A.
Pengertian
1.
AIDS
adalah penyakit yang berat yang ditandai oleh kerusakan imunitas seluler yang
disebabkan oleh retrovirus (HIV) atau penyakit fatal secara keseluruhan dimana
kebanyakan pasien memerlukan perawatan medis dan keperawatan canggih selama
perjalanan penyakit. (Carolyn, M.H.1996:601)
2.
AIDS
(Acquired immuno deficiency syndrome) adalah kumpulan gejala penyakit akibat
menurunnya system kekebalan tubuh secara bertahap yang disebabkan oleh infeksi
Human Immunodeficiency virus (HIV). (Mansjoer, 2000:162)
3.
Infeksi
HIV adalah infeksi virus yang secara progresif menghancurkan sel-sel darah
putih Infeksi oleh HIV biasanya berakibat pada kerusakan sistem kekebalan tubuh
secara progresif, menyebabkan terjadinya infeksi oportunistik dan kanker tertentu
(terutama pada orang dewasa).
4.
AIDS
merupakan sekumpulan gejala dan infeksi yang timbul karena rusaknya sistem
kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV atau Human Immunodeficiency
Virus. Virus AIDS menyerang sel darah putih khusus yang disebut dengan
T-lymphocytes.
5.
Acquired
Immune Deficiency Syndrome (disingkat AIDS) adalah sekumpulan gejala dan
infeksi (atau: sindrom) yang timbul karena rusaknya sistem
kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV atau infeksi virus-virus
lain yang mirip yang menyerang spesies lainnya (SIV, FIV,
dan lain-lain).
6.
Penyakit
AIDS merupakan penyakit yang disebabkan sindrom penurunan sistem kekebalan
tubuh. Menurunnya sistem imun atau kekebalan tubuh akan membuat penderita lebih
mudah terinfeksi penyakit lain, dikenal sebagai infeksi oportunistis. Infeksi
oportunistik akan semakin parah, bahkan bisa menyebabkan kematian.
7.
HIV
yaitu virus yang memperlemah kekebalan pada tubuh manusia. Orang yang terkena
virus ini akan menjadi rentan terhadap infeksi oportunistik ataupun mudah
terkena tumor. Meskipun penanganan yang telah ada dapat memperlambat laju
perkembangan virus, namun penyakit ini belum benar-benar bisa disembuhkan.
8.
Terdapat
dua kategori penderita AIDS berdasarkan gejala yang ditunjukkan, yaitu
penderita AIDS positif dan negatif. Penderita AIDS positif adalah orang yang
terinfeksi virus HIV dan sudah menunjukkan gejala infeksi oportunistik.
Sedangkan penderita AIDS negatif adalah orang yang terinfeksi virus HIV tetapi
belum menunjukkan gejala infeksi oportunistik.
B.
Etiologi
Penyebab
penyakit AIDS adalah HIV yaitu virus yang masuk dalam kelompok retrovirus yang
biasanya menyerang organ-organ vital sistem kekebalan tubuh manusia. Penyakit
ini dapat ditularkan melalui penularan seksual, kontaminasi patogen di dalam
darah, dan penularan masa perinatal.
C.
Faktor
Resiko
1.
Faktor
risiko untuk tertular HIV pada bayi dan anak adalah :
a.
bayi
yang lahir dari ibu dengan pasangan biseksual,
b.
bayi
yang lahir dari ibu dengan pasangan berganti,
c.
bayi
yang lahir dari ibu atau pasangannya penyalahguna obat intravena,
d.
bayi
atau anak yang mendapat transfusi darah atau produk darah berulang,
e.
anak
yang terpapar pada infeksi HIV dari kekerasan seksual (perlakuan salah
seksual), dan
f.
anak
remaja dengan hubungan seksual berganti-ganti pasangan.
2.
Faktor-faktor
yang berhubungan dengan risiko transmisi HIV yang meningkat dituliskan dalam
tabel di bawah ini.
Transmisi
|
Faktor yang meningkatkan
resiko
|
Umum pada setiap orang
|
Viral load tinggi
|
Adanya AIDS
|
|
Serokonversi
|
|
Hitung CD4 rendah
|
|
Ibu ke anak
|
Pecah ketuban lama
|
Persalinan pervaginam
|
|
Menyusui
|
|
Tidak ada profilaksis HIV
|
|
Seksual
|
Terjadi bersamaan dengan PMS
lain
|
Anal seks yang reseptif vs
insertif
|
|
Tidak disirkumsisi
|
|
Peningkatan jumlah pasangan
seksual
|
|
Penggunaan obat suntik
|
Menggunakan peralatan secara
bersama-sama dan berulang
|
Suntikan IV vs subkutan
|
|
Pekerjaan
|
Trauma dalam
|
Darah yang terlihat dalam
peralatan
|
|
Penempatan alat arteri atau
vena sebelumnya
|
D.
Cara
Penularan
a.
Penularan
HIV AIDS adslah :
1.
Hubungan
seks
2.
Transfusi
darah
3.
Penggunaan
jarum bekas penderita (akupuntur, jarum tattoo, harum tindik).
4.
Antara
ibu dan bayi selama masa hamil, kelahiran dan masa menyusui.
b.
Penularan
HIV dari ibu kepada bayinya dapat melalui:
a.
Dari
ibu kepada anak dalam kandungannya (antepartum)
Ibu hamil
yang terinfeksi HIV dapat menularkan virus tersebut ke bayi yang dikandungnya.
Cara transmisi ini dinamakan juga transmisi secara vertikal. Transmisi dapat
terjadi melalui plasenta (intrauterin) intrapartum, yaitu pada waktu bayi
terpapar dengan darah ibu.
b. Selama persalinan (intrapartum)
Selama
persalinan bayi dapat tertular darah atau cairan servikovaginal yang mengandung
HIV melalui paparan trakeobronkial atau tertelan pada jalan lahir.
c. Bayi baru lahir terpajan oleh cairan tubuh ibu yang
terinfeksi
Pada ibu
yang terinfeksi HIV, ditemukan virus pada cairan vagina 21%, cairan aspirasi
lambung pada bayi yang dilahirkan. Besarnya paparan pada jalan lahir sangat
dipengaruhi dengan adanya kadar HIV pada cairan vagina ibu, cara persalinan,
ulkus serviks atau vagina, perlukaan dinding vagina, infeksi cairan ketuban,
ketuban pecah dini, persalinan prematur, penggunaan elektrode pada kepala
janin, penggunaan vakum atau forsep, episiotomi dan rendahnya kadar CD4 pada
ibu. Ketuban pecah lebih dari 4 jam sebelum persalinan akan meningkatkan resiko
transmisi antepartum sampai dua kali lipat dibandingkan jika ketuban pecah
kurang dari 4 jam sebelum persalinan.
d. Bayi tertular melalui pemberian ASI.
Transmisi
pasca persalinan sering terjadi melalui pemberian ASI (Air susu ibu). ASI
diketahui banyak mengandung HIV dalam jumlah cukup banyak. Konsentrasi median
sel yang terinfeksi HIV pada ibu yang tenderita HIV adalah 1 per 10 4 sel,
partikel virus ini dapat ditemukan pada componen sel dan non sel ASI. Berbagai
factor yang dapat mempengaruhi resiko tranmisi HIV melalui ASI antara lain
mastitis atau luka di puting, lesi di mucosa mulut bayi, prematuritas dan
respon imun bayi. Penularan HIV melalui ASI diketahui merupakan faktor penting
penularan paska persalinan dan meningkatkan resiko tranmisi dua kali lipat.
E. Patofisiologi
Peran penting sel T dalam “menyalakan”
semua kekuatan limfosit dan makrofag, membuat sel T penolong dapat dianggap
sebagai “tombol utama” sistem imun. Virus AIDS secara selektif menginvasi sel T
penolong, menghancurkan atau melumpuhkan sel-sel yang biasanya megatur sebagian
besar respon imun. Virus ini juga menyerang makrofag, yang semakin melumpuhkan
sistem imun, dan kadang-kadang juga masuk ke sel-sel otak, sehingga timbul
demensia (gangguan kapasitas intelektual yang parah) yang dijumpai pada
sebagian pasien AIDS.
Dalam tubuh ODHA, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien, sehingga satu
kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap terinfeksi. Dari
semua orang yang terinfeksi HIV, sebagian berkembang masuk tahap AIDS pada 3
tahun pertama, 50% berkembang menjadi AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13
tahun hampir semua orang yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS, dan
kemudian meninggal. Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri menelan,
pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare, atau batuk. Setelah infeksi
akut, dimulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa gejala). Masa tanpa gejala ini
umumnya berlangsung selama 8-10 tahun.
Pada waktu orang dengan infeksi HIV masih merasa sehat, klinis tidak
menunjukkan gejala, pada waktu itu terjadi replikasi HIV yang tinggi, 10
partikel setiap hari. Bersamaan dengan replikasi HIV, terjadi kehancuran
limfosit CD4 yang tinggi, untungnya tubuh masih bisa mengkompensasi dengan memproduksi
limfosit CD4 sekitar 109 setiap hari.
F.
Patogenesis
Dasar utama patogenesis HIV adalah
kurangnya jenis limposit T helper/induser yang mengandung marker CD 4 (sel T
4). Limfosit T 4 merupakan pusat dan sel utama yang terlibat secara langsung
maupun tidak langsung dalam menginduksi fungsi-fungsi imunologik. Menurun atau
hilangnya sistem imunitas seluler, terjadi karena HIV secara selektif
menginfeksi sel yang berperan membentuk zat antibodi pada sistem kekebalan
tersebut, yaitu sel lymfosit T4. Setelah HIV mengikat diri pada molekul CD 4,
virus masuk kedalam target dan ia melepas bungkusnya kemudian dengan enzym
reverse transcryptae ia merubah bentuk RNA agar dapat bergabung dengan DNA sel
target. Selanjutnya sel yang berkembang biak akan mengundang bahan genetik
virus.
Infeksi HIV dengan demikian menjadi
irreversibel dan berlangsung seumur hidup.
Pada awal infeksi, HIV tidak segera menyebabkan
kematian dari sel yang di infeksinya tetapi terlebih dahulu mengalami replikasi
(penggandaan), sehingga ada kesempatan untuk berkembang dalam tubuh penderita
tersebut, yang lambat laun akan menghabiskan atau merusak sampai jumlah tertentu
dari sel lymfosit T4. Setelah beberapa bulan sampai beberapa tahun kemudian,
barulah pada penderita akan terlihat gejala klinis sebagai dampak dari infeksi
HIV tersebut. Masa antara terinfeksinya HIV dengan timbulnya gejala-gejala
penyakit (masa inkubasi) adalah 6 bulan sampai lebih dari 10 tahun,
rata-rata 21 bulan pada anak-anak dan 60 bulan pada orang dewasa.
Infeksi oleh virus HIV menyebabkan
fungsi kekebalan tubuh rusak yang mengakibatkan daya tahan tubuh berkurang atau
hilang, akibatnya mudah terkena penyakit-penyakit lain seperti penyakit infeksi
yang disebabkan oleh bakteri, protozoa, dan jamur dan juga mudah terkena
penyakit kanker seperti sarkoma kaposi. HIV mungkin juga secara langsung
menginfeksi sel-sel syaraf, menyebabkan kerusakan neurologis.
G.
Manifestasi
1.
Manifestasi
nonspesifik berupa :
a.
gagal
tumbuh
b.
berat
badan menurun,
c.
Anemia,
d.
panas
berulang,
e.
limfadenopati,
dan
f.
hepatosplenomegali
2.
Manifestasi
klinisnya berupa :
a.
hipoksia,
b.
sesak
napas,
c.
jari
tabuh, dan
d.
limfadenopati.
e.
Secara
radiologis terlihat adanya infiltrat retikulonodular difus
bilateral, terkadang dengan adenopati di hilus dan
mediastinum.
f.
Manifestasi
klinis lainnya yang sering ditemukan pada anak adalah pneumonia interstisialis
limfositik, yaitu kelainan yang mungkin langsung disebabkan oleh HIV pada
jaringan paru.
g.
Manifestasi
klinis yang lebih tragis adalah yang dinamakan ensefalopati kronik yang
mengakibatkan hambatan perkembangan atau kemunduran keterampilan motorik dan
daya intelektual, sehingga terjadi retardasi mental dan motorik
3.
Manifestasi
Umum :
a.
Rasa
lelah dan lesu
b.
Berat
badan menurun secara drastis
c.
Demam
yang sering dan berkeringat diwaktu malam
d.
Mencret
dan kurang nafsu makan
e.
Bercak-bercak
putih di lidah dan di dalam mulut
f.
Radang
paru-paru
g.
Kanker
kulit
h.
napas pendek, batuk, nyeri dada, mual, dan
muntah
i.
Batuk
berkepanjangan
j.
Esofagitis
adalah peradangan pada kerongkongan (esofagus), yaitu jalur makanan dari mulut
ke lambung.
k.
Pembengkakan
kelenjar getah bening diseluruh tubuh (dibawah telinga, leher, ketiak, dan
lipatan paha)
l.
Sakit
kepala
m.
Sulit
berkonsentrasi
n.
Respon
anggota gerak melambat
o.
Sering
nyeri dan kesemutan pada telapak tangan dan kaki
p.
Mengalami
tensi darah rendah
q.
Terjadi
serangan virus cacar air dan cacar api
r.
Infeksi
jaringan kulit rambut
4. Manifestasi tumor diantaranya :
a. Sarkoma kaposi ; kanker pada semua bagian kulit dan
organ tubuh. Frekuensi kejadiannya 36-50% biasanya terjadi pada kelompok
homoseksual, dan jarang terjadi pada heteroseksual serta jarang menjadi sebab
kematian primer.
b. Limfoma ganas ; terjadi setelah sarkoma kaposi dan
menyerang syaraf, dan bertahan kurang lebih 1 tahun.
5.
Manifestasi
Oportunistik diantaranya :
a.
Manifestasi
pada Paru-paru
b.
Pneumonia
Pneumocystis (PCP)
Pada
umumnya 85% infeksi oportunistik pada AIDS merupakan infeksi paru-paru PCP
dengan gejala sesak nafas, batuk kering, sakit bernafas dalam dan demam.
c. Cytomegalo Virus (CMV)
Pada
manusia virus ini 50% hidup sebagai komensial pada paru-paru tetapi dapat
menyebabkan pneumocystis. CMV merupakan penyebab kematian pada 30% penderita
AIDS.
d. Mycobacterium Avilum
Menimbulkan
pneumoni difus, timbul pada stadium akhir dan sulit disembuhkan.
e. Mycobacterium Tuberculosis
Biasanya
timbul lebih dini, penyakit cepat menjadi miliar dan cepat menyebar ke organ
lain diluar paru.
6. Manifestasi Neurologis
Sekitar
10% kasus AIDS nenunjukkan manifestasi Neurologis, yang biasanya timbul pada
fase akhir penyakit. Kelainan syaraf yang umum adalah ensefalitis, meningitis,
demensia, mielopati dan neuropari perifer.
H.
Pemeriksaan
penunjang
Menurut
Hidayat (2008) diagnosis HIV dapat tegakkan dengan menguji HIV. Tes ini
meliputi tes Elisa, latex agglutination dan western blot. Penilaian Elisa dan
latex agglutination dilakukan untuk mengidentifikasi adanya infeksi HIV atau
tidak, bila dikatakan positif HIV harus dipastikan dengan tes western blot.
Tes
lain adalah dengan cara menguji antigen HIV, yaitu tes antigen P 24 (polymerase
chain reaction) atau PCR. Bila pemeriksaan pada kulit, maka dideteksi dengan
tes antibodi (biasanya digunakan pada bayi lahir dengan ibu HIV.
I. Diagnosis
Diagnosis
awal bayi yang terinfeksi sangat diinginkan, tetapi pengenalan awal bayi yang
beresiko HIV lebih penting. Hanya jika infeksi HIV pada perempuan hamil
teridentifikasi, terhadap kesempatan untuk mengubah ibu dan bayi secara cepat
dengan terapi antiviral atau preventif. Oleh karena itu uji dan konseling HIV
harus menjadi bagian rutin pada perawatan kehamilan.
1. Pada bayi yang mendapat asi
Bila seorang bayi yang
terpapar infeksi HIV mendapat ASI, ia akan terus berisiko tertulari HIV selama
masa pemberian ASI; karenanya uji virologik negatif pada bayi yang terus
mendapat ASI tidak menyingkirkan kemungkinan infeksi HIV. Dianjurkan uji
virologik dilakukan setelah bayi tidak lagi mendapat ASI selama minimal 6 minggu.
Bila saat itu bayi sudah berumur 9-18 bulan saat pemberian ASI dihentikan, uji
antibodi dapat dilakukan sebelum uji virologik, karena secara praktis uji
antibodi jauh lebih murah. Bila hasil uji antibodi positif, maka pemeriksaan
uji virologik diperlukan untuk mendiagnosis pasti, meskipun waktu yang pasti
anak-anak membuat antibodi anti HIV pada yang terinfeksi post partum belum
diketahui.
2. Pada Bayi dan anak yang terpapar HIV dan memiliki
gejala klinis
Bila uji virologik tidak
dapat dilakukan tetapi ada tempat yang mampu memeriksa, semua bayi kurang dari
12 bulan yang terpapar HIV dan menunjukkan gejala dan tanda infeksi HIV harus
dirujuk untuk uji virologik. Hasil yang positif pada stadium apapun menunjukkan
positif infeksi HIV.
3. Pada Bayi dan anak yang terpapar HIV
asimtomatik
Pada usia 12 bulan,
sebagian besar bayi yang terpapar HIV sudah tidak lagi memiliki antibodi
maternal. Hasil uji antibodi yang positif pada usia ini dapat dianggap indikasi
tertular (94.5% seroreversi pada usia 12 bulan; Spesifisitas 96%) dan harus
diulang pada usia 18 bulan.
4. Pada Anak yang berumur kurang dari 18 bulan
Diagnosis definitif
laboratoris infeksi HIV pada anak yang berumur kurang dari 18 bulan hanya dapat
ditegakkan melalui uji virologik. Hasil yang positif memastikan terdapat
infeksi HIV. Tetapi bila akses untuk uji virologik ini terbatas, WHO
menganjurkan untuk dilakukan pada usia 6-8 minggu, dimana bayi yang tertular in
utero, maupun intra partum dapat tercakup.
Uji virologik yang
dilakukan pada usia 48 jam dapat mengidentifikasi bayi yang tertular in utero,
tetapi sensitivitasnya masih sekitar 48%. Bila dilakukan pada usia 4 minggu
maka sensitivitasnya naik menjadi 98%.
Satu hasil positif uji
virologik pada usia berapa pun dianggap diagnostik pasti. Meskipun demikian
tetap direkomendasikan untuk melakukan uji ulang pada sampel darah yang
berbeda. Bila tidak mungkin dilakukan dua kali maka harus dipastikan kehandalan
laboratorium penguji.
Pada anak yang
didiagnosis infeksi HIV hanya dengan satu kali pemeriksaan virologik yang
positif, harus dilakukan uji antibodi anti HIV pada usia lebih dari 18 bulan.
5. Pada anak yang berumur lebih dari 18 bulan
Diagnosis definitif
infeksi HIV pada anak yang berumur lebih dari 18 bulan (apakah paparannya
diketahui atau tidak) dapat menggunakan uji antibodi, sesuai proses diagnosis
pada orang dewasa. Konfirmasi hasil yang positif harus mengikuti algoritme
standar nasional, paling tidak menggunakan reagen uji antibodi yang berbeda.
J.
Komplikasi
1.
Oral
Lesi
Karena
kandidia, herpes simplek, sarcoma Kaposi, HPV oral, gingivitis, peridonitis
Human Immunodeficiency Virus (HIV), leukoplakia oral, nutrisi, dehidrasi,
penurunan berat badan, keletihan dan cacat. Kandidiasis oral ditandai oleh
bercak-bercak putih seperti krim dalam rongga mulut. Jika tidak diobati,
kandidiasis oral akan berlanjut mengeni esophagus dan lambung. Tanda dan gejala
yang menyertai mencakup keluhan menelan yang sulit dan rasa sakit di balik
sternum (nyeri retrosternal).
2. Gastrointestinal
Wasting
syndrome kini diikutsertakan dalam definisi kasus yang diperbarui untuk
penyakit AIDS. Kriteria diagnostiknya mencakup penurunan BB > 10% dari BB
awal, diare yang kronis selama lebih dari 30 hari atau kelemahan yang kronis,
dan demam yang kambuhan atau menetap tanpa adanya penyakit lain yang dapat
menjelaskan gejala ini.
3. Respirasi
Pneumocystic
Carinii. Gejala napas yang pendek, sesak nafas (dispnea), batuk-batuk, nyeri
dada, hipoksia, keletihan dan demam akan menyertai pelbagi infeksi oportunis,
seperti yang disebabkan oleh Mycobacterium Intracellulare (MAI),
cytomegalovirus, virus influenza, pneumococcus, dan strongyloides.
4. Dermatologik
Lesi
kulit stafilokokus : virus herpes simpleks dan zoster, dermatitis karena
xerosis, reaksi otot, lesi scabies/tuma, dan dekobitus dengan efek nyeri,
gatal, rasa terbakar, infeksi sekunder dan sepsis. Infeksi oportunis seperti
herpes zoster dan herpes simpleks akan disertai dengan pembentukan vesikel yang
nyeri dan merusak integritas kulit. moluskum kontangiosum merupakan infeksi virus
yang ditandai oleh pembentukan plak yang disertai deformitas. dermatitis
sosoreika akan disertai ruam yang difus, bersisik dengan indurasi yang mengenai
kulit kepala serta wajah.penderita AIDS juga dapat memperlihatkan folikulitis
menyeluruh yang disertai dengan kulit yang kering dan mengelupas atau dengan
dermatitis atopik seperti ekzema dan psoriasis.
5.
Sensorik
a.
Pandangan
: Sarkoma Kaposi pada konjungtiva atau kelopak mata : retinitis sitomegalovirus
berefek kebutaan
b.
Pendengaran
: otitis eksternal akut dan otitis media, kehilangan pendengaran dengan efek
nyeri yang berhubungan dengan mielopati, meningitis, sitomegalovirus dan
reaksi-reaksi obat.
K.
Pemeriksaan
Penunjang
a)
Tes
untuk diagnosa infeksi HIV :
1.
ELISA
(positif; hasil tes yang positif dipastikan dengan western blot)
2.
Western
blot (positif)
3.
P24
antigen test (positif untuk protein virus yang bebas)
4.
Kultur
HIV(positif; kalau dua kali uji-kadar secara berturut-turut mendeteksi enzim reverse
transcriptase atau antigen p24 dengan kadar yang meningkat)
b)
Tes
untuk deteksi gangguan system imun.
1.
LED
(normal namun perlahan-lahan akan mengalami penurunan)
2.
CD4
limfosit (menurun; mengalami penurunan kemampuan untuk bereaksi terhadap
antigen)
3.
Rasio
CD4/CD8 limfosit (menurun)
4.
Serum
mikroglobulin B2 (meningkat bersamaan dengan berlanjutnya penyakit).
5.
Kadar
immunoglobulin (meningkat)
L.
Penatalaksanaan
1.
Perawatan
Menurut
Hidayat (2008) perawatan pada anak yang terinfeksi HIV antara lain:
a.
Suportif
dengan cara mengusahakan agar gizi cukup, hidup sehat dan mencegah kemungkinan
terjadi infeksi
b.
Menanggulangi
infeksi opportunistic atau infeksi lain serta keganasan yang ada
c.
Menghambat
replikasi HIV dengan obat antivirus seperti golongan dideosinukleotid, yaitu
azidomitidin (AZT) yang dapat menghambat enzim RT dengan berintegrasi ke DNA
virus, sehingga tidak terjadi transkripsi DNA HIV
d.
Mengatasi
dampak psikososial
e.
Konseling
pada keluarga tentang cara penularan HIV, perjalanan penyakit, dan prosedur
yang dilakukan oleh tenaga medis
f.
Dalam
menangani pasien HIV dan AIDS tenaga kesehatan harus selalu memperhatikan
perlindungan universal (universal precaution)
2.
Pengobatan
Obat-obatan HIV AIDS :
a)
NRTI
(nucleoside atau nucleotide reverse transcriptase inhibitor)
b)
NNRTI
(non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor)
c)
PI
(protease inhibitor) Fusion Inhibitor
3.
Pencegahan
1)
Cara
mencegah HIV AIDS adalah dengan ;
a)
Hindari
seks bebas
b)
Jangan
berganti-ganti pasangan seksual
c)
Gunakan
kondom, terutama untuk kelompok perilaku resiko tinggi jangan menjadi donor
darah
d)
Seorang
ibu yang didiagnosa positif HIV sebaiknya jangan hamil.
e)
Penggunaan
jarum suntik sebaiknya sekali pakai
f)
Jauhi
narkoba.
2)
Penularan
HIV dari ibu ke bayi dapat dicegah melalui :
a)
Saat
hamil. Penggunaan antiretroviral selama kehamilan yang bertujuan agar vital
load rendah sehingga jumlah virus yang ada di dalam darah dan cairan tubuh
kurang efektif untuk menularkan HIV.
b)
Saat
melahirkan. Penggunaan antiretroviral(Nevirapine) saat persalinan dan bayi baru
dilahirkan dan persalinan sebaiknya dilakukan dengan metode sectio caesar
karena terbukti mengurangi resiko penularan sebanyak 80%.
c)
Setelah
lahir. Informasi yang lengkap kepada ibu tentang resiko dan manfaat ASI
KONSEP KEPERAWATAN
A.
Pengkajian
1.
Lakukan
pengkajian fisik
2.
Dapatkan
riwayat imunisasi
3.
Dapatkan
riwayat yang berhubungan dengan faktor resiko terhadap aids pada anak-anak:
exposure in utero to HIV-infected mother, pemajanan terhadap produk
darah, khususnya anak dengan hemophilia, remaja yang menunjukan prilaku resiko
tinggi
4.
Observasi
adanya manifestasi AIDS pada anak-anak: gagal tumbuh, limfadenopati,
hepatosplenomegali
5.
Infeksi
bakteri berulang
6.
Penyakit
paru khususnya pneumonia pneumocystis carinii (pneumonitys inter interstisial
limfositik, dan hyperplasia limfoid paru).
7.
Diare
kronis
8.
Gambaran
neurologis, kehilangan kemampuan motorik yang telah di capai sebelumnya,
kemungkinan mikrosefali, pemeriksaan neurologis abnormal
9.
Bantu
dengan prosedur diagnostik dan pengujian missal tes antibody serum.
B.
Diagnosa
1.
Bersihan
jalan nafas inefektif berhubungan dengan akumulasi secret sekunder terhadap
hipersekresi sputum karena proses inflamasi
2.
Pola
nafas tidak efektif berhubungan dengan pengembangan ekspnsi paru
3.
Hipertermi
berhubungan dengan pelepasan pyrogen dari hipotalamus sekunder terhadap reaksi
antigen dan antibody (Proses inflamasi)
4.
Perubahan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kekambuhan penyakit,
diare, kehilangan nafsu makan, kandidiasis oral
5.
Perubahan
eliminasi (diare) yang berhubungan dengan peningkatan motilitas usus sekunder
proses inflamasi system pencernaan.
6.
Nyeri
berhubungan dengan proses penyakit (misal: ensefalopati, pengobatan).
7.
Risiko
tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan penurunan pemasukan dan
pengeluaran sekunder karena kehilangan nafsu makan dan diare
8.
Risiko
kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan dermatitis seboroik dan
herpers zoster sekunder proses inflamasi system integumen
9.
Perubahan
proses keluarga berhubungan dengan mempunyai anak dengan penyakit yang
mengancam hidup.
C. Intervensi Keperawatan
Menurut
Wong (2004) intervensi keperawatan yang dapat dilakukan untuk mengatasi
diagnosa keperawatan pada anak yang menderita HIV antara lain
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan
dengan akumulasi sekret
Tujuan
: Anak menunjukkan jalan nafas yang efektif
Intervensi
a. Auskultasi area paru, catat area penurunan/tidak
ada aliran udara dan bunyi napas adventisius,
R/
: penurunan aliran udara terjadi pada area konsolidasi dengan cairan. Bunyi napas
bronkhial dapat juga terjadi pada area konsolidasi.
b. Mengkaji ulang tanda-tanda vital (irama dan
frekuensi, serta gerakan dinding dada
R/
: takipnea, pernapasan dangkal dan gerakan dada tidak simetris terjadi karena ketidaknyaman
gerakan dinding dada dan atau cairan paru-paru
c. Bantu pasien latihan napas sering. Tunjukkan/bantu
pasien mempelajari melakukan batuk, misalnya menekan dada dan batuk efektif
sementara posisi duduk tinggi
R/
: Napas dalam memudahkan ekspansi maksimum paru/jalan napas lebih kecil. Batuk adalah mekanisme pembersihan jalan napas alami
membantu silia
untuk mempertahankan jalan napas paten. Penekanan menurunkan ketidaknyamanan dada
dan posisi duduk memungkinkan upaya napas lebih dalam dan lebih kuat
d. Penghisapan sesuai indikasi
R/
: merangsang batuk atau pembersihan jalan napas secara mekanik pada pasien yang tidak mampu melakukan karena batuk tidak efektif atau penurunan
tingkat kesadaran
e. Berikan cairan sedikitnya 2500 ml/hari (kecuali
kontraindikasi). Tawarkan air hangat dari pada dingin
R/
: Cairan (khususnya yang hangat) memobilisasi dan mengeluarkan sekret
f. Memberikan obat yang dapat meningkatkan efektifnya
jalan nafas (seperti bronchodilator)
R/
: alat untuk menurunkan spasme bronkhus dengan memobilisasi sekret, obat bronchodilator dapat membantu mengencerkan
sekret sehingga mudah untuk dikeluarkan
2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan
penurunan ekspansi paru
Tujuan
: anak dapat menunjukan pola napas yang efektif
Intervensi
a. Kaji frekuensi, kedalaman pernafasan dan ekspansi
paru. Catat upaya pernafasan, termaksud penggunaan otot bantu.
R/
Kecepatan biasanya meningkat. Dispnue dan terjadi peningkatan kerja nafas. Kedalaman pernafasan berfariasi
tergantung derajat gagal nafas.
b. Auskultasi bunyi nafas dan catat adanya bunyi
seperti ronchi.
R/
Bunyi nafas menurun / tidak ada bila jalan nafas obstruktif sekunder terhadap pendarahan, Ronki dan mengi menyertai
obstrusi jalan nafas/ kegagalan nafas.
c. Tinggkan kepala dan bantu mengubah posisi.
Bangunkan pasien turun sari tempat tidur dan ambulansi
sesegera mungkin.
R/
Duduk tinggi memungkinkan ekspansi paru memudahkan pernafasan.
d. Observasi pola batuk dan karakter sekret.
R/
Kongesti alveolar mengakibatkan batuk kering / iritasi. Sputum berdarah dapat mengakibatkan infark jaringan.
e. Berikan oksigen tambahan.
R/
Memaksimalkan bernafas dan menurunkan kerja nafas.
3. Hipertermi berhubungan dengan pelepasan pyrogen
dari hipotalamus sekunder terhadap reaksi antigen dan antibody
Tujuan
: Anak akan mempertahankan suhu tubuh kurang dari 37,5 oC
Intervensi
a. Pertahankan lingkungan sejuk, dengan menggunakan
piyama dan selimut yang tidak tebal serta pertahankan suhu ruangan antara 22o
dan 24 oC
R/
: Lingkungan yang sejuk membantu menurunkan suhu tubuh dengan cara radiasi
b. Beri antipiretik sesuai petunju
R/
: Antipiretik seperti asetaminofen (Tylenol), efektif menurunkan demam
c. Pantau suhu tubuh anak setiap 1-2 jam, bila terjadi
peningkatan secara tiba-tib
R/
: Peningkatan suhu secara tiba-tiba akan mengakibatkan kejang
d. Beri antimikroba/antibiotik jira disaranka
R/
: Antimikroba mungkin disarankan untuk mengobati organismo penyebab.
e. Berikan kompres dengan suhu 37 oC pada anak untuk
menurunkan demam
R/
: kompres hangat efektif mendinginkan tubuh melalui cara konduksi
4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan kekambuhan penyakit, diare, kehilangan nafsu makan,
kandidiasis oral
Tujuan
: Pasien mendapatkan nutrisi yang optimal dengan kriteria hasil anak mengkonsumsi
jumlah nutrien yang cukup
Intervensi
:
a. Berikan makanan dan kudapan tinggi kalori dan
tinggi protein
R/
: Untuk memenuhi kebutuhan tubuh untuk metabolisme dan pertumbuhan
b. Beri makanan yang disukai anak
R/
: Untuk mendorong agar anak mau makan
c. Perkaya makanan dengan suplemen nutrisi, misalnya
susu bubuk atau suplemen yang dijual bebas
R/
: Untuk memaksimalkan kualitas asupan makanan
d. Berikan makanan ketika anak sedang mau makan dengan
baik
R/
: Ketika anak mau makan adalah kesempatan yang berharga bagi perawat maupun orang tua untuk memberikan makanan sehingga porsi yang disediakan
dihabiskan
e. Gunakan kreativitas untuk mendorong anak
R/ : Dapat menarik minat anak untuk makan
dan menghabiskan porsi makanan yang disediakan
f. Pantau berat badan dan pertumbuhan
R/ : Pemantauan berat badan dilakukan sehingga intervensi nutrisi
tambahan dapat diimplementasikan bila
pertumbuhan mulai melambat atau berat badan
turun
g. Berikan obat antijamur sesuai instruksi
R/ : Untuk mengobati kandidiasis oral
5. Perubahan eliminasi (diare) yang berhubungan dengan
peningkatan motilitas usus sekunder proses inflamasi system pencernaan
Tujuan
: Orang tua melaporkan penurunan frekuensi defekasi dengan kriteria, konsistensi feses kembali normal dan orang tua mampu mengidentifikasi/menghindari faktor pemberat.
Intervensi
:
a. Observasi dan catat frekuensi defekasi,
karakteristik, jumlah dan faktor pencetus
R/
: Membantu membedakan penyakit individu dan mengkaji beratnya episode.
b. Tingkat tirah baring, berikan alat-alat disamping
tempat tidur
R/
: Istirahat menurunkan motilitas usus juga menurunkan laju metabolisme bila infeksi
atau perdarahan sebagai komplikasi.
c. Buang feses dengan cepat dan berikan pengharum
ruangan
R/
: menurunkan bau tidak sedap untuk menghindari rasa malu pasien
d. Identifikasi makanan dan cairan yang mencetuskan
diare (misalnya sayuran segar, buah, sereal, bumbu, minuman karnonat, produks
susu)
R/
: Menghindarkan irirtan meningkatkan istirahat usus
e. Mulai lagi pemasukan cairan per oral secara
bertahap dan hindari minuman dingin
R/
: memberikan istirahat kolon dengan menghilangkan atau menurunkan rangsang makanan/cairan. Makan kembali secara
bertahap cairan mencegah kram
dan diare berulang, namun cairan yang dingin dapat meningkatkan motilitas usus
f. Berikan kolaburasi antibiotik
R/
: Mengobati infeksi supuratif fokal
6. Nyeri berhubungan dengan proses penyakit (misal:
ensefalopati, pengobatan).
Tujuan
: Pasien tidak menunjukkan atau tidak ada bukti nyeri atau peka rangsang dengan
kriteria hasil bukti-bukti atau peka rangsang yang ditunjukkan anak minimal atau tidak ada
Intervensi
:
a. Kaji nyeri dan gunakan strategi nonfarmakologis
R/
: Teknik-teknik seperti relaksasi, pernapasan dalam berirama dan distraksi dapat
membuat nyeri dapat lebih ditoleransi
b. Untuk bayi dapat dicoba tindakan kenyamanan umum
(misalnya: mengayun, menggendong, membuai, menurunkan stimulus lingkungan
R/
: Dapat mengurangi nyeri atau mengalihkan nyeri anak
c. Gunakan strategi farmakologis
R/
: rapat membantu mengurangi atau menghilangkan nyeri
d. Rencanakan jadual awal pencegahan bila analgesik
efektif dalam mengurangi nyeri yang terus menerus
R/
: Untuk mempertahankan kadar analgesik mantap dalam darah
e. Anjurkan penggunaan premedikasi untuk prosedur yang
menimbulkan nyeri
R/
: Dapat mengurangi nyeri pada saat dilakukan tindakan perawatan
f. Gunakan catatan pengkajian nyeri
R/
: Untuk mengevaluasi efektifitas intervensi keperawatan
7. Risiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan
dengan pemasukan dan pengeluaran sekunder karena kehilangan nafsu makan dan
diare
Tujuan
: keseimbangan cairan tubuh adekuat dengan kriteria hasil : tidak ada ada tanda-tanda dehidrasi (tanda-tanda vital stabil, kualitas denyut
nadi baik, turgor
kulit normal, membran mukosa lembab dan pengeluaran urine yang sesuai).
Intervensi
:
a. Ukur dan catat pemasukan dan pengeluaran. Tinjau
ulang catatan intra operasi.
R/
: dokumentasi yang akurat akan membantu dalam mengidentifikasi pengeluaran cairan/kebutuhan penggantian dan
pilihan-pilihan yang mempengaruhi intervensi.
b. Pantau tanda-tanda vital.
R/
: hipotensi, takikardia, peningkatan pernapasan mengindikasikan kekurangan kekurangan
cairan.
c. Letakkan pasien pada posisi yang sesuai, tergantung
pada kekuatan pernapasan.
R/
: elevasi kepala dan posisi miring akan mencegah terjadinya aspirasi dari muntah, posisi yang benar akan mendorong ventilasi pada lobus paru
bagian
bawah dan menurunkan tekanan pada diafragma.
d. Pantau suhu kulit, palpasi denyut perifer.
R/
: kulit yang dingin/lembab, denyut yang lemah mengindikasikan penurunan sirkulasi
perifer dan dibutuhkan untuk penggantian cairan tambahan.
e. Kolaborasi, berikan cairan parenteral, produksi
darah dan atau plasma ekspander sesuai petunjuk. Tingkatkan kecepatan IV jika
diperluakan.
R/
: gantikan kehilangan cairan yang telah didokumentasikan. Catat waktu penggangtian volume sirkulasi yang potensial bagi penurunan
komplikasi, misalnya
ketidak seimbangan.
8. Risiko kerusakan integritas kulit yang berhubungan
dengan dermatitis seboroik dan herpers zoster sekunder proses inflamasi system
integument
Tujuan
: Anak menunjukkan integritas kulit yang utuh dengan kriteria hasil : infeksi virus herpes tidak meluas, anak
tidak menggaruk kulit yang terinfeksi dan orang
tua mendemonstrasikan cara perawatan kulit untuk mencegah kerusakan kulit.
Intervensi
:
a. Pasang alat pelembab dalam rumah untuk menghindari
kulit terlalu kering
R/
: Kulit yang kering dapat mempermudah terjadinya kerusakan kulit sehingga perlu
dijaga kelembabannya sehingga kulit tidak mudah lecet
b. Bersihkan daerah yang tidak infeksi
R/
: membersighan daerah yang tidak terinfeksi dapat mencegah terjadinya perluasan infeksi kulit
c. Sarankan klien untuk tidak menggaruk
R/
: Menggaruk dapat mendorong terjadinya diskountinuitas jaringan kulit, apa bila jika dilakukan dengan keras/kuat
d. Kulit yang mengeras dan bersisik jangan dikupas,
biarkan terkelupas sendir
R/
: berusaha mengelupas/melepas kulit yang bersisik dapat memicu terjadinya luka pada kulit yang bersisik
e. Pemberian antibiotik sistemik
R/
: pemberian antibiotik dapat membantu membasmi bakteri sehingga infeksi kulit
tidak meluas
9. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan
mempunyai anak dengan penyakit yang mengancam hidup
Tujuan
: Pasien dan keluarga mendapat dukungan yang adekuat dan keluarga dapat terlibat dengan kelompok-kelompok khusus
Intervensi
:
a. Kenali masalah keluarga dan kebutuhan akan
informasi dan dukungan
R/
: dengan mengkaji masalah yang dihadapi keluarga perawat dapat membuat rencana
intervensi yang tepat serta dapat melakukan pendekatan dengan keluarga dengan cara
yang tepat.
b. Kaji pemahaman keluarga tentang diagnosa dan
rencana perawatan
R/
: Tingkat pemahaman keluarga tentang penyakit dan terapinya sangat diperlukan perawat dapat menentukan intervensi yang tepat
c. Tekankan dan jelaskan penjelasan profesional
kesehatan tentang kondisi anak, prosedur dan terapi yang dianjurkan serta
prognosanya
R/
: penjelasan yang tepat dari profesional akan mempertegas bahwa informasi yang didapatkan tentang penyakit dan terainya
tersebut tepat
d. Gunakan setiap kesempatan untuk meningkatkan
pemahaman keluarga tentang penyakit dan terapinya dan ulangi informasi sesering
mungkin
R/
: Untuk memfasilitasi keluarga belajar dan meningkatkan kemampuannya dalam merawat klien
e. Bantu orang tua mengintepretasikan perilaku dan
respon bayi atau anak
R/
: Menginteoretasikan perilaku dan respon bayi atau anak secara tepat dapat membantu
keluarga dalam mengambil keputusan kapan harus lapor perawat atau dokter
f. Sambut keberadaan keluargatanpa batas
R/
: untuk meningkatkan hubungan keluarga
g. Dorong keluarga untuk memberikan barang-barang yang
berarti dan dapat diatur pada anak
R/
: Untuk memberikan rasa aman
h. Rujuk pada kelompok pendukung dan lembaga-lembaga
khusus (mis yayasan HIV/AIDS Indonesia)
R/
: untuk dukungan interpersonal tambahan dan konkret (misalnya pelayanan
sosial, rohaniawan dan yayasan
HIV AIDS Indonesia).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar