menggunakan topi sarjana
hasil penemuan A Tulang. Hahaha konyol sekali punya teman-teman seperti ini.
Kembali ketempat perkemahan, dan makananpun sudah siap. Kitapun menyantap
makanan yang sudah disediakan dengan beralaskan trashbag.
±Pukul 10pagi kita mulai packing
dengan beberapa taburan kekonyolan yang teman-teman ciptakan dalam sebuah file
video kocak. Ketika kabut mulai menyerang area disekitar tempat itu kitapun
bergegas meninggalkan puncak Prau, hanya baru beberapa langkah saja hujanpun
mengguyur dengan derasnya sampai kitapun harus ikut berdiam dulu ditenda orang
lain, dikarenakan tidak muat akhirnya Bang Jali begitulah ia sering dipanggil
mengeluarkan pleasit untuk dijadikan tempat berteduh, setelah hujan agak reda
kitapun melanjutkan perjalanan yang masih panjang.
Akhirnya kita sampai di gapura
pendakian gunung Prau via Dieng, gerbang yang cukup sederhana namun terkesan
megah. Banyak juga para pendaki melewati jalur ini, namun kita memilih via
Dieng ini sebagai sebuah pengakhiran. Beristirahat dan bersantai sejenak
ditempat ini sambil menyeduh mie instan dan beberapa gelas kopi panas hingga
hujan deraspun jatuh bertubi-tubi kedasar bumi, kami meneduh terpayungi tenda
biru.
Beberapa gambar terpotret sebelum
kita meninggalkan kaki gunung Prau, dengan hati yang sebenarnya belum rela
meninggalkan keindahan Prau yang sangat menakjubkan. Kulangkahkan kaki pergi menjauh
dari gapuranya, bisik hati cemburu terekam jelas didalam putaran otak yang tak
pernah berhenti bekerja, iyah aku mencemburui cantiknya si alam dan kesejukannya
di kaki gunung Prau.
Sore hari entah pukul berapa kita
baru sampai dirumahnya Mas Iwan, lagi-lagi rumahnya adalah sebuah peristirahat
dimana kita selalu disuguhi dengan sangat baik oleh tuan rumah. Hujan deras
yang membasahi sekujur tubuhku seakan terselimuti hawa dingin yang menusuk
tajam, mendekati dan menatap tungku perapian dengan tubuh yang menggigil hebat
memaksaku mematung didepannya, api yang menyala-nyala dengan asap yang mengepul
perlahan menghangatkan sebagian tubuhku. Sambil menunggu kamar mandi yang
saling berganti akupun diajari bahasa Jawa yang sangat santun oleh Ibunya Mas
Iwan, sering kali adiknya Mas Iwan yang bernama Tesa dan seorang laki-laki yang
mengakunya teman Tesapun mengajariku bahasa Jawa lembut dengan ragunya.
Sepertinya ada rasa kasihan yang
terpancar dari sorot mata seorang ibu ketika melihatku menekuk memeluk kedua
kaki, ibu Mas Iwan menawariku air panas untuk mandi, dan aku mengiyakan
tawarannya, memang sangat kuat hawa dingin yang menyerang tubuhku kala itu
hingga api diperapianpun cepat padam. Aku begitu sangat dispesialkan pada waktu
itu. Terimakasih banyak bu, kepedulianmu takan pernah kulupakan sampai
kapanpun, karena sudah lama aku merindukan dan tak pernah merasakan lagi kepedulian
seperti itu dari seorang ibu. Sabar dan Skip keras!
“Jadinya kita akan pulang kapan?”
tanya seorang perempuan yang sudah mulai resah dengan keadaan. Dari mulai
situlah perbedaan pendapat mulai membeludak sekeras-kerasnya, dimana ada
beberapa pihak yang mengutamakan ego dan ada pula yang menahan amarah dengan
hanya berdiam diri dan pasrah akan segalanya, semua sudah terucap kata
terserah. Hingga akhirnya kitapun menginap lagi semalam di rumah Mas Iwan
dengan campuran perasaan gelisah dan resah.
“Aa ngga bakal pulang bareng kalian,
mau nemenin dulu Aldi Baper nanjak ke Slamet, ngga enak sama dia kalo Aa ngga
nemenin, padahal sebenarnya Aa pengen pulang bareng-bareng” jelas seorang
laki-laki dengan mata sayup tampak kelelahan di malam itu “Aa udah titip kamu
ke Aldi sama Peang, kamu bisa pulang bareng mereka, kalau waktunya ngga
memungkinkan kamu bisa nginep dulu disalah satu dari mereka” tambahnya. Aku
hanya memaku mendengar perkataannya, siapa aku yang harus melarang-larang?
Biarkanlah ia berlari selama waktu masih berpihak padanya, namun apakah ia
melihat tatapanku yang memelas? Ataukah ia tak pernah sadar karena jiwa ini selalu
bersembunyi dibalik batu karang yang cukup keras? Bagaimana bisa ini terjadi
ketika semuanya telah terpaut dalam satu dimensi yang melilit sampai ujung
akarnya? Pahamilah analogi yang rumit ini. Dan aku hanya mengangguk tanda
mengerti.
“Ke angkringan yuk?” ajak Mas Iwan
“Wahh boleh tuh, daripada mumet” jawabku. Aku dan beberapa teman yang lainnya
mengikuti Mas Iwan ke angkringan yang terdekat dari rumahnya. Menikmati susu
jahe dimalam hari dengan ditemani api unggun yang menyala indah dipinggir
angkringan, iyah susu jahe khas Wonosobo berbeda dengan susu jahe yang berada
di Jawa Barat, dimulai dari racikannya hingga cara pengolahannya hingga
terciptalah rasa baru yang belum pernah lidahku merasakannya. Ngobrol
kesana-kesini sambil bercanda gurau serasa malam sepi itu menjadi ramai
seketika dengan celotehan yang terfrontalkan.
Malam semakin larut, kitapun
bergegas meninggalkan tempat angkringan tersebut, kembali kerumah dan melihat
teman-teman yang sudah terlelap, ada juga yang mungkin sudah singgah disuatu
tempat indah hingga suara-suara bising terdengar sangat menggelegar, sepertinya
mereka sangat kelelahan. Dan aku masih saja belum bisa tidur, tak ada rasa
kantuk yang menyerang, rasa lelahpun seperti berlarian menjauh dariku.
Memainkan sebuah permainan kartu klasik untuk mengobati rasa bosan bersama
orang-orang yang masih terbangun ditengahnya malam. Beberapa pasang mata mulai
terlihat menunduk dan pergi meninggalkan area permainan, tertidur pulas dengan
balutan selimut hangat.
A Tulang yang masih sibuk dengan
handphone nya terlihat asyik seakan enggan diganggu “Kenapa Nde?” tanya A
Juhri, seorang laki-laki yang memiliki mata tajam dengan rambut gondrongnya
yang terkuncir dan kadang terurai itu. “Lapar A” jawabku murung “Yaudah kita
bikin bubur yuk?” ajaknya. A Juhri langsung mengambil gas kompor mini dan
nesting yang berada didalam carrielnya disertai sebotol kacang hijau mentah.
Kitapun memasak bubur kacang hijau ditengah ruangan rumah yang diapit oleh
beberapa manusia yang sedang tertidur pulas. Enak ngga enak sih bubur kacangnya
setelah mateng, wajar racikannya aja seadanya cuma kacang hijau air sama gula
merah, udah itu doang? wkwkwk tapi kalau lagi laper banget yah enak aja gitu
hihihi..
Akhirnya aku bisa tertidur juga
setelah kenyang makan bubur kacang hijau hehe.. Melihat ke tempat tidur khusus
perempuan yang dialasi kasur empuk, aku merasa tidak menemukan celah untuk
berbaring, dan aku memutuskan untuk tidur diruang tengah rumah yang terbuka,
menyatu dengan barang-barang habis masak barusan dan tidur bersamaan dengan teman
laki-laki, tentunya tidak berdekatan yah.. Huss jangan mikir yang aneh-aneh!
Ketika aku terbangun dari tidur
pendekku, tanpa aku sadari bukan hanya bantal yang memopang kepalaku ternyata
tubuhkupun sudah terbalut oleh selimut hangat, siapa yang menyelimuti ketika
aku tertidur? Tanda tanya besarpun berkeliaran dikepalaku, aku hanya ingin
berterimakasih banyak atas kepeduliannya padaku.
Menyambut pagi dengan tubuh
kedinginan, untung saja tuan rumah menjamu dengan baik, pagi-pagi sudah
disuguhi gorengan, teh dan biskuit serasa dimanja banget, padahal dirumah
sendiri ngga pernah nikmatin yang kek beginian? Hoho..
±Pukul 7pagi kitapun pamit pulang
pada tuan rumah, dan banyak-banyak berterimakasih karena telah dijamu dengan sebaik-baiknya.
Diantarkan oleh mobil sewaan lagi, kita sampai diterminal Wonosobo, dan
lagi-lagi kita tidak mendapatkan tiket bis, akhirnya perdebatan pendapatpun
terjadi lagi, hingga Teh Oppy semakin resah dibuatnya, ditambah ia sangat
khawatir dengan adanya kabar bahwa salah satu keluarganya ada yang sedang
sakit, aku sangat prihatin sekali, ia sangat terpukul dan sangat ingin cepat
pulang.
A Ohm, A Tulang dan Aldi Baper pergi
untuk melanjutkan perjalanan nanjaknya ke Gunung Slamet. Mereka meninggalkan kita
dalam keadaan belum mendapatkan tiket, karena mereka telah dikontak oleh salah
satu teman barunya yang akan nanjak bareng juga ke Slamet, jadi mau tidak mau
mereka harus beranjak pergi pada saat itu juga. “Hati-hati dijalan A, kabari
kalo udah nyampe” bisikku.
“Gimana nih kita belum dapet tiket
juga? Palingan ada ntar sore, itu juga kalo dapet. Kalo ngga dapet iya nanti
malem dan bisa jadi pula besok pagi” ucap A Aldi yang ditugasi mengurusi tiket.
Ia ditemani beberapa teman yang lainnya mengusahakan untuk mendapatkan tiket
secepatnya dengan harga miring. Namun lagi-lagi harga tiket yang sedikit
menguras dompet dengan terpaksa harus dikeluarkan daripada kita semua terlantar
terlalu lama diterminal dan kesiangan masuk kerja esok hari, apa boleh buat?
Jarum jam menunujukan pukul 10pagi,
akupun pergi ke mushala untuk menenangkan hati dengan shalat sunah duha, seperti
biasa didalam sujud dan doaku tak pernah terlewati untuk selalu bercerita
padaNya tentang apa yang aku rasakan kala itu “Rabb.. Maafkan khilafku. Maafkan
segala dosa orang tuaku. Limpahkan rizki dan karunaiMu kepadaku. Sehatkan,
selamatkan dan lancarkanlah segala urusanku. Maafkan hambaMu. Kabulkanlah apa
yang aku inginkan dan apa yang aku butuhkan. Aku yakin Engkau pasti
mengabulkannya. Dan aku yakin Engkau pasti memberi yang terbaik untukku. (Ya
Rabb, beri dia kekuatan untuk selalu bersyukur padaMu) Aaamiiinnn..”
Akupun terbangun dalam tidur
beralaskan sejadah diwaktu adzan dzuhur telah tiba, dengan sigap aku langsung
mengambil air wudhu dan menunaikan si empat rokaat itu. Setelah selesai, aku
membeli beberapa makanan khas Wonosobo dan Dieng yaitu manisan carica dan keripik
combro. Apapun olahan combro aku suka, karena combro adalah makanan kesukaanku
wkwkwk jadi curhat gini? Hehe.. Ah skip!
Bis mulai melaju ±pukul 13.00,
selama perjalanan ada saja hal konyol yang membuat perut menggelitik, dimulai
dari berfoto ria, merekam sebuah video, bermain tebak-tebakan, tidur dilantai
bis, berjalan mondar-mandir dibis dari belakang kedepan atau depan kebelakang.
A Juhri atau yang sering dipanggil dengan sebuatan Azur ini merokok ditoilet
bis, hingga asap rokoknya keluar melalui ventilasi toilet dan semerbak rokok
menyannya mengelabui semua penumpang didalamnya. “Aduh ini rokok setan!” keluh
seorang penumpang. Sampai-sampai ada kejadian dimana kursi yang diduduki Teh
Anisah rusak hahaha sumpah semua kejadian ini itu super konyol banget, Azur pun
dengan rela menukar kursinya pada Teh Anisah “Tadi dikasih rokok menyan sama
Mas Iwan sebelum berangkat pulang, sayangkan kalo ngga diiseup” kata Azur.
±Pukul 1pagi kita sampai di Jakarta,
kita turun di Pasar Rebo. Aku diantarkan A Aldi sampai aku terlihat naik bis.
Dan sebelumnya aku pamit terlebih dahulu pada teman-temanku, dan berharap
semoga kita bisa nanjak bareng lagi di episode berikutnya atau kalau tidak kita
bisa bertemu di lain waktu. Aaamiiinnn..
“Kamu udah nyampe mana?” pesan
singkat yang ku baca dihandphoneku “Baru nyampe Pasar Rebo nih” balasku “Deket
dong sama tempat aku? Istirahat disini aja dulu, besok aku anterin kamu pulang
ke Bogor. Ini udah larut malem banget, takut ada apa-apa dijalan kamu. Apa
perlu aku jemput kesana?” jawabnya panjang lebar “Ngga usah makasih, aku udah
biasa sendiri, lagian nanggung aku udah di bis” balasku dengan mengetik cepat
lalu memejamkan mata.
Menghela nafas panjang, dan
bersyukur mengucap asmaNya, alhamdulillah akhirnya kelar juga nih menceritakan
kisah kasih perjalananku di Gunung Prau dalam sebuah teks, meski jari jemari
sampai pegal-pegal terlalu sering beradu dengan keyboard, mata mulai memerah
kelebihan natep monitor dan kurang istirahat tidur, telinga yang seakan mindeng
karena mendengarkan musik beralbum-album tuk temani setiap imajinasi kata, kaki
yang sering kali kesemutan dan otak mulai merasakan gejala pusing terus-terusan
dipaksa mencari kata demi kata untuk dijadikan sebuah kalimat. Ini semua karena
dikejar kamu dan waktu!! HAHAHA.. Aku langsung menyimpan file dokumennya dan
menutup notebookku dan mulai merebahkan tubuh.
TAMAT
Mau tau hasil video nya?
Mau tau keseruan video nya?
Mau tau hasil jeprat-jepretnya?
Please, click here to see pictures
Terimakasih sudah membaca dan melihat foto-foto absurd saya hehe..
Terimakasih sudah membaca dan melihat foto-foto absurd saya hehe..